Paksa Pengguna Setujui Aturan Privasi Baru, WhatsApp Lolos Jerat Hukum RI
loading...
A
A
A
JAKARTA - WhatsApp sedang menjadi sorotan karena memaksa penggunannya menyetujui aturan privasi baru yang dikeluarkan perusahaan. WhatsApp mengakui bahwa pengguna tidak bisa lanjut menggunakan layanannya jika tidak menyetujui pembaruan aturan ini.
"Tetapi akunnya masih akan tetap aktif, sehingga pengguna dapat memilih untuk menyetujui pembaruan di kemudian hari," kata WhatsApp, dalam klarifikasinya belum lama ini. (Baca juga: Kontroversi Pembaruan WhatsApp, Ini yang Dituntut RI ke Facebook )
Di sisi lain, pakar keamanan siber, Pratama Persadha, mengatakan, indikasi pemaksaan yang dilakukan WhatsApp tidak bisa dikenai sanksi. Alasannya, WhatsApp menawarkan pilihan, jika tidak berkenan bisa menghapus aplikasinya dari smartphone.
Masalah utama dari hal ini adalah ketidaktersediaannya perangkat undang-undang yang bisa melindungi data masyarakat . Menurut Pratama, yang dilakukan Facebook sebagai induk WhatsApp WA sebenarnya sudah lama diterapkan di aplikasi Facebook dan Instagram.
"Mengambil data masyarakat seperti interest-nya apa saja dan itu dilempar untuk keperluan iklan para marketer. Iklannya bisa komersial atau iklan politik, serta kegiatan sosial. Jadi bukan hal baru," papar Pratama saat dihubungi MNC Portal Indonesia.
Karakteristik WhatsApp sebagai platform tertutup yang digunakan untuk obrolan apa saja, dari yang rahasia sampai yang terbuka, menjadi masalah lain. Sementara tidak menjadi masalah di Facebook dan Instagram, karena itu platform terbuka. Ungahan apapun bisa dilihat oleh banyak orang.
"Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana WA dibaca datanya oleh FB? Memang yang dilempar datanya ke pengiklan adalah demografi, interest dan semacamnya," katanya.
Uni Eropa sendiri dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi bernama General Data Protection Regulation (GDPR), berhasil memaksa Google dan Facebook untuk membatasi iklan mereka. Uni Eropa juga sukses melindungi masyarakatnya dari eksploitasi data mining atau penambangan data.
Di sana, setiap marketer Facebook misalnya, harus memberikan akses kepada pemilik data yang menjadi target iklan untuk mengetahui data mereka dipakai untuk apa saja. Juga harus ada kesempatan bagi mereka untuk menolak dijadikan objek iklan.
Misalnya dalam menggunakan fitur Facebook Pixel, ketika data diambil dari cookies para pengunjung website. Pemilik platform web harus memberikan keterangan di awal saat seseorang berkunjung bahwa data mereka juga digunakan untuk keperluan marketing dan sebagainya, termasuk Facebook ads.
"Ini belum ada di Indonesia sehingga data kita sangat mudah diekspolitasi siapapun," tandas Pratama. (Baca juga: Akhirnya...Harga Emas Naik Goceng, Ini Rinciannya )
"Tetapi akunnya masih akan tetap aktif, sehingga pengguna dapat memilih untuk menyetujui pembaruan di kemudian hari," kata WhatsApp, dalam klarifikasinya belum lama ini. (Baca juga: Kontroversi Pembaruan WhatsApp, Ini yang Dituntut RI ke Facebook )
Di sisi lain, pakar keamanan siber, Pratama Persadha, mengatakan, indikasi pemaksaan yang dilakukan WhatsApp tidak bisa dikenai sanksi. Alasannya, WhatsApp menawarkan pilihan, jika tidak berkenan bisa menghapus aplikasinya dari smartphone.
Masalah utama dari hal ini adalah ketidaktersediaannya perangkat undang-undang yang bisa melindungi data masyarakat . Menurut Pratama, yang dilakukan Facebook sebagai induk WhatsApp WA sebenarnya sudah lama diterapkan di aplikasi Facebook dan Instagram.
"Mengambil data masyarakat seperti interest-nya apa saja dan itu dilempar untuk keperluan iklan para marketer. Iklannya bisa komersial atau iklan politik, serta kegiatan sosial. Jadi bukan hal baru," papar Pratama saat dihubungi MNC Portal Indonesia.
Karakteristik WhatsApp sebagai platform tertutup yang digunakan untuk obrolan apa saja, dari yang rahasia sampai yang terbuka, menjadi masalah lain. Sementara tidak menjadi masalah di Facebook dan Instagram, karena itu platform terbuka. Ungahan apapun bisa dilihat oleh banyak orang.
"Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana WA dibaca datanya oleh FB? Memang yang dilempar datanya ke pengiklan adalah demografi, interest dan semacamnya," katanya.
Uni Eropa sendiri dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi bernama General Data Protection Regulation (GDPR), berhasil memaksa Google dan Facebook untuk membatasi iklan mereka. Uni Eropa juga sukses melindungi masyarakatnya dari eksploitasi data mining atau penambangan data.
Di sana, setiap marketer Facebook misalnya, harus memberikan akses kepada pemilik data yang menjadi target iklan untuk mengetahui data mereka dipakai untuk apa saja. Juga harus ada kesempatan bagi mereka untuk menolak dijadikan objek iklan.
Misalnya dalam menggunakan fitur Facebook Pixel, ketika data diambil dari cookies para pengunjung website. Pemilik platform web harus memberikan keterangan di awal saat seseorang berkunjung bahwa data mereka juga digunakan untuk keperluan marketing dan sebagainya, termasuk Facebook ads.
"Ini belum ada di Indonesia sehingga data kita sangat mudah diekspolitasi siapapun," tandas Pratama. (Baca juga: Akhirnya...Harga Emas Naik Goceng, Ini Rinciannya )
(iqb)