Ini Alasan Mengapa Pembeli Galaxy S21 Tidak Butuh Charger dan Earphone
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembeli ponsel flagship Samsung Galaxy S21 mendapat ukuran kotak/kardus yang lebih kecil dan tipis. Itu, karena di dalamnya tidak ada lagi earphone dan charger plug atau kepala charger. Mengapa?
Baik Apple maupun Samsung sama-sama sepakat. Bahwa ketiadaan earphone maupun kepala charger itu memiliki tujuan mulia. Selain mendorong kebiasaan atau perilaku ramah lingkungan bagi konsumen, juga untuk mengurangi sampah atau limbah yang berasal dari peralatan elektronik atau e-Waste.
Tentu saja konsumen akan bertanya lagi, apakah memang sebesar itu dampak tidak mengikutsertakan travel charger/kepala charger dan earphone di dalam kotak pembelian terhadap lingkungan hidup?
Mengenal E-Waste
Kondisi e-Waste yang semakin menjadi masalah bagi lingkungan hidup.
Cara terbaik menjawab pertanyaan tersebut tentu dengan statistik. Pertama, kita mulai dulu dari definisi e-Waste. e-Waste atau sampah elektronik adalah barang-barang elektronik bekas yang sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya. Ini bisa berupa kabel-kabel, monitor, earphone, dan tentu saja charger.
Pada 2019, total smartphone yang dikapalkan di seluruh dunia mencapai 1,5 miliar unit. Itu belum termasuk tablet, laptop, dan perangkat lainnya.
Nah, perkiraan limbah elektronik yang dihasilkan hanya dari 1,5 miliar kepala charger di kotak smartphone itu mencapai 300,000 ton. Angkanya tinggi sekali!
Laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020 yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut bahwa jumlah sampah elektronik pada 2019 lalu mencapai 53 juta ton. Dan diprediksi akan mencapai 74 juta ton pada 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada 2050.
Fakta menarik lain, negara-negara di benua Asia menyumbang sampah elektronik paling banyak di dunia dengan jumlah 25 juta ton, disusul Amerika 13 juta ton, dan Eropa 12 juta ton.
Nah, yang menjadi masalah, hanya 20 persen sampah elektronik di seluruh dunia yang bisa di daur ulang. Bahkan, tidak sembarang perusahaan yang bisa mendaur ulang sampah elektronik.
Lalu, lari kemana sisa limbah elektronik itu? Dibakar, ditimbun, dan dibuang ke sungai dan laut. Padahal, selain kandungan plastik, sampah elektronik memiliki banyak komponen logam berat berbahaya dan beracun bagi lingkungan.
Mengubah Tingkah Laku
Melihat fakta di atas, rasanya memang tidak ada alasan bagi konsumen yang membeli Galaxy S21 untuk protes, kesal, atau tidak jadi beli hanya karena alasan tidak ada charger dan earphone. Justru sebaliknya, seperti yang disebut Head of Customer Experience Samsung Patrick Chomet, mereka-mereka inilah yang paling mudah mengadopsi kebiasaan reuse (penggunaan kembali) dan gaya hidup ramah lingkungan.
”Kami berharap konsumen bisa terhindar dari konsumsi berlebihan. Karena banyak konsumen yang merasa mendapat charger yang tidak dibutuhkan saat membeli ponsel baru,” jelasnya. Apalagi, Samsung sendiri sudah mulai mengadopsi USB-C sejak 2017. Logikanya, selama lebih dari 3 tahun konsumen sudah terbiasa dan sudah memiliki beragam aksesoris pendukung.
Kalaupun memang belum memiliki kepala charger, Samsung Indonesia sudah menurunkan harga adapter charger mereka untuk Galaxy S21. Konsumen bisa membeli adapter atau kepala chargernya saja, atau sepaket dengan kabel bahkan wireless charger pad.
Kepala charger yang sudah mendukung Super Fast Charging 25W dengan dukungan USB-C dibanderol Rp449.000. Sementara pengisian daya nirkabel Samsung Wireless Charger 9W dijual mulai Rp549 ribu hingga Rp1,199 juta.
Tapi, bagaimana dengan ketiadaan earphone? Jujur, sejak memakai True Wireless Earphone (TWS), Sindonews sudah lama tidak memakai earphone dengan kabel. Alasannya, lebih praktis. Juga, tetap nyaman dan berkualitas.
Pilihan harganya pun beragam, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Belum tentu juga jika diberikan earphone kabel pasti terpakai oleh konsumen Galaxy S21.
Maka, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup konsumen saat ini sudah berubah. Sudah saatnya konsumen—khususnya menengah ke atas—yang jadi pengguna Galaxy S21 ataupun iPhone 12 mulai berpikir soal lingkungan dan e-Waste.
Berdasarkan perhitungan The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources, sampah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia pada 2016 sudah mencapai 1,274 juta ton. Jumlah itu akan terus meningkat. Dan tidak ada salahnya untuk tidak menjadi bagian dari situ.
Baik Apple maupun Samsung sama-sama sepakat. Bahwa ketiadaan earphone maupun kepala charger itu memiliki tujuan mulia. Selain mendorong kebiasaan atau perilaku ramah lingkungan bagi konsumen, juga untuk mengurangi sampah atau limbah yang berasal dari peralatan elektronik atau e-Waste.
Tentu saja konsumen akan bertanya lagi, apakah memang sebesar itu dampak tidak mengikutsertakan travel charger/kepala charger dan earphone di dalam kotak pembelian terhadap lingkungan hidup?
Mengenal E-Waste
Kondisi e-Waste yang semakin menjadi masalah bagi lingkungan hidup.
Cara terbaik menjawab pertanyaan tersebut tentu dengan statistik. Pertama, kita mulai dulu dari definisi e-Waste. e-Waste atau sampah elektronik adalah barang-barang elektronik bekas yang sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya. Ini bisa berupa kabel-kabel, monitor, earphone, dan tentu saja charger.
Pada 2019, total smartphone yang dikapalkan di seluruh dunia mencapai 1,5 miliar unit. Itu belum termasuk tablet, laptop, dan perangkat lainnya.
Nah, perkiraan limbah elektronik yang dihasilkan hanya dari 1,5 miliar kepala charger di kotak smartphone itu mencapai 300,000 ton. Angkanya tinggi sekali!
Laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020 yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut bahwa jumlah sampah elektronik pada 2019 lalu mencapai 53 juta ton. Dan diprediksi akan mencapai 74 juta ton pada 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada 2050.
Fakta menarik lain, negara-negara di benua Asia menyumbang sampah elektronik paling banyak di dunia dengan jumlah 25 juta ton, disusul Amerika 13 juta ton, dan Eropa 12 juta ton.
Nah, yang menjadi masalah, hanya 20 persen sampah elektronik di seluruh dunia yang bisa di daur ulang. Bahkan, tidak sembarang perusahaan yang bisa mendaur ulang sampah elektronik.
Lalu, lari kemana sisa limbah elektronik itu? Dibakar, ditimbun, dan dibuang ke sungai dan laut. Padahal, selain kandungan plastik, sampah elektronik memiliki banyak komponen logam berat berbahaya dan beracun bagi lingkungan.
Mengubah Tingkah Laku
Melihat fakta di atas, rasanya memang tidak ada alasan bagi konsumen yang membeli Galaxy S21 untuk protes, kesal, atau tidak jadi beli hanya karena alasan tidak ada charger dan earphone. Justru sebaliknya, seperti yang disebut Head of Customer Experience Samsung Patrick Chomet, mereka-mereka inilah yang paling mudah mengadopsi kebiasaan reuse (penggunaan kembali) dan gaya hidup ramah lingkungan.
”Kami berharap konsumen bisa terhindar dari konsumsi berlebihan. Karena banyak konsumen yang merasa mendapat charger yang tidak dibutuhkan saat membeli ponsel baru,” jelasnya. Apalagi, Samsung sendiri sudah mulai mengadopsi USB-C sejak 2017. Logikanya, selama lebih dari 3 tahun konsumen sudah terbiasa dan sudah memiliki beragam aksesoris pendukung.
Kalaupun memang belum memiliki kepala charger, Samsung Indonesia sudah menurunkan harga adapter charger mereka untuk Galaxy S21. Konsumen bisa membeli adapter atau kepala chargernya saja, atau sepaket dengan kabel bahkan wireless charger pad.
Kepala charger yang sudah mendukung Super Fast Charging 25W dengan dukungan USB-C dibanderol Rp449.000. Sementara pengisian daya nirkabel Samsung Wireless Charger 9W dijual mulai Rp549 ribu hingga Rp1,199 juta.
Tapi, bagaimana dengan ketiadaan earphone? Jujur, sejak memakai True Wireless Earphone (TWS), Sindonews sudah lama tidak memakai earphone dengan kabel. Alasannya, lebih praktis. Juga, tetap nyaman dan berkualitas.
Pilihan harganya pun beragam, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Belum tentu juga jika diberikan earphone kabel pasti terpakai oleh konsumen Galaxy S21.
Maka, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup konsumen saat ini sudah berubah. Sudah saatnya konsumen—khususnya menengah ke atas—yang jadi pengguna Galaxy S21 ataupun iPhone 12 mulai berpikir soal lingkungan dan e-Waste.
Berdasarkan perhitungan The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources, sampah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia pada 2016 sudah mencapai 1,274 juta ton. Jumlah itu akan terus meningkat. Dan tidak ada salahnya untuk tidak menjadi bagian dari situ.
(dan)