Industri Gim Kewalahan Produksi Selama Pandemi

Sabtu, 19 September 2020 - 06:25 WIB
loading...
Industri Gim Kewalahan Produksi Selama Pandemi
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Selalu ada berkah di balik musibah. Pepatah ini dirasakan oleh industri gim. Selama pandemi Covid-19 berlangsung dan menyengsarakan penduduk dunia, industri mainan malah mengeruk keuntungan sangat besar.

Pasalnya, dengan adanya pemberlakuan lockdown di berbagai negara di dunia, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, termasuk untuk mencari hiburan. Karena itulah jumlah gamer meningkat tajam. (Baca: Penjelasan Satgas Corona Soal Angka Kematian Simpang Siur)

Berdasarkan data Forum Ekonomi Dunia (WEF), pasar video game dunia diperkirakan mencapai USD159 miliar pada 2020 atau sekitar empat kali lipat pendapatan box office (USD43 miliar pada 2019) dan tiga kali lipat pendapatan industri musik (USD57 miliar pada 2019). Pangsa pasar terbesar berasal dari Asia-Pasifik.

“Masyarakat kini membeli lebih sedikit gim dibandingkan satu dekade sebelumnya, tapi durasi bermain gimnya jauh lebih tinggi. Hal ini turut menggeser model bisnis video gim dari penjualan unit menjadi penjualan berbasis pengguna aktif sehingga tak heran sangat banyak online game,” ungkap WEF.

Doom Eternal, yang dirilis pertengahan Maret lalu, menjadi gim dengan penjualan terbanyak pada pekan pertama di antara seri gim Doom yang lain. Animal Crossing juga memecahkan rekor penjualan dan menjadi fenomena baru.

Platform streaming video game juga meraup keuntungan besar, termasuk stasiun televisi olahraga yang menayangkan e-sports. Dari kuartal keempat (Q4) 2019 hingga Q1 2020, Twitch ditonton tiga miliar jam untuk pertama kali.

Untuk merespons ledakan permintaan itulah, industri gim berlomba-lomba merilis produk baru. Nontendo, misalnya, berencana meningkatkan produksi konsol video game Switch sebesar 20% dengan target penjualan 30 juta unit pada tahun ini menyusul tingginya permintaan. Switch mengalami kenaikan popularitas berkat Animal Crossing: New Horizons, sebuah gim yang populer di kalangan anak remaja. (Baca juga: Inilah Tips Melawan Rasa Malas Beribadah)

Sony dan Microsoft juga sedang bersiap-siap merilis generasi terbaru PlayStation 5 dan Xbox Series X. Sederetan gim terbaru sudah berbaris untuk dimainkan di konsol terbaru. “Jika rilis konsol tertunda, imbasnya tak diragukan lagi akan dapat dirasakan ke seluruh pasar gim,” kata Piscatella dari N.P.D. Group.

Namun, produsen gim bukannya tanpa kendala untuk bisa memproduksi produk mereka sebanyak-banyaknya. Pekerja mereka juga terkendala sejumlah persoalan, terutama dirasakan pada pekan kedua dan ketiga masa isolasi. Banyak karyawan mereka yang sudah berkeluarga tidak dapat bekerja penuh karena mereka perlu mendampingi anak-anak selama mengikuti kelas online. Komunikasi juga sulit. Dengan lingkungan kerja yang berubah, produktivitas pun melambat.

“Mitra kami di luar Larian Studio juga ada yang tutup. Imbasnya, semuanya menjadi kacau balau,” ujar Swen Vincke, pendiri sekaligus CEO Larian Studios yang kini menggarap gim terbaru, Baldur’s Gate 3, dikutip New York Times. “Selain itu, koordinator tiap divisi mulai mengalami stres, terutama dalam hal komunikasi. Kami bahkan pernah menghabiskan empat hari hanya untuk menyelesaikan satu masalah.”

Perusahaan pengembang video game yang lain juga menghadapi masalah serupa. Naughty Dog sempat menunda tanggal rilis The Last of US: Part II beberapa kali sejak awal tahun sebelum akhirnya dirilis 19 Juni lalu. Penyebabnya, pabrik, distributor, dan toko video game sedang menghadapi masalah di dunia. (Baca juga: Masih Banyak Siswa Belum Memiliki Gawai dan Kesulitan Sinyal)

Square Enix juga sempat menunda update terbaru untuk online game Final Fantasy XIV. Begitu pun dengan Microsoft yang menunda Role Playing Game (RPG) Wasteland dari Mei menjadi Agustus karena mengalami masalah logistik. Amazon juga menunda multiplayer game New World dengan alasan serupa.

Sementara itu, perusahaan besar seperti Ubisoft mampu menangani isu ini secara lebih efektif. Dengan karyawan mencapai 17.000 orang di 55 studio yang tersebar di dunia, pengembang gim Far Cry dan Assassin’s Creed itu dapat memindahkan satu proyek dari tim A ke tim B dengan cepat, meski lintas negara.

“Kami dapat memindahkan beberapa tugas dari satu tim ke tim yang lain, misal dari India ke China, ketika tim kami di India harus bekerja dari rumah,” kata Yves Guillemot, CEO Ubisoft. “Kami juga sebelumnya sudah belajar dari pengalaman dan praktik tim kami di China yang menghadapi isu ini lebih dulu.” Bagaimanapun, tidak semuanya seberuntung Ubisoft atau Naughty Dog. (Lihat videonya: Istana Para Raja di Wilayah Sulsel Berusia Ratusan Tahun)

Jukka Laakso, CEO Rival Games, mengaku terpaksa menutup perusahaannya pada 10 April lalu. Sebelumnya, pengembang video game asal Finlandia itu sudah mengalami krisis keuangan. Namun, semuanya berakhir saat pandemi Covid-19 datang. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1821 seconds (0.1#10.140)