UGM Kembangkan Alat Radiografi Digital untuk Bantu Penanganan Covid-19
Sabtu, 08 Agustus 2020 - 10:04 WIB
“Kita masuk dalam DDR juga, direct digital radiografi. Perbedaannya adalah dosisnya relatif rendah, tegangan dan dayanya juga lebih rendah sehingga bisa dioperasikan di puskesmas,” katanya.
Bayu menuturkan bahwa dengan adanya alat radiologi digital ini, setiap puskesmas dapat menggunakannya untuk melakukan kontrol kesehatan masyarakat, khususnya Covid-19. Puskesmas hanya perlu mengambil gambar paru-paru pasien yang selanjutnya dikirim ke radiografis melalui jaringan internet. “Jadi, di puskesmas tidak perlu dokter atau radiologisnya,” ungkapnya.
Penelitian ini mendapatkan tantangan terkait pemetaan paru-paru, sejauh mana teknologi ini dapat meyakinkan pengguna. Meski sudah dijelaskan Bayu bahwa alat ini dapat memetakan paru-paru, pemerintah masih belum percaya dengan hasil karyanya.
“Secara ilmiah, kita sudah yakin ini aman, murah, layanan hanya tiga detik, mudah juga operasinya, teknologi adaptif,” kata Bayu. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)
Bayu juga telah mencoba alat buatannya melalui dengan memfoto gambar dirinya, mulai dari tangan, paru-paru, hingga kaki. Ia mengungkapkan bahwa itu merupakan salah satu bagian dari uji klinis apakah teknologi buatannya aman untuk digunakan secara luas.
Dosen UGM itu merasakan susahnya mendapatkan izin edar dan izin produksi di Indonesia. Lain halnya dengan produk luar yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Padahal, alat yang sudah dibuatnya sejak lama dan telah memiliki hak paten itu sangat berperan penting dalam membantu percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Saya yang tinggal di perguruan tinggi kan bingung sendiri, sudah meneliti, terus memproduksi, setelah memproduksi harus ada izin produksi, setelah itu harus ada izin edar. Nah, itu kan harus perusahaan besar,” tuturnya.
Bukan hanya Bayu, banyak juga produk-produk unggulan dari universitas di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi produk kebanggaan Indonesia. Namun, regulasi izin edar dan produksi masih menjadi kendala utama bagi para peneliti Indonesia untuk berkembang.
“Sebenarnya regulasinya, regulasi kita yang membuat ketat. Kita kan tidak membuat yang baru. Ini kan teknologi tinggal racik. Kita belajar metodologinya,” tandasnya.
Dosen UGM itu mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya memiliki inisiatif untuk mengambil produk-produk anak bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat. “Karena itu adalah karya perguruan tinggi, termasuk hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah,” katanya. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)
Bayu menuturkan bahwa dengan adanya alat radiologi digital ini, setiap puskesmas dapat menggunakannya untuk melakukan kontrol kesehatan masyarakat, khususnya Covid-19. Puskesmas hanya perlu mengambil gambar paru-paru pasien yang selanjutnya dikirim ke radiografis melalui jaringan internet. “Jadi, di puskesmas tidak perlu dokter atau radiologisnya,” ungkapnya.
Penelitian ini mendapatkan tantangan terkait pemetaan paru-paru, sejauh mana teknologi ini dapat meyakinkan pengguna. Meski sudah dijelaskan Bayu bahwa alat ini dapat memetakan paru-paru, pemerintah masih belum percaya dengan hasil karyanya.
“Secara ilmiah, kita sudah yakin ini aman, murah, layanan hanya tiga detik, mudah juga operasinya, teknologi adaptif,” kata Bayu. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)
Bayu juga telah mencoba alat buatannya melalui dengan memfoto gambar dirinya, mulai dari tangan, paru-paru, hingga kaki. Ia mengungkapkan bahwa itu merupakan salah satu bagian dari uji klinis apakah teknologi buatannya aman untuk digunakan secara luas.
Dosen UGM itu merasakan susahnya mendapatkan izin edar dan izin produksi di Indonesia. Lain halnya dengan produk luar yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Padahal, alat yang sudah dibuatnya sejak lama dan telah memiliki hak paten itu sangat berperan penting dalam membantu percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Saya yang tinggal di perguruan tinggi kan bingung sendiri, sudah meneliti, terus memproduksi, setelah memproduksi harus ada izin produksi, setelah itu harus ada izin edar. Nah, itu kan harus perusahaan besar,” tuturnya.
Bukan hanya Bayu, banyak juga produk-produk unggulan dari universitas di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi produk kebanggaan Indonesia. Namun, regulasi izin edar dan produksi masih menjadi kendala utama bagi para peneliti Indonesia untuk berkembang.
“Sebenarnya regulasinya, regulasi kita yang membuat ketat. Kita kan tidak membuat yang baru. Ini kan teknologi tinggal racik. Kita belajar metodologinya,” tandasnya.
Dosen UGM itu mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya memiliki inisiatif untuk mengambil produk-produk anak bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat. “Karena itu adalah karya perguruan tinggi, termasuk hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah,” katanya. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)
tulis komentar anda