UGM Kembangkan Alat Radiografi Digital untuk Bantu Penanganan Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menciptakan teknologi radiografi digital untuk membantu penanganan pasien Covid-19. Radiografi digital dapat mempercepat pengambilan gambar paru-paru dan analisis yang dilakukan oleh dokter sebagai salah satu prosedur manajemen pasien.
Sejak pandemi Covid-19 muncul, seluruh dunia mulai berlomba untuk mengembangkan berbagai teknologi pendeteksi dan pencegah hingga vaksin yang dapat mengobati pasien positif Covid-19. Berbagai metode dan cara dilakukan oleh para peneliti infrastruktur kesehatan.
Sejauh ini, ada dua alat yang sering digunakan untuk mendeteksi Covid-19, yaitu rapid test dan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) atau yang dikenal dengan swab test. Kedua alat ini pun mempunyai tingkat akurasi yang berbeda, di mana rapid test memiliki tingkat akurasi sebesar 30% dan PCR 75%.
Dosen UGM Drs Gede Bayu Suparta, MS, PhD mengatakan bahwa alat uji Covid-19 hanya sebatas pengujian untuk mendeteksi adanya keberadaan virus tersebut. Alat itu tidak dapat memonitor perkembangan kondisi paru-paru pasien positif Covid-19, apakah lebih baik atau makin parah. (Baca: UGM Ajak Seluruh Elemen Masyarakat Bersatu Lawan Covid-19)
Melihat kondisi ini, Bayu mengenalkan alat radiografi digital yang telah dikembangkannya bersama tim. Alat ini diberi nama Madeena atau Made in Ina (Indonesia) dan diklaim lebih ramah dengan protokol kesehatan karena tidak menggunakan hard film radiografi.
Ia mengatakan bahwa radiografi sudah ada di beberapa rumah sakit di Indonesia. Namun, sebagian besar dapat dikatakan tidak ramah dengan protokol kesehatan karena menggunakan film yang menyebabkan pasien harus berinteraksi dengan radiographer dan dokter.
“Radio digital menjadi penting dalam konteks memonitor, bukan mendiagnosis, memonitor kondisi pasien Covid-19,” katanya.
Bayu menuturkan, meski teknologi radiografi dapat mendeteksi tingkat akurasi Covid-19, tidak semua rumah sakit memilikinya. Dari 3.000-an rumah sakit di Indonesia, hanya rumah sakit tipe A yang mendapat bantuan alat radiografi dari pemerintah.
Jumlah alat radiografi digital yang masih sangat sedikit menjadi motivasi Bayu untuk melakukan riset ini. Hasil karyanya sudah diluncurkan sejak 15 tahun silam sebagai salah satu produk unggulan UGM dan risetnya telah dilakukan sejak 30 tahun silam. (Baca juga: Rusia Diduga Kerahkan Sistem Rudal S-400 ke Libya)
Alat radiografi digital buatan UGM ini sangat mudah dipelajari bagi orang yang awam tentang masalah teknologi sekalipun. Pengoperasian yang mudah membuat seseorang mampu menjadi radiographer. “Prosesnya hanya 3 detik, langsung muncul gambar,” ujarnya.
Cara kerja alat radiografi digital adalah generator memancarkan sinar X kepada pasien dan generator akan menangkap citra atau bayangan gambar. Jika bagian dada yang diberikan sinar X, gambar dada akan ditangkap dan dikirim ke komputer.
Gambar hasil tangkapan radiographer akan dikirim ke fisika medis untuk diverifikasi, apakah betul nama pasiennya dan permintaan yang diinginkan. Setelah mendapatkan acc atau disetujui, gambar dikirim ke radiologis atau dokter untuk mendapatkan analisis lebih lanjut.
Dengan alat ini, Bayu mengungkapkan bahwa fisika medis maupun radiologis tidak perlu datang setiap hari ke rumah sakit. Mereka hanya perlu jaringan internet untuk bisa bekerja dari rumah.
Bayu dan tim juga membuat bilik khusus untuk proses pengambilan foto agar tetap aman bagi pasien. Bilik akan selalu disterilkan setiap kali pasien selesai melakukan proses foto agar tetap bersih dan aman dari Covid-19.
Berbicara tentang harga, ada perbedaan menonjol antara alat radiografi ciptaan anak bangsa dengan barang yang datang dari luar negeri. Produk buatan dalam negeri akan jauh lebih murah daripada produk luar. Selain itu, perubahan bentuk dan kemampuan alat akan lebih mudah dimodifikasi sesuai permintaan pelanggan jika pembuatnya adalah anak bangsa sendiri. (Baca juga: Mendeteksi Mobil yang Sudah Capek Berkelana)
Bayu menyampaikan jika ada pihak yang berminat dengan teknologi ini tidak perlu menunggu lama. Proses pengerjaannya pun cepat, hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk install semuanya.
Saat ini, pesaing teknologi buatan UGM ini adalah Radiografi Flat Detector (RFD) yang ada di pasaran dengan harga sekitar Rp1,5 miliar. Sementara untuk produk Madeena dapat dijual dengan harga di bawah Rp1 miliar. Tinggi rendahnya harga akan menyesuaikan jumlah produksi jika sudah mendapat izin dari pemerintah.
Kebutuhan terhadap teknologi penanganan Covid-19 tidak hanya sebatas di rumah sakit besar atau wilayah perkotaan. Puskemas juga perlu mendapatkan bantuan alat kesehatan yang mampu mendeteksi dan menangani pasien Covid-19 mengingat jumlah pasien terus bertambah.
“Kita masuk dalam DDR juga, direct digital radiografi. Perbedaannya adalah dosisnya relatif rendah, tegangan dan dayanya juga lebih rendah sehingga bisa dioperasikan di puskesmas,” katanya.
Bayu menuturkan bahwa dengan adanya alat radiologi digital ini, setiap puskesmas dapat menggunakannya untuk melakukan kontrol kesehatan masyarakat, khususnya Covid-19. Puskesmas hanya perlu mengambil gambar paru-paru pasien yang selanjutnya dikirim ke radiografis melalui jaringan internet. “Jadi, di puskesmas tidak perlu dokter atau radiologisnya,” ungkapnya.
Penelitian ini mendapatkan tantangan terkait pemetaan paru-paru, sejauh mana teknologi ini dapat meyakinkan pengguna. Meski sudah dijelaskan Bayu bahwa alat ini dapat memetakan paru-paru, pemerintah masih belum percaya dengan hasil karyanya.
“Secara ilmiah, kita sudah yakin ini aman, murah, layanan hanya tiga detik, mudah juga operasinya, teknologi adaptif,” kata Bayu. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)
Bayu juga telah mencoba alat buatannya melalui dengan memfoto gambar dirinya, mulai dari tangan, paru-paru, hingga kaki. Ia mengungkapkan bahwa itu merupakan salah satu bagian dari uji klinis apakah teknologi buatannya aman untuk digunakan secara luas.
Dosen UGM itu merasakan susahnya mendapatkan izin edar dan izin produksi di Indonesia. Lain halnya dengan produk luar yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Padahal, alat yang sudah dibuatnya sejak lama dan telah memiliki hak paten itu sangat berperan penting dalam membantu percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Saya yang tinggal di perguruan tinggi kan bingung sendiri, sudah meneliti, terus memproduksi, setelah memproduksi harus ada izin produksi, setelah itu harus ada izin edar. Nah, itu kan harus perusahaan besar,” tuturnya.
Bukan hanya Bayu, banyak juga produk-produk unggulan dari universitas di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi produk kebanggaan Indonesia. Namun, regulasi izin edar dan produksi masih menjadi kendala utama bagi para peneliti Indonesia untuk berkembang.
“Sebenarnya regulasinya, regulasi kita yang membuat ketat. Kita kan tidak membuat yang baru. Ini kan teknologi tinggal racik. Kita belajar metodologinya,” tandasnya.
Dosen UGM itu mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya memiliki inisiatif untuk mengambil produk-produk anak bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat. “Karena itu adalah karya perguruan tinggi, termasuk hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah,” katanya. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)
Radiografi digital buatan dosen UGM itu telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan puluhan produk lainnya untuk membantu penanggulangan wabah Covid-19 pada 20 Mei lalu di Istana Negara. Namun, belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk melakukan hilirisasi produk tersebut hingga saat ini.
Pada 30 Juli lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan alat radiografi paru atau dada sebagai salah satu prosedur manajemen pasien. Ini menjadi perhatian Bayu agar produk radiografi digital dari luar tidak membanjiri Indonesia.
“Setiap WHO mengeluarkan rekomendasi, pasti terjadi mobilisasi, seperti halnya penggunaan masker sehingga ke mana-mana orang menggunakan masker. PCR test, di mana-mana orang menjual alat PCR test. Sekarang, kalau alat radiografi, jangan-jangan banjir alat radiografi ke Indonesia,” tuturnya. (Fandy)
Sejak pandemi Covid-19 muncul, seluruh dunia mulai berlomba untuk mengembangkan berbagai teknologi pendeteksi dan pencegah hingga vaksin yang dapat mengobati pasien positif Covid-19. Berbagai metode dan cara dilakukan oleh para peneliti infrastruktur kesehatan.
Sejauh ini, ada dua alat yang sering digunakan untuk mendeteksi Covid-19, yaitu rapid test dan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) atau yang dikenal dengan swab test. Kedua alat ini pun mempunyai tingkat akurasi yang berbeda, di mana rapid test memiliki tingkat akurasi sebesar 30% dan PCR 75%.
Dosen UGM Drs Gede Bayu Suparta, MS, PhD mengatakan bahwa alat uji Covid-19 hanya sebatas pengujian untuk mendeteksi adanya keberadaan virus tersebut. Alat itu tidak dapat memonitor perkembangan kondisi paru-paru pasien positif Covid-19, apakah lebih baik atau makin parah. (Baca: UGM Ajak Seluruh Elemen Masyarakat Bersatu Lawan Covid-19)
Melihat kondisi ini, Bayu mengenalkan alat radiografi digital yang telah dikembangkannya bersama tim. Alat ini diberi nama Madeena atau Made in Ina (Indonesia) dan diklaim lebih ramah dengan protokol kesehatan karena tidak menggunakan hard film radiografi.
Ia mengatakan bahwa radiografi sudah ada di beberapa rumah sakit di Indonesia. Namun, sebagian besar dapat dikatakan tidak ramah dengan protokol kesehatan karena menggunakan film yang menyebabkan pasien harus berinteraksi dengan radiographer dan dokter.
“Radio digital menjadi penting dalam konteks memonitor, bukan mendiagnosis, memonitor kondisi pasien Covid-19,” katanya.
Bayu menuturkan, meski teknologi radiografi dapat mendeteksi tingkat akurasi Covid-19, tidak semua rumah sakit memilikinya. Dari 3.000-an rumah sakit di Indonesia, hanya rumah sakit tipe A yang mendapat bantuan alat radiografi dari pemerintah.
Jumlah alat radiografi digital yang masih sangat sedikit menjadi motivasi Bayu untuk melakukan riset ini. Hasil karyanya sudah diluncurkan sejak 15 tahun silam sebagai salah satu produk unggulan UGM dan risetnya telah dilakukan sejak 30 tahun silam. (Baca juga: Rusia Diduga Kerahkan Sistem Rudal S-400 ke Libya)
Alat radiografi digital buatan UGM ini sangat mudah dipelajari bagi orang yang awam tentang masalah teknologi sekalipun. Pengoperasian yang mudah membuat seseorang mampu menjadi radiographer. “Prosesnya hanya 3 detik, langsung muncul gambar,” ujarnya.
Cara kerja alat radiografi digital adalah generator memancarkan sinar X kepada pasien dan generator akan menangkap citra atau bayangan gambar. Jika bagian dada yang diberikan sinar X, gambar dada akan ditangkap dan dikirim ke komputer.
Gambar hasil tangkapan radiographer akan dikirim ke fisika medis untuk diverifikasi, apakah betul nama pasiennya dan permintaan yang diinginkan. Setelah mendapatkan acc atau disetujui, gambar dikirim ke radiologis atau dokter untuk mendapatkan analisis lebih lanjut.
Dengan alat ini, Bayu mengungkapkan bahwa fisika medis maupun radiologis tidak perlu datang setiap hari ke rumah sakit. Mereka hanya perlu jaringan internet untuk bisa bekerja dari rumah.
Bayu dan tim juga membuat bilik khusus untuk proses pengambilan foto agar tetap aman bagi pasien. Bilik akan selalu disterilkan setiap kali pasien selesai melakukan proses foto agar tetap bersih dan aman dari Covid-19.
Berbicara tentang harga, ada perbedaan menonjol antara alat radiografi ciptaan anak bangsa dengan barang yang datang dari luar negeri. Produk buatan dalam negeri akan jauh lebih murah daripada produk luar. Selain itu, perubahan bentuk dan kemampuan alat akan lebih mudah dimodifikasi sesuai permintaan pelanggan jika pembuatnya adalah anak bangsa sendiri. (Baca juga: Mendeteksi Mobil yang Sudah Capek Berkelana)
Bayu menyampaikan jika ada pihak yang berminat dengan teknologi ini tidak perlu menunggu lama. Proses pengerjaannya pun cepat, hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk install semuanya.
Saat ini, pesaing teknologi buatan UGM ini adalah Radiografi Flat Detector (RFD) yang ada di pasaran dengan harga sekitar Rp1,5 miliar. Sementara untuk produk Madeena dapat dijual dengan harga di bawah Rp1 miliar. Tinggi rendahnya harga akan menyesuaikan jumlah produksi jika sudah mendapat izin dari pemerintah.
Kebutuhan terhadap teknologi penanganan Covid-19 tidak hanya sebatas di rumah sakit besar atau wilayah perkotaan. Puskemas juga perlu mendapatkan bantuan alat kesehatan yang mampu mendeteksi dan menangani pasien Covid-19 mengingat jumlah pasien terus bertambah.
“Kita masuk dalam DDR juga, direct digital radiografi. Perbedaannya adalah dosisnya relatif rendah, tegangan dan dayanya juga lebih rendah sehingga bisa dioperasikan di puskesmas,” katanya.
Bayu menuturkan bahwa dengan adanya alat radiologi digital ini, setiap puskesmas dapat menggunakannya untuk melakukan kontrol kesehatan masyarakat, khususnya Covid-19. Puskesmas hanya perlu mengambil gambar paru-paru pasien yang selanjutnya dikirim ke radiografis melalui jaringan internet. “Jadi, di puskesmas tidak perlu dokter atau radiologisnya,” ungkapnya.
Penelitian ini mendapatkan tantangan terkait pemetaan paru-paru, sejauh mana teknologi ini dapat meyakinkan pengguna. Meski sudah dijelaskan Bayu bahwa alat ini dapat memetakan paru-paru, pemerintah masih belum percaya dengan hasil karyanya.
“Secara ilmiah, kita sudah yakin ini aman, murah, layanan hanya tiga detik, mudah juga operasinya, teknologi adaptif,” kata Bayu. (Baca juga: Ekonomi Jabar Anjlok, Ridwan Kamil Minta Belanja Rutin Dimaksimalkan)
Bayu juga telah mencoba alat buatannya melalui dengan memfoto gambar dirinya, mulai dari tangan, paru-paru, hingga kaki. Ia mengungkapkan bahwa itu merupakan salah satu bagian dari uji klinis apakah teknologi buatannya aman untuk digunakan secara luas.
Dosen UGM itu merasakan susahnya mendapatkan izin edar dan izin produksi di Indonesia. Lain halnya dengan produk luar yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Padahal, alat yang sudah dibuatnya sejak lama dan telah memiliki hak paten itu sangat berperan penting dalam membantu percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Saya yang tinggal di perguruan tinggi kan bingung sendiri, sudah meneliti, terus memproduksi, setelah memproduksi harus ada izin produksi, setelah itu harus ada izin edar. Nah, itu kan harus perusahaan besar,” tuturnya.
Bukan hanya Bayu, banyak juga produk-produk unggulan dari universitas di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi produk kebanggaan Indonesia. Namun, regulasi izin edar dan produksi masih menjadi kendala utama bagi para peneliti Indonesia untuk berkembang.
“Sebenarnya regulasinya, regulasi kita yang membuat ketat. Kita kan tidak membuat yang baru. Ini kan teknologi tinggal racik. Kita belajar metodologinya,” tandasnya.
Dosen UGM itu mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya memiliki inisiatif untuk mengambil produk-produk anak bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat. “Karena itu adalah karya perguruan tinggi, termasuk hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah,” katanya. (Lihat videonya: Melanggar Protokol Kesehatan, 31 Perkantoran Ditutup Sementara)
Radiografi digital buatan dosen UGM itu telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan puluhan produk lainnya untuk membantu penanggulangan wabah Covid-19 pada 20 Mei lalu di Istana Negara. Namun, belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk melakukan hilirisasi produk tersebut hingga saat ini.
Pada 30 Juli lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan alat radiografi paru atau dada sebagai salah satu prosedur manajemen pasien. Ini menjadi perhatian Bayu agar produk radiografi digital dari luar tidak membanjiri Indonesia.
“Setiap WHO mengeluarkan rekomendasi, pasti terjadi mobilisasi, seperti halnya penggunaan masker sehingga ke mana-mana orang menggunakan masker. PCR test, di mana-mana orang menjual alat PCR test. Sekarang, kalau alat radiografi, jangan-jangan banjir alat radiografi ke Indonesia,” tuturnya. (Fandy)
(ysw)