Pupuk Budaya Keamanan Siber di Indonesia Sejak Dini

Selasa, 26 September 2023 - 18:32 WIB
loading...
Pupuk Budaya Keamanan Siber di Indonesia Sejak Dini
Pembangunan jaringan internet oleh salah satu operator di IKN, terus memperluas koneksi internet ke seluruh masyarakat Indonesia. Foto: XL Axiata
A A A
JAKARTA - APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengeluarkan hasil survei terbarunya pada Maret 2023. Melalui laman resminya, APJII memaparkan bahwa penetrasi pengguna internet di Tanah Air mencapai angka 78,19% pada tahun 2023.

Artinya, penetrasi internet sudah menyasar lebih dari 215 juta orang masyarakat Indonesia. Angka ini naik 1,17% jika dibandingkan dengan survei pada periode sebelumnya. Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, mengatakan bahwa meningkatan ini terjadi karena internet yang kian menjadi kebutuhan masyarakat, terutama sejak pandemi Covid-19.

Bicara mengenai peningkatan jumlah pengguna internet, satu hal terkait yang juga menjadi perhatian adalah mengenai keamanan siber. Sebelum lebih detail membahas mengenai keamanan siber, patut diketahui lebih detail mengenai sejarah penggunaan internet.

Dalam bukunya yang bertajuk Introduction to Cyber Security, Jeetendra Pande mengungkapkan bahwa internet mulai dikenal pada tahun 1960an. Namun, kala itu penggunaan internet terbatas untuk bidang penelitian, keamanan, dan ilmuwan. Pane menyebut, internet baru diperkenalkan secara umum ke ranah publik pada tahun 1996 dan langsung menarik perhatian masyarakat dunia.

Keamanan siber sendiri adalah salah satu hal yang sudah lama menjadi fokus banyak pihak. Meskipun internet baru digunakan masyarakat pada tahun 1996, namun isu keamanan siber sudah merebak sejak tahun 1970an. Seorang peneliti bernama Bob Thomas menciptakan program komputer bernama Creeper.

Program ini mampu bergerak secara leluasa melintasi jaringan ARPANET (The Advanced Research Projects Agency Network) dan meninggalkan jejak digital. Untuk mengamankan semua data yang ada, penemu surel (surat elektronik/e-mail), Ray Tomlinson mengembangkan program baru bernama Reaper dan mampu menghapus Creeper.

Reaper sendiri adalah contoh konkret perangkat lunak antivirus pertama dalam sejarah. Berkaca pada fenomena puluhan tahun itu, keamanan siber dapat diartikan sebagai sebuah cara yang memanfaatkan sistem untuk menghalau serangan di dunia maya.

Sistem tersebut bisa terdiri dari perangkat lunak, perangkat keras, maupun data. Secara umum, keamanan terdiri dari keamanan siber dan keamanan fisik, serta keduanya digunakan oleh perusahaan untuk melindungi diri. Keamanan siber dirancang secanggih mungkin untuk dapat menjaga keamanan data secara keseluruhan.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam data yang dirilis NCSI (National Cyber Security Index), Indonesia berada di peringkat ke-49 pada tahun 2023 dengan skor 63,64. Sementara itu, di negara APEC, Indonesia berada di peringkat ke-8, di bawah Malaysia, Korea Selatan, Bangladesh, Australia, Thailand, dan Filipina. Indonesia mencapai ranking terendahnya pada sekitaran tahun 2020 dengan berada di ranking ke-111 di dunia.

Peringkat Indonesia yang terus membaik menunjukkan bahwa pemerintah bekerja keras untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem keamanan siber negara. Pada awal Agustus 2023, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) meluncurkan CSIRT (Computer Security Incident Response Team) atau Tim Tanggap Insiden Siber pada Instansi Pemerintah Pusat.

Pembentukan CSIRT ini diatur dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2022 mengenai Pelindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV) Pasal 4, yakni sektor IIV, yang salah satunya meliputi administrasi pemerintahan. Selain itu dalam pasal 12, penyelenggara IIV membentuk Tim Tanggap Insiden Siber (CSIRT) Organisasi.

Berkaca dari Amerika Serikat

Pasca Perang Dingin, isu-isu di ranah Hubungan Internasional (HI) melebar. Jika sebelumnya isu dan kajian HI hanya berkutat seputar konflik dan senjata, kini meluas menjadi kesehatan, ekonomi, lingkungan, hingga teknologi. Selain itu, berkembang pula kajian yang menjadikan teknologi, terutama keamanan siber sebagai keamanan sebuah negara. Para peneliti HI menginduk pada teori keamanan yang dicetuskan Barry Buzan.

Meskipun tidak spesifik membahas mengenai keamanan siber, namun teori keamanan milik Buzan banyak dikembangkan hingga akhirnya bisa mencakup mengenai keamanan siber.

Perluasan isu setelah Perang Dingin tersebut diidentifikasi lebih lengkap oleh Buzan. Melalui jurnalnya yang bertajuk Rethinking Security after The Cold War dalam Cooperation and Conflict, Buzan menyebut 5 aspek dalam dimensi keamanan nasional, yakni keamanan politik, keamanan militer, keamanan politik, keamanan masyarakat, dan keamanan lingkungan. Isu keamanan siber kemudian ditarik ke dalam area keamanan nasional. Kemajuan teknologi membuat interaksi antar aktor menjadi lebih luas, dibarengi dengan risiko peretasan data yang bermuara pada ancaman nasional. Dengan begitu, keamanan nasional tidak lagi soal militer, namun berevolusi menjadi non-militer.

Keamanan siber di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS). Negara tersebut menempati posisi teratas dalam Global Cybersecurity Index tahun 2020. Berdasarkan data yang dipublikasi di laman Statista, AS memiliki skor CGI 100, sementara Inggris menyusul dengan skor tipis, yakni 99,54. Bahkan, negara tetangga Indonesia, Singapura dan Malaysia masuk dalam jajaran 10 negara dengan CGI terbaik. Data selengkapnya dalam dilihat dalam tabel di bawah ini.

Negara GCI (Global Cybersecurity Index)

Amerika Serikat 100.00
Inggris 99.54
Saudi Arabia 99.54
Estonia 99.48
Korea 98.52
Singapura 98.52
Spanyol 98.52
Rusia 98.06
Arab Saudi 98.06
Malaysia 98.06

10 negara dengan skor CGI terbaik di dunia tahun 2020 (sumber: Statista)

Terkait dengan kondisi terkini mengenai keamanan siber, secara spesifik saya hanya akan membahas AS. Mengapa AS? Justru inilah poin menariknya.

Alih-alih menempati urutan terbaik negara dengan CGI paling tinggi, AS pernah kebobolan data yang mengancam keamanan nasionalnya. Negara super power ini pernah dilanda kasus WikiLeaks pada tahun 2015. WikiLeaks adalah situs internet yang muncul mulai tahun 2006. Situs tersebut lantas mempublikasikan ‘rahasia dapur’ AS pada Juni 2015 dan cukup menggemparkan. Pemerintah AS sendiri mengklaim bahwa keamanan nasional negaranya sangat terancam.

Apa yang dibeberkan oleh WikiLeaks? Salah satunya adalah keberadaan dokumen yang diduga berasal dari seorang diplomat Arab Saudi. Dalam dokumen tersebut, diketahui bahwa Iran mengirimkan peralatan nuklir ke Sudan pada tahun 2012. Dengan cerdik, WikiLeaks mengambil setidaknya 60 ribu file rahasia yang berasal dari Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi di berbagai negara. Kebocoran data kembali terjadi pada Oktober 2015 dan menyasar pihak intelijen AS atau yang lebih familiar dengan nama CIA. Dokumen rahasia itu berhasil menguak ‘borok’ CIA di Afghanistan dengan melakukan sederet aksi penyiksaan oleh agen terhadap tahanan.

Sekitar 2 tahun sebelum kasus WikiLeaks, NASA (National Aeronautics and Space Administration) menginformasikan adanya tindak penyusupan jaringan siber di JPL (Jet Propulsion Laboratory) milik NASA. Sementara itu, alamat internet (IP) yang terdeteksi berasal dari China. Akibatnya, pelaku mampu mendapat akses dan kendali penuh fungsional via jaringan. Dengan begitu, mereka mungkin saha mampu menghapus, memodifikasi, hingga menyalin dokumen negara. Dengan adanya kasus ini, pemerintah AS dibuat kocar kacir. Jika sekelas AS saja belum bisa menerapkan budaya keamanan siber yang baik, bagaimana negara-negara lain yang tidak memiliki kesadaran keamanan siber mumpuni?

Menyadari bahwa dunia siber adalah ‘lahan basah’ para peretas tak bertanggungjawab, pemerintah AS semakin giat dalam meningkatkan keamanan sibernya. Pemaksimalan upaya menjaga keamanan siber sebenarnya sudah digaungkan cukup kencang oleh Presiden Barrack Obama pada tahun 2014.

Ia mengatakan bahwa dunia siber yang kian canggih akan meningkatkan keparahan ancaman kebocoran data. Maka dari itu, wajib bagi pemerintah untuk cepat melawan ancaman. Di tahun 2015, pemerintah AS melakukan kolaborasi dengan sektor swasta. Sebab, menjaga keamanan siber dirasa bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga pihak swasta. Di awal tahun 2015, Obama mendorong pembentukan ISAO (Information Sharing and Analysis Organization). Obama juga mengarahkan pendirian CTIC atau Pusat Intelijen Ancaman Siber.

Puncaknya, undang-undang mengenai keamanan siber yang akan membuat pertukaran informasi mengenai keamanan siber disahkan pada akhir tahun 2015. Dengan adanya undang-undang ini, maka seluruh sirkulasi informasi keamanan siber, baik dari pihak pemerintah AS dan pihak swasta menjadi lebih mudah, efektif, dan leluasa. Upaya sinergitas mengenai keamanan siber juga menjadi fokus pemerintah AS pada tahun 2016.

Isu keamanan siber juga menjadi bidikan utama pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris. Dalam dokumen resmi pemerintah AS yang dimuat dalam laman White House, Biden dan Harris menekankan bahwa pemerintah harus menggunakan segala alat keamanan nasional untuk mampu menjaga keamanan dunia maya.

Perlunya Kolaborasi, Bukan Kerja Sendiri

Jika ingin menciptakan iklim keamanan siber yang aman, kolaborasi berbagai sektor adalah jalan terbaik. Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) sudah mengajak kolaborasi pentahelix guna meningkatkan keamanan siber. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak talenta ahli keamanan digital berkualitas nomor wahid. Apalagi, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) melaporkan bahwa ada sekitar 370 juta serangan siber pada tahun 2022. Hal tersebut adalah pendorong utama patut dilakukannya kolaborasi yang lebih aktif dalam budaya keamanan siber, bukan kerja sendiri.

Kolaborasi yang dilakukan Kominfo, misalnya, sudah sangat baik dengan visi mencetak talenta muda keamanan siber. Gerakan Nasional Literasi Digital, Program Talent Scholarship, dan Program Digital Leadership Academy, adalah sederet program Kominfo dari tingkat dasar hingga lanjutan dengan kolaborasi dengan banyak pihak, seperti akademisi, industri, dan lembaga non pemerintah lainnya.

Pada bidang pendidikan, mata pelajaran mengenai keamanan siber baiknya dilakukan sedini mungkin. Tentu, anak-anak di bangku SD belum mengerti dan meyerap pelajaran keamanan siber dengan mudah. Maka dari itu, pelajaran dasar mengenai internet atau TIK diperkenalkan secara komprehensif sejak SD.

Seiring meningkatnya jenjang pendidikan, para siswa tentunya bisa diberikan pelajaran mengenai keamanan siber, meskipun masih menjadi bagian dari mata pelajaran TIK. Walaupun begitu, para siswa sudah bisa mendeteksi dengan dini apa saja jenis-jenis pencurian data dan bagaimana cara mengamankan data pribadi mereka. Jika anak-anak sudah memiliki bekal sejak awal, maka visi untuk memiliki talenta muda penjaga siber Indonesia akan mudah terwujud.

Indonesia memang sudah memiliki beberapa universitas yang memiliki mata kuliah keamanan siber, sebut saja Universitas Tanjungpura, Universitas Surabaya, Binus University, dan Telkom University. Sayangnya, belum banyak kampus di Indonesia yang menyediakan jurusan tersebut, padahal prospek yang ditawarkan sangat menggiurkan. Mari belajar dari AS yang memiliki 178 gelar sarjana berbeda di bidang keamanan siber dan tersebar di seluruh wilayah negara. Lagi-lagi, AS berusaha sebaik mungkin untuk mengimplementasikan pesan Obama untuk memperkuat segala sektor untuk menjaga keamanan siber, termasuk dari sisi pendidikan.

Kolaborasi antara Kominfo, Kemendikbud, BSSN, dan pihak lain untuk memasifkan prodi keamanan siber adalah jalan yang bisa ditempuh. Terlebih, jurusan kuliah seputar komputer dan informasi (ilmu komputer, teknik komputer, teknologi informasi, dan sistem informasi) adalah sederet jurusan yang banyak dibidik calon mahasiswa baru.



Contohnya adalah Universitas Indonesia (UI) yang memiliki total peminat hingga 609 ribu untuk jurusan Ilmu Komputer, Teknik Komputer, dan Sistem Informasi pada SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes) tahun 2022. Antusiasme calon mahasiswa baru untuk mempelajari sistem informasi bisa dijadikan ‘sasaran empuk’ pemerintah untuk memasifkan pelajaran mengenai keamanan siber.

Jika sudah berhasil, keamanan siber bisa dimasukkan ke seluruh jurusan dan dikategorikan sebagai mata kuliah pilihan. Budaya keamanan siber harus dipupuk sejak dini. Literasi mengenai siber juga harus gencar diberikan kepada masyarakat, terutama para pelajar. Dengan begitu, budaya keamanan siber bisa mandarah daging dan membentuk masyarakat yang lebih kuat.
(dan)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2788 seconds (0.1#10.140)