Pemerintah Dorong Masyarakat Bijak Berekspresi di Dunia Digital

Selasa, 29 Juni 2021 - 18:34 WIB
“Banyak informasi positif yang bisa diperoleh dari internet, tapi di sisi lain internet terutama media sosial dibanjiri informasi negatif, tak terkecuali hoaks tentang COVID-19, vaksin, ujaran kebencian, radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme. Bahkan Microsoft menyebut warganet Indonesia memiliki tingkat digital civility yang rendah dibanding negara lain,” ujarnya.

Bambang juga menyampaikan apresiasinya kepada Polri melalui virtual police yang membuat ruang digital kondusif, Kementerian Luar Negeri yang aktif mempromosikan kebebasan berekspresi Indonesia ke luar negeri, dan MAFINDO turut membantu mengedukasi masyarakat untuk memerangi hoaks dan ujaran kebencian.

Di dalam berekspresi, Josua Sitompul berpendapat bahwa pelaksanaannya tentu melalui konten yang akan membuat persepsi atau usaha dalam memaknai, menafsirkan, dan menginterpretasi. Kemudian menurutnya dalam berekspresi di ruang siber juga berhubungan dengan post-modernism atau post-truth di mana ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, dan juga etika yang sifatnya subjektif.

“Oleh karena itu, adanya begitu banyak aspek yang mempengaruhi kebebasan berekspresi seseorang, maka semakin jelas dibutuhkan suatu aturan hukum yang bisa menjembatani agar orang tetap bisa bebas berekspresi, tetapi tidak melanggar kebebasan berekspresi orang lain,” ujar Josua.

Ia juga mengatakan bahwa jika dilihat lebih dalam lagi tujuan dibuatnya UU ITE adalah untuk merespon perkembangan teknologi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik khususnya pemerintahan, mengembangkan perdagangan dan perekonomian, dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara.

Hadir pula Achsanul Habib yang menyampaikan bahwa di mekanisme HAM PBB, sudah ada yang disebut dengan special rapporteur yang akan mengimplementasi hak untuk kebebasan ekspresi. Dalam resolusi yang diberikan, disebutkan bahwa freedom of expression adalah jantung dari HAM.

“Tetapi di sisi lain kebebasan berekspresi tidak independen, dia berkaitan dan bersinggungan dengan hak-hak yang lain seperti halnya organ tubuh manusia,” jelasnya.

Achsanul juga berpendapat bahwa racun utama yang mengancam kebebasan ekspresi adalah disinformasi, terutama di masa pandemi. Menurutnya, negara harus dapat menjamin bahwa perusahaan-perusahaan media dapat menjalankan bisnisnya dengan tetap berkesesuaian dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya freedom of expression, bukan menjadi medium yang menyebarkan disinformasi.

Mengenai perlindungan yang bisa diberikan di ruang siber mengenai kebebasan berekspresi, Dani Kustoni menyampaikan bahwa Polri melalui program Cyber Campaign melalui transformasi operasional, dan transformasi pelayanan publik, dengan mengoptimalkan kampanye siber, menghadirkan polisi dunia maya (virtual police), mengedepankan langkah-langkah restorative justice, dan juga mengedukasi dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.

Cyber Campaign Dittipidsiber hadir melalui kanal SiberTV, portal Patrolisiber.id, optimalisasi media sosial di seluruh jajaran siber Polri, dan juga Peringatan Virtual Polisi.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More