Laporan DarkTracer 2022: Kebocoran Data Pemerintah Indonesia Paling Tinggi

Jum'at, 22 April 2022 - 06:30 WIB
loading...
Laporan DarkTracer 2022: Kebocoran Data Pemerintah Indonesia Paling Tinggi
DarkTracer mencatat, ada 849.859 kredensial yang mengalami kebocoran di Indonesia. Sekitar 240.000 diantaranya berasal dari pemerintah atau 28 persen total dari kebocoran. Foto: ist
A A A
JAKARTA - Institusi pemerintah Indonesia menjadi jawara kebocoran data versi laporan Dark Tracer pada kuartal 1 2022. DarkTracer mencatat, ada 849.859 kredensial yang mengalami kebocoran di Indonesia. Sekitar 240.000 diantaranya berasal dari pemerintah atau 28 persen total dari kebocoran.

Adapun jika dilihat dari sisi domain dan subdomain, ada 15.000 domain yang dilaporkan mengalami kebocoran data. Dan 3.714 domain atau 25 % diantaranya milik pemerintah Indonesia.

Pakar Keamanan Siber sekaligus Pendiri Vaksincom Alfons Tanujaya mengatakan, walau terlihat sangat banyak dan mengkhawatirkan, tidak semua kebocoran data bersifat kritikal.

”Karena kebocoran kredensial yang terjadi cukup banyak berasal dari akun layanan pemerintahan seperti akun layanan komplain, layanan perizinan, atau layanan yang bersifat informatif dan tidak kritikal,” ungkapnya.

Sementara untuk layanan kritikal, kebocoran data meliputi rahasia atau internal pemerintahan yang mengalami kebocoran seperti absensi pegawai, akun email, hingga data laporan wajib pajak.

”Bahkan lembaga yang tugasnya mengurus keamanan data digital justru mengalami kebocoran kredensial sehingga perlu menjadi evaluasi dan pembelajaran untuk mengamankan aset digital dengan baik,” ujarnya.

Alfons menyebut, ternyata ada juga sisi positif dari kebocoran data ini. ”Kita melihat ada tren positif dalam usaha digitalisasi atau implementasi teknologi informasi pada layanan pemerintahan di Indonesia,” ungkapnya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa masih banyak digitalisasi yang dilakukan setengah hati. ”Yang terjadi bukan digitalisasi untuk memangkas birokrasi, namun hanya usaha menghabiskan dana saja,” beber Alfons.

Menurutnya, banyak upaya digitalisasi hanya memindahkan birokrasi ke dalam bentuk digital sehingga esensi dari digitalisasi yang tujuan utamanya adalah efisiensi, memangkas birokrasi dan memberantas korupsi tidak tercapai.

”Karena banyak pihak yang selama ini diuntungkan dengan adanya birokrasi berusaha menghambat jalannya digitalisasi,” tutur Alfons.
Ia mencontohkan layanan keimigrasian yang sudah bertahun-tahun di implementasikan namun sampai hari ini masih jalan di tempat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2164 seconds (0.1#10.140)