Pengamat Telekomunikasi: Merger Jadi Cara Agar Operator Tetap Sehat

Senin, 25 Oktober 2021 - 12:16 WIB
loading...
Pengamat Telekomunikasi: Merger Jadi Cara Agar Operator Tetap Sehat
Operator terus membangun jaringan hingga ke pelosok, tapi tren industri justru beralih ke device dan aplikasi. Foto: dok Indosat Ooredoo
A A A
JAKARTA - Industri telekomunikasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Penyebabnya, Capex perusahaan meningkat akibat kebutuhan bandwith yang besar. Hal tersebut diungkap Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmostarno.

”Sekarang jumlah pelanggan telekomunikasi sudah di titik jenuh. Tapi, bertipe konsumen bandwidth hunger. Harga layanan data di Indonesia merupakan yang terendah setelah India. Harga layanan terus turun, otomatis berpengaruh pada pendapatan yang menurun,” ujar mantan Direktur Utama Telkomsel itu dalam diskusi yang Indonesia Technology Forum (ITF) beberapa waktu lalu. ”Sedangkan biaya investasi tinggi dan teknologinya memiliki durasi tertentu dengan kebutuhan pergantian platform,” tambahnya.



Sarwoto mengatakan, saat ini ada pergeseran nilai telekomunikasi dimana rantai nilai tidak lagi dikuasai oleh operator. Melainkan beralih ke device dan aplikasi. ”Bisa dikatakan era kejayaan operator sudah berakhir dan pertumbuhan perusahaan berbasis teknologi semakin jauh melesat,” ungkapnya.

Menurut Sarwoto, kondisi ini sudah diramalkan sejak 2013 dimana pendapatan konten akan lebih besar dari infrastruktur. Padahal tanpa operator telekomunikasi semua industri teknologi itu tidak berdaya.

Merger Lebih Efisien dan Menekan Biaya
Sarwoto menyebut bahwa wajar jika pelaku industri telekomunikasi melakukan langkah-langkah inovasi, salah satunya dengan melakukan konsolidasi bisnis atau merger. Seperti yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia belum lama ini.

Menurutnya, dengan merger terjadi sinergi sehingga bisa melakukan efisiensi dan menekan biaya. ”Sebab, operator yang tidak bisa mencapai target EBITDA 6%-8% pertahun selama 4-6 tahun berturut akan mati dengan sendirinya,” ungkapnya.

Lewat merger, dua perusahaan juga bisa melakukan akuisisi data konsumen dan membangun market share bersama.

Seperti diketahui, jumlah pelanggan Tri sebanyak 44 juta dan Indosat Ooredoo 60 juta, yang jika dijumlahkan akan menempati posisi kedua operator dengan jumlah pelanggan terbanyak.

Namun, merger hanya pintu masuk untuk menyelamatkan operator dari kondisi pasar saat ini. Untuk keluar dari posisi bertahan hingga mencapai kondisi sehat dan bertumbuh, operator dipaksa mengubah dirinya menjadi perusahaan teknologi. Caranya dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (start up) sembari berinvestasi di infrastruktur.

Pertumbuhan perusahaan teknologi secara global berkembang pesat dengan kapitalisasi pasar tumbuh 29% (CAGR 2009-2020) yang diakselerasi oleh dampak Covid-19, sedangkan perusahaan telekomunikasi tumbuh stagnan hanya 3%. Melihat data tersebut maka akan sangat menguntungkan jika perusahaan telekomunikasi mau mengubah diri menjadi perusahaan teknologi.

Menurut Sarwoto, perburuan start up menjadi tren di kalangan operator saat ini. Meski berisiko besar, mengakuisisi start up jauh lebih murah dan diharapkan lebih menguntungkan, dibanding mengakuisisi perusahaan teknologi kelas unicorn. Lewat merger dan perbaikan infrastruktur, operator bisa mempunyai posisi tawar yang baik untuk dapat mengakuisisi perusahan teknologi incarannya.

Ia juga mengatakan, Sehatnya industri telekomunikasi tidak hanya berguna bagi industri itu sendiri, keberlangsungan hidup memberi dampak sangat besar bagi program transformasi digital nasional. ”Tanpa internet, ekonomi digital yang diharapkan meningkatkan pendapatan negara tidak akan tercapai,” ujarnya.



”Butuh peran pemerintah untuk mempercepat regulasi yang dibutuhkan dan peran masyarakat untuk mendorongnya agar index digital Indonesia dapat meningkat,” ungkapnya. ”Maka proses merger and acquisition (M&A) harus dilakukan. Jika tidak operator-operator hanya akan berada di level survival. Padahal yang dibutuhkan untuk proses transformasi digital itu sendiri adalah perusahaan telco yang sustainable,” ia menambahkan.
(dan)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4755 seconds (0.1#10.140)