Istana Tegaskan Tak Punya Buzzer tapi Influencer, Ini Perbedaannya...
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mengklaim bahwa mereka tidak menggunakan buzzer , melainkan influencer . Keduanya disebut memiliki beda yang signifikan.
Belakangan ini ramai dibicarakan bahwa Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Namun, masyarakat di sosial media meresponnya dengan ketakutan akan buzzer pemerintah dan UU ITE.
Merespon jawaban tersebut, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, membantah pemerintah memiliki buzzer, tetapi menggunakan influencer. “Pemerintah tidak punya Buzzer,” tegas Fadjroel.
Sebenarnya ada perbedaan antara influencer dan buzzer. Pakar keamanan siber, Pratama Persadha, menjelaskan bahwa influencer itu mengajak audiens untuk menggunakan sebuah produk atau jasa, karena opini mereka dapat dipercaya.
Sedangkan tugas buzzer , menurut Pratama, hanyalah untuk menyiarkan dan mendorong suatu informasi atau isu agar dapat diketahui semua publik.
"Yang pasti akun buzzer sebagian besar akun anonim. Prinsipnya dalam buzzing medsos ada tim idea, ini thinker. Lalu tim produksi konten dan spreader. Buzzer ini sering identik dengan tugas spreading konten, padahal yang paling berperan ini thinker-nya," jelas Pratama, kepada MNC Portal, Jumat (12/2).
Selain itu, standar pekerjaan buzzer juga tidak jelas. Jadi, tidak ada kewajiban memberi tahu sebuah isi pesanan atau bukan. Beda dengan influencer, karena jelas mempromosikan produk, sebagai bagian dari bisnis advertorial atau bisnis endorse.
"Buzzer memang lebih abu-abu daripada influencer. Cara deliver kontennya juga lebih fleksibel, bahkan bisa lewat ads atau fitur iklan medsos," imbuhnya.
Secara prinsip, memang ada tugas buzzer untuk membentuk opini masyarakat. Lebih jauh membentuk stereotip terhadap kelompok ataupun individu tertentu.
Berbeda dengan influencer yang independen, yang mempunyai posisi branding tersendiri dan bisa memberikan pengaruh di masyarakat.
"Buzzer ini kan tidak berdiri sendiri. Seumpama dia bekerja untuk korporasi, berarti ya ada dukungan dana maupun backup sampai sejauh mana. Di politik mungkin kurang lebih tidak jauh berbeda," kata Pratama.
Ia menjelaskan, dukungan yang maksud adalah tetap dengan batasan. Bila buzzer sudah terlampau jauh improvisasi apalagi melanggar hukum, sebaiknya aparat menyelesaikan sesuai proses hukum dan UU.
Kendati demikian, Pratama menuturkan bahwa buzzer bukan hal yang dilarang. Namun, tindakannya tidak boleh melanggar UU. Batasannya harus jelas.
"Prinsipnya, siapapun kita dan apapun pekerjaan kita, bebas dilakukan selama tidak bertentangan dengan UU, norma agama, dan norma budaya di masyarakat," tandasnya.
Belakangan ini ramai dibicarakan bahwa Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk mengkritik pemerintah. Namun, masyarakat di sosial media meresponnya dengan ketakutan akan buzzer pemerintah dan UU ITE.
Merespon jawaban tersebut, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, membantah pemerintah memiliki buzzer, tetapi menggunakan influencer. “Pemerintah tidak punya Buzzer,” tegas Fadjroel.
Sebenarnya ada perbedaan antara influencer dan buzzer. Pakar keamanan siber, Pratama Persadha, menjelaskan bahwa influencer itu mengajak audiens untuk menggunakan sebuah produk atau jasa, karena opini mereka dapat dipercaya.
Sedangkan tugas buzzer , menurut Pratama, hanyalah untuk menyiarkan dan mendorong suatu informasi atau isu agar dapat diketahui semua publik.
"Yang pasti akun buzzer sebagian besar akun anonim. Prinsipnya dalam buzzing medsos ada tim idea, ini thinker. Lalu tim produksi konten dan spreader. Buzzer ini sering identik dengan tugas spreading konten, padahal yang paling berperan ini thinker-nya," jelas Pratama, kepada MNC Portal, Jumat (12/2).
Selain itu, standar pekerjaan buzzer juga tidak jelas. Jadi, tidak ada kewajiban memberi tahu sebuah isi pesanan atau bukan. Beda dengan influencer, karena jelas mempromosikan produk, sebagai bagian dari bisnis advertorial atau bisnis endorse.
"Buzzer memang lebih abu-abu daripada influencer. Cara deliver kontennya juga lebih fleksibel, bahkan bisa lewat ads atau fitur iklan medsos," imbuhnya.
Secara prinsip, memang ada tugas buzzer untuk membentuk opini masyarakat. Lebih jauh membentuk stereotip terhadap kelompok ataupun individu tertentu.
Berbeda dengan influencer yang independen, yang mempunyai posisi branding tersendiri dan bisa memberikan pengaruh di masyarakat.
"Buzzer ini kan tidak berdiri sendiri. Seumpama dia bekerja untuk korporasi, berarti ya ada dukungan dana maupun backup sampai sejauh mana. Di politik mungkin kurang lebih tidak jauh berbeda," kata Pratama.
Ia menjelaskan, dukungan yang maksud adalah tetap dengan batasan. Bila buzzer sudah terlampau jauh improvisasi apalagi melanggar hukum, sebaiknya aparat menyelesaikan sesuai proses hukum dan UU.
Baca Juga
Kendati demikian, Pratama menuturkan bahwa buzzer bukan hal yang dilarang. Namun, tindakannya tidak boleh melanggar UU. Batasannya harus jelas.
"Prinsipnya, siapapun kita dan apapun pekerjaan kita, bebas dilakukan selama tidak bertentangan dengan UU, norma agama, dan norma budaya di masyarakat," tandasnya.
(dan)