2021, Digitalisasi di Segala Lini Semakin Kokoh

Senin, 28 Desember 2020 - 11:57 WIB
loading...
2021, Digitalisasi di Segala Lini Semakin Kokoh
Memasuki tahun ini semua bangsa dan negara berusaha bangkit dari kegelapan yang telah menggelayut sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19 dengan bantuan digitalisasi. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
WASHINGTON - 2021 merupakan tahun kebangkitan digitalisasi . Pasalnya, memasuki tahun ini semua bangsa dan negara berusaha bangkit dari kegelapan yang telah menggelayut sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19 dengan bantuan digitalisasi.

Dengan demikian, bukan hanya vaksin yang menjadi fokus kebangkitan pada 2021. Bukan pula pada perhatian ekonomi selepas resesi yang terjadi sepanjang 2020, terutama di sektor penerbangan, perhotelan, dan pariwisata. Kebangkitan digitalisasi di segala sektor yang menjadi perhatian semua pihak.

Penguatan digital menjadi sudah tidak bisa dibendung karena dunia sudah mengalami bagaimana transformasi digitalisasi di segala lini akibat pandemi Covid-19. Sebagian besar masyarakat sudah terbiasa bekerja dari rumah, baik melalui Zoom, Microsoft Teams, atau Google Meet. ( )

Banyak perusahaan pun menyadari kehadiran fisik bisa direplikasikan dengan dunia digital. Karyawan pun bukan hanya bertemu secara online , tetapi bisa berkolaborasi dan bersosialisasi secara virtual.

Survei yang dilakukan Baker McKenzie, firma hukum multinasional, menyebutkan, 58% perusahaan tidak pernah melakukan program transformasi digital yang paling cepat seperti pada 2020. Itu diprediksi akan terus berlanjut pada 2021. Seluruh jaringan bisnis akan semakin digital dan kolaboratif dengan tim bisnis dan teknologi semakin kuat.

2021 sebagai tahun digitalisasi juga diungkapkan oleh Asosiasi Nasional Perusahaan Perangkat Lunak dan Layanan (Nasscom), di mana investasi besar-besaran pada teknologi akan terjadi. "Banyak klien global akan membeli dan menggunakan layanan keamanan siber, kolaborasi, dan komputasi awan," ungkap Sangeeta Gupta, wakil presiden Nasscom, dilansir IndiaTimes.

Kebangkitan digitalisasi akan dipimpin Amerika Serikat (AS) dan aliansinya yang ingin membangun struktur internasional untuk tata kelola pemerintahan digital. Itu dikarenakan data dan algoritma merupakan pengendali pada ekonomi Abad 21. Internet menjadi awal hingga tiga rezim digital mulai dari Uni Eropa, AS, dan China. Ketiganya mencoba membentuk kedaulatan internet. ( )

Selama ini China selalu berusaha terdepan dalam pengembangan infrastruktur 5G. Berbagai kerja sama multilateral juga mendorong untuk pengembangan e-commerce. Berbagai kesepakatan kerja sama perdagangan dalam bidang digital juga sudah diteken dalam bentuk kerja sama bilateral. AS dan koalisinya juga tidak ingin kalah dengan apa yang dilakukan China. Pemerintahan AS mendatang di bawah kepemimpinan Joe Biden akan membangun koalisi dengan Uni Eropa, Jepang, Australia, dan pihak lain agar terbentuk aliran data yang lintas bebas secara bebas untuk kepentingan e-commerce.

"AS juga akan mendorong sektor publik dan swasta untuk mengembangkan Open Radio Access Networks (O-RAN), peranti lunak berbasis 5G yang bisa bekerja di semua peranti keras dan menjadi lompatan untuk mengalahkan teknologi yang ditawarkan Huawei dari China," demikian analisis Atlantis Council, lembaga think tank berbasis di AS.

Washington mengajak Tokyo dan Uni Eropa serta sektor swasta untuk mengakselerasikan penerapan O-RAN dengan teknologi untuk tujuan komersial. O-RAN merupakan sebuah aliansi yang sebenarnya didirikan pada Februari 2018 oleh AT&T, China Mobile, Deutsche Telekom, NTT Docomo, dan Orange yang awalnya merupakan entitas Jerman pada Agustus 2018. Namun, dalam perkembangannya O-RAN menjadi komunitas global yang terdiri atas operator jaringan telekomunikasi, serta institusi penelitian dan pengembangan.

Di Jepang adalah AT7T, perusahaan yang sangat ambisius mengembangkan O-RAN karena berbasis fixed wireless access (FWA) atau setara dengan 5G. "Kita membangun sel kecil sehingga kita bisa menggunakan infrastruktur untuk mobilitas dan wiresless untuk internet rumah," kata Elbaz briefly, pemimpin teknologi AT&T. ( )

Jepang juga merupakan negara yang fokus pada O-RAN di mana Docomo, KDDI, SoftBank, dan Rakuten sudah bergabung dengan Aliansi O-RAN. Jepang beralasan karena O-RAN merupakan oposisi dari RAN yang dikembangkan perusahaan besar seperti Huawei, Nokia, dan Ericsson di mana tidak ada ketergantungan dengan satu perusahaan. "Kita yakin O-RAN akan menjadi evolusi masa depan jaringan telekomunikasi. Jepang akan berkontribusi untuk menciptakan standar RAN yang terbuka untuk seluruh dunia," kata Chief Technology Officer Rakuten Mobile, Tareq Amin.

Kemudian, artificial intelligence (AI/ kecerdasan buatan) bukan lagi tentang kompetisi, tetapi justru akan mendorong bentuk baru kerja sama. Itu didorong oleh serangkaian etika dan prinsip AS yang diadopsi oleh China, AS, Uni Eropa dan negara lain. Mereka mencapai konsensus untuk standar bersama dan norma termasuk dalam hal keselamatan teknis, akuntabilitas dan transparansi dalam menilai kegagalan, menjamin privasi, serta tata kelola data pemerintah.

Hal yang menjadi tantangan dalam operasionalisasi AS dan mengodifikasi untuk standar tertentu. Itu disebabkan Big Tech sudah mengembangkan aplikasi tentang teknologi AI untuk pengenalan wajah. Pemerintah di seluruh belahan dunia juga memiliki kepentingan untuk menghindari terjadinya bencana. Mereka juga berusaha membuat kebijakan agar lembaga nasional dan internasional meminimalkan dampak negatif. "AS dan China sebagai pemimpin AI harus membangun dialog," demikian saran Atlantic Council.

AS harus berkonsultasi dengan aliansinya untuk membawa agenda AI ke G-20 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diharapkan terbentuk Komisi AI global di bawah PBB yang bisa menyusun standar dan memonitor penggunaan AI.

2021 merupakan tahun kebangkitan dan adopsi AI di segala lini. Itu ditegaskan oleh Ganes Kesari, pakar teknologi dan big data. Survei McKinsey pada 2020 menyebutkan, 50% perusahaan sudah mengadopsi AI minimal pada salah satu bisnisnya. "Banyak perusahaan melaporkan kalau AI telah menciptakan dampak dengan meningkatkan pendataan dan mengurangi risiko," kata Kesari, dilansir Forbes.

Nilai bisnis AI juga akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Apalagi, pandemi juga menciptakan kondisi bagi industri dan bisnis memprioritaskan AI untuk menjamin pengembangan perusahaan. 2021 merupakan tahun di mana AI akan digunakan di sebagian besar industri di dunia.

Contoh paling nyata adalah penggunaan AI pada aplikasi bisnis seperti otomatisasi pabrik, pengalaman pelanggan, pengamatan dan pemeliharaan yang bersifat prediktif. AI juga mentransformasi ritel untuk memahami pelanggan. AI juga bisa merekomendasikan bagaimana warga dan ukuran yang tepat untuk dijual. Promosi produk pun lebih bersifat personalisasi sehingga lebih mengena kepada pelanggan.

Dengan AI, maka ke depan akan terjadi ledakan smart devices dan sensor Internet of Things (IoT). "Lebih dari 35 miliar peralatan akan diperkirakan akan digunakan pada 2021," kata Kesari. Sebagian peralatan itu juga terkoneksi dengan aplikasi berbasis AI yang berbasis komputasi awan.

Hal yang paling dibutuhkan adalah AI akan mentransformasi penemuan obat dan pengembangan kehidupan yang lebih baik selepas pandemi korona. AI juga akan membantu pengembangan vaksin dan memotong waktu pengembangan dari 10 tahun menjadi 10 bulan. Itu sudah terbukti karena Moderna, perusahaan farmasi, menggunakan pendekatan digital dalam pengembangan vaksin. Pada 2021, perkembangan lebih maju akan terjadi.

Apalagi sudah ratusan perusahaan startup bioteknologi dan farmasi berdiri dalam beberapa tahun terakhir dengan basis AI. Mereka mengembangkan obat dengan basis AI. Misalnya Dyno Therapeutics, perusahaan stratup berbasis di Cambridge, fokus mengembangkan terapi gen, yakni sebuah teknik untuk mencegah atau menyembuhkan penyakit tertentu. Dyno menggunakan AI dan eksperimen in vivo untuk mengakselerasikan organisme kehidupan. Itu mampu menarget DNA hingga sel yang terdampak sehingga perawatan penyakit lebih cepat.

Terobosan penting yang bisa dikembangkan adalah apa yang dilakukan AlphaFold, sebuah sistem AI yang dikembangkan perusahaan berbasis AI, DeepMind, yang menemukan masalah lama tentang pelipatgandaan protein. Penemuan itu akan menjadikan penemuan obat berbasis protein lebih cepat untuk menyembuhkan penyakit. "Menemukan struktur 3D protein menjadi hal yang menyulitkan dalam penemuan obat," kata Pushmeet Kohli, tim peneliti di Deep Mind.

AlphaFold bisa membuat penemuan obat lebih efisien sehingga membantu peneliti memprediksi struktur protein lebih akurat. (andika h mustaqim)
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4046 seconds (0.1#10.140)