Bisnis Co-Living Didukung Teknologi Diramalkan Bakal Cerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi COVID-19 memaksa jutaan orang bekerja dari rumah. Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta mencatat, per 1 April 2020, sebanyak 1.043.773 pekerja formal telah didorong untuk bekerja dari rumah.
Angka tersebut makin bertambah seiring diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak 10 April 2020. Dengan lebih dari tiga juta pekerja formal, atau hampir 70% dari total keseluruhan tenaga kerja di Jakarta. Fenomena peningkatan kerja jarak jauh di Ibu Kota baru memasuki tahap awal perkembangannya.
Dengan perkembangan teknologi internet yang semakin pesat, bekerja dari rumah, baik paruh maupun penuh waktu, menjadi sesuatu yang makin lazim di kalangan pekerja formal. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Owl Labs pada 2019, Amerika Serikat yang 80% populasinya merupakan pekerja formal, sebanyak 62% di antaranya berusia 22-65 tahun melakukan pekerjaan secara jarak jauh dengan tingkatan yang berbeda-beda.
Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah. Masih dalam survei yang sama, untuk 5 tahun ke depan, 42% pekerja jarak jauh juga diketahui berencana untuk lebih sering melakukan pekerjaannya di luar kantor. Sedangkan, 51% pekerja kantoran berkeinginan untuk melakukan pekerjaanya dari jarak jauh.
Dalam beberapa tahun terakhir, bekerja jarak jauh telah terakomodir dengan makin menjamurnya co-working space. Konsumen merasakan manfaat dari co-working space tersebut melalui komunitas serta fasilitas yang disediakan oleh operator co-working.
Namun dengan segala peristiwa yang terjadi baru-baru ini, para pekerja jarak jauh bisa saja terbuka matanya untuk mencari pilihan tempat tinggal lain yang juga dapat menghadirkan fasilitas serta nuansa komunitas. Keyakinan tersebut didorong oleh hasil survei Buffer pada tahun 2019 yang menyatakan 84% pekerja jarak jauh nyatanya masih memilih untuk melakukannya di rumah mereka.
Dari situ, ‘saudara jauh’ co-working, yakni co-living, bisa menjadi suatu tren baru di masa mendatang. Sebab menyediakan ‘kombinasi’ sesuai bagi populasi pekerja jarak jauh yang sedang bertumbuh pesat.
Sebagai pekerja digital media lepas di Jakarta, Fati (24) memiliki kebebasan untuk memilih tempat kerjanya. Dia memutuskan menyewa ruang co-working di Mega Kuningan.
Pilihan tersebut didasari oleh adanya kemungkinan untuk melakukan networking, hingga tersedianya acara mingguan hingga fasilitas macam WiFi berkecepatan tinggi. Sebelum pemerintah mendorong warganya untuk bekerja dari rumah pada awal Maret, Fati biasa menghabiskan 15 menit waktu perjalanan ke tempat kerja dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living berbasis teknologi, Flokq.
Selama pandemik, dia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-living-nya. Fati sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang biasa dirasakan di tempat kerjanya.
Angka tersebut makin bertambah seiring diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak 10 April 2020. Dengan lebih dari tiga juta pekerja formal, atau hampir 70% dari total keseluruhan tenaga kerja di Jakarta. Fenomena peningkatan kerja jarak jauh di Ibu Kota baru memasuki tahap awal perkembangannya.
Dengan perkembangan teknologi internet yang semakin pesat, bekerja dari rumah, baik paruh maupun penuh waktu, menjadi sesuatu yang makin lazim di kalangan pekerja formal. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Owl Labs pada 2019, Amerika Serikat yang 80% populasinya merupakan pekerja formal, sebanyak 62% di antaranya berusia 22-65 tahun melakukan pekerjaan secara jarak jauh dengan tingkatan yang berbeda-beda.
Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah. Masih dalam survei yang sama, untuk 5 tahun ke depan, 42% pekerja jarak jauh juga diketahui berencana untuk lebih sering melakukan pekerjaannya di luar kantor. Sedangkan, 51% pekerja kantoran berkeinginan untuk melakukan pekerjaanya dari jarak jauh.
Dalam beberapa tahun terakhir, bekerja jarak jauh telah terakomodir dengan makin menjamurnya co-working space. Konsumen merasakan manfaat dari co-working space tersebut melalui komunitas serta fasilitas yang disediakan oleh operator co-working.
Namun dengan segala peristiwa yang terjadi baru-baru ini, para pekerja jarak jauh bisa saja terbuka matanya untuk mencari pilihan tempat tinggal lain yang juga dapat menghadirkan fasilitas serta nuansa komunitas. Keyakinan tersebut didorong oleh hasil survei Buffer pada tahun 2019 yang menyatakan 84% pekerja jarak jauh nyatanya masih memilih untuk melakukannya di rumah mereka.
Dari situ, ‘saudara jauh’ co-working, yakni co-living, bisa menjadi suatu tren baru di masa mendatang. Sebab menyediakan ‘kombinasi’ sesuai bagi populasi pekerja jarak jauh yang sedang bertumbuh pesat.
Sebagai pekerja digital media lepas di Jakarta, Fati (24) memiliki kebebasan untuk memilih tempat kerjanya. Dia memutuskan menyewa ruang co-working di Mega Kuningan.
Pilihan tersebut didasari oleh adanya kemungkinan untuk melakukan networking, hingga tersedianya acara mingguan hingga fasilitas macam WiFi berkecepatan tinggi. Sebelum pemerintah mendorong warganya untuk bekerja dari rumah pada awal Maret, Fati biasa menghabiskan 15 menit waktu perjalanan ke tempat kerja dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living berbasis teknologi, Flokq.
Selama pandemik, dia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-living-nya. Fati sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang biasa dirasakan di tempat kerjanya.