Twitter Tertarik Beli TikTok
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Twitter kini sedang mendekati ByteDance, pemilik aplikasi TikTok asal China, untuk menyatakan ketertarikannya mengakuisisi aplikasi berbagai video pendek tersebut. Namun, sejumlah pakar menyatakan keraguan terhadap kemampuan Twitter mampu menyukseskan kesepakatan tersebut.
Belum jelas juga apakah Twitter akan mampu melampaui Microsoft Corp dan menyelesaikan kesepakatan dalam waktu 45 hari seperti tenggat yang diberikan Presiden Donald Trump untuk memaksa ByteDance menyepakati penjualan. Namun, saat Twitter dan TikTok masih dalam tahap awal pembicaraan, Microsoft masih menjadi perusahaan AS di garda depan yang siap mengakuisisi TikTok.
Twitter yang memiliki kapitalisasi pasar mendekati USD30 miliar harus menambah modal tambahan untuk menyukseskan kesepakatan akuisisi TikTok. “Twitter memiliki waktu yang sempit untuk bisa membiayai akuisisi tersebut. Mereka tidak memiliki waktu untuk meminjam dana,” kata Erik Gordon, profesor dari Universitas Michigan.
Sumber lain menyebutkan bahwa pemilik saham Twitter, perusahaan ekuitas swasta Silver Lake, tertarik membantu pendanaan agar proses akuisisi berjalan lancar. Akan tetapi, nama Twitter sepertinya akan menghadapi perlawanan dari China dibandingkan Microsoft. Pasalnya, Twitter merupakan perusahaan yang tidak aktif di China, berbeda dengan Microsoft. (Baca: Twitter Desak Pengguna Ponsel Android Perbarui Aplikasi)
Pada awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan pelarangan transaksi perusahaan AS dengan pemilik WeChat dan TikTok . Hal itu sebagai upaya China untuk meningkatkan eskalasi ketegangan dua negara. Namun, Trump mendukung upaya Microsoft untuk membeli TikTok jika AS mendapatkan diskon khusus. Microsoft juga menyatakan bahwa kesimpulan negosiasi dengan TikTok akan tercapai pertengahan September mendatang.
Aplikasi TikTok memang menarik perhatian global. Sejak didirikan pada 2016, itu telah menarik ratusan juta penonton yang bersemangat, kreatif, dan muda. Asal-usul TikTok berbeda dengan kisah start-up yang sering kita dengar sebelumnya. Perusahaan itu bukan kerajaan yang dibangun oleh beberapa orang dengan ide bagus di garasi rumah mereka.
Aplikasi itu sebenarnya bermula dari tiga aplikasi berbeda. Yang pertama adalah aplikasi AS bernama Musical.ly, yang diluncurkan pada 2014 dan memiliki sejumlah pengikut yang jumlahnya “sehat” di negara itu. Pada 2016, raksasa teknologi China ByteDance meluncurkan layanan serupa di China yang disebut Douyin.
Aplikasi itu menarik 100 juta pengguna di China dan Thailand dalam kurun waktu setahun. ByteDance melihat prospek yang cerah dan ingin memperluas bisnis dengan merek yang berbeda, jadilah TikTok. Lalu pada 2018, perusahaan itu membeli Musical.ly dan memulai ekspansi global TikTok.
TikTok memiliki kelebihan pada penggunaan musik dan algoritma yang luar biasa kuat, yang mempelajari apa yang disukai pengguna jauh lebih cepat daripada banyak aplikasi lain. Pengguna dapat memilih dari basis data lagu yang besar, filter, dan klip film untuk melakukan lipsync.
Banyak orang akan menghabiskan sebagian besar waktunya di laman 'For You'. Di sinilah algoritma menawarkan konten bagi pengguna, mengantisipasi apa yang akan mereka nikmati berdasarkan konten yang telah mereka saksikan. (Baca juga: Jet Tempur Patungan korsel-Indonesia Akan Gunakan radar Array)
Pada Juli lalu, TikTok sudah memiliki satu miliar pengunduh di seluruh dunia, di mana 500 juta di antaranya pengguna aktif. Setahun kemudian, mereka memiliki dua miliar pengunduh dan sekitar 800 juta pengguna aktif. Di tengah kesuksesan TikTok, India dan AS justru khawatir aplikasi video pendek itu mengumpulkan data sensitif dari pengguna yang dapat digunakan oleh pemerintah China untuk aktivitas mata-mata.
Setiap perusahaan besar China dituding memiliki "sel" internal yang bertanggung jawab kepada Partai Komunis China yang berkuasa, dengan banyak agennya yang bertugas mengumpulkan rahasia.
Namun, kekhawatiran tidak hanya tentang data apa yang dikumpulkan, tetapi juga lebih teoretis, di mana banyak kalangan memperkirakan apakah pemerintah China bisa memaksa ByteDance untuk menyerahkan data. Undang-Undang Keamanan Nasional 2017 di China memaksa setiap organisasi atau warga negara untuk "mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan pekerjaan intelijen negara".
CEO baru TikTok , Kevin Mayer, yang juga mantan eksekutif Disney di AS, mengatakan bahwa pihaknya akan mengizinkan para ahli untuk memeriksa kode di balik algoritmanya. Pernyataan itu sangat penting dalam industri di mana data dan kode dijaga ketat. (Baca juga: AHY Posting Foto Bareng Prabowo, Netizen Sebut Pasangan Ideal 2020)
Instagram Tiru TikTok
TikTok memang menjadi magnet media sosial. Itu terbukti ketika Facebook, induk Instagram, mengumumkan fitur baru yakni Instagram Reels. Fitur itu bisa dinikmati di 50 negara, namun belum ada informasi kapan fitur itu bisa dinikmati pengguna di Indonesia. Negara yang sudah bisa menikmati Instagram Reels adalah AS, Inggris, Jepang, dan Australia.
Peluncuran Reels itu di tengah upaya Trump ingin memblokir TikTok dan menekan agar dijual ke perusahaan AS. ByteDance, pemilik TikTok , menuding Facebook dan Instagram telah menjiplak TikTok.
Kevin Mayer bahkan menuding Facebook telah meluncurkan produk tiruan lainnya bernama Instagram Reels. "Sebelumnya, Facebook juga sudah memiliki Lasso, tetapi gagal. Itu pun hasil tiruan dari TikTok," serang Mayer.
Mayer mengungkapkan, Facebook menyamar sebagai patriot dan nasionalis untuk mengakhiri kehadiran TikTok di AS. "Bagi mereka yang meluncurkan produk dengan daya saing tinggi, kami katakan silakan saja," katanya. (Lihat videonya: Gunung Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Namun, Direktur Produk Instagram Robby Stein menyatakan fitur Instagram Reels berbeda dengan TikTok . "Inspirasi penciptaan suatu produk bisa saja muncul dari mana saja," kata Stein. Dia mengungkapkan, TikTok memang pihak pertama yang memopulerkan berbagai video pendek dengan latar musik. (Andika H Mustaqim)
Belum jelas juga apakah Twitter akan mampu melampaui Microsoft Corp dan menyelesaikan kesepakatan dalam waktu 45 hari seperti tenggat yang diberikan Presiden Donald Trump untuk memaksa ByteDance menyepakati penjualan. Namun, saat Twitter dan TikTok masih dalam tahap awal pembicaraan, Microsoft masih menjadi perusahaan AS di garda depan yang siap mengakuisisi TikTok.
Twitter yang memiliki kapitalisasi pasar mendekati USD30 miliar harus menambah modal tambahan untuk menyukseskan kesepakatan akuisisi TikTok. “Twitter memiliki waktu yang sempit untuk bisa membiayai akuisisi tersebut. Mereka tidak memiliki waktu untuk meminjam dana,” kata Erik Gordon, profesor dari Universitas Michigan.
Sumber lain menyebutkan bahwa pemilik saham Twitter, perusahaan ekuitas swasta Silver Lake, tertarik membantu pendanaan agar proses akuisisi berjalan lancar. Akan tetapi, nama Twitter sepertinya akan menghadapi perlawanan dari China dibandingkan Microsoft. Pasalnya, Twitter merupakan perusahaan yang tidak aktif di China, berbeda dengan Microsoft. (Baca: Twitter Desak Pengguna Ponsel Android Perbarui Aplikasi)
Pada awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan pelarangan transaksi perusahaan AS dengan pemilik WeChat dan TikTok . Hal itu sebagai upaya China untuk meningkatkan eskalasi ketegangan dua negara. Namun, Trump mendukung upaya Microsoft untuk membeli TikTok jika AS mendapatkan diskon khusus. Microsoft juga menyatakan bahwa kesimpulan negosiasi dengan TikTok akan tercapai pertengahan September mendatang.
Aplikasi TikTok memang menarik perhatian global. Sejak didirikan pada 2016, itu telah menarik ratusan juta penonton yang bersemangat, kreatif, dan muda. Asal-usul TikTok berbeda dengan kisah start-up yang sering kita dengar sebelumnya. Perusahaan itu bukan kerajaan yang dibangun oleh beberapa orang dengan ide bagus di garasi rumah mereka.
Aplikasi itu sebenarnya bermula dari tiga aplikasi berbeda. Yang pertama adalah aplikasi AS bernama Musical.ly, yang diluncurkan pada 2014 dan memiliki sejumlah pengikut yang jumlahnya “sehat” di negara itu. Pada 2016, raksasa teknologi China ByteDance meluncurkan layanan serupa di China yang disebut Douyin.
Aplikasi itu menarik 100 juta pengguna di China dan Thailand dalam kurun waktu setahun. ByteDance melihat prospek yang cerah dan ingin memperluas bisnis dengan merek yang berbeda, jadilah TikTok. Lalu pada 2018, perusahaan itu membeli Musical.ly dan memulai ekspansi global TikTok.
TikTok memiliki kelebihan pada penggunaan musik dan algoritma yang luar biasa kuat, yang mempelajari apa yang disukai pengguna jauh lebih cepat daripada banyak aplikasi lain. Pengguna dapat memilih dari basis data lagu yang besar, filter, dan klip film untuk melakukan lipsync.
Banyak orang akan menghabiskan sebagian besar waktunya di laman 'For You'. Di sinilah algoritma menawarkan konten bagi pengguna, mengantisipasi apa yang akan mereka nikmati berdasarkan konten yang telah mereka saksikan. (Baca juga: Jet Tempur Patungan korsel-Indonesia Akan Gunakan radar Array)
Pada Juli lalu, TikTok sudah memiliki satu miliar pengunduh di seluruh dunia, di mana 500 juta di antaranya pengguna aktif. Setahun kemudian, mereka memiliki dua miliar pengunduh dan sekitar 800 juta pengguna aktif. Di tengah kesuksesan TikTok, India dan AS justru khawatir aplikasi video pendek itu mengumpulkan data sensitif dari pengguna yang dapat digunakan oleh pemerintah China untuk aktivitas mata-mata.
Setiap perusahaan besar China dituding memiliki "sel" internal yang bertanggung jawab kepada Partai Komunis China yang berkuasa, dengan banyak agennya yang bertugas mengumpulkan rahasia.
Namun, kekhawatiran tidak hanya tentang data apa yang dikumpulkan, tetapi juga lebih teoretis, di mana banyak kalangan memperkirakan apakah pemerintah China bisa memaksa ByteDance untuk menyerahkan data. Undang-Undang Keamanan Nasional 2017 di China memaksa setiap organisasi atau warga negara untuk "mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan pekerjaan intelijen negara".
CEO baru TikTok , Kevin Mayer, yang juga mantan eksekutif Disney di AS, mengatakan bahwa pihaknya akan mengizinkan para ahli untuk memeriksa kode di balik algoritmanya. Pernyataan itu sangat penting dalam industri di mana data dan kode dijaga ketat. (Baca juga: AHY Posting Foto Bareng Prabowo, Netizen Sebut Pasangan Ideal 2020)
Instagram Tiru TikTok
TikTok memang menjadi magnet media sosial. Itu terbukti ketika Facebook, induk Instagram, mengumumkan fitur baru yakni Instagram Reels. Fitur itu bisa dinikmati di 50 negara, namun belum ada informasi kapan fitur itu bisa dinikmati pengguna di Indonesia. Negara yang sudah bisa menikmati Instagram Reels adalah AS, Inggris, Jepang, dan Australia.
Peluncuran Reels itu di tengah upaya Trump ingin memblokir TikTok dan menekan agar dijual ke perusahaan AS. ByteDance, pemilik TikTok , menuding Facebook dan Instagram telah menjiplak TikTok.
Kevin Mayer bahkan menuding Facebook telah meluncurkan produk tiruan lainnya bernama Instagram Reels. "Sebelumnya, Facebook juga sudah memiliki Lasso, tetapi gagal. Itu pun hasil tiruan dari TikTok," serang Mayer.
Mayer mengungkapkan, Facebook menyamar sebagai patriot dan nasionalis untuk mengakhiri kehadiran TikTok di AS. "Bagi mereka yang meluncurkan produk dengan daya saing tinggi, kami katakan silakan saja," katanya. (Lihat videonya: Gunung Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Namun, Direktur Produk Instagram Robby Stein menyatakan fitur Instagram Reels berbeda dengan TikTok . "Inspirasi penciptaan suatu produk bisa saja muncul dari mana saja," kata Stein. Dia mengungkapkan, TikTok memang pihak pertama yang memopulerkan berbagai video pendek dengan latar musik. (Andika H Mustaqim)
(ysw)