Tiga Negara yang Sukses Ajukan Aturan Konten Berbasis Internet
Minggu, 31 Mei 2020 - 19:13 WIB
Menurut Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), lebih dari 100 penyedia layanan telah mendaftar sistem Overseas Vendor Registration (OVR) Singapura.
Tindakan serupa telah diadopsi oleh negara-negara seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan sejak awal 2015, kata IRAS seperti dikutip dari The Strait Times
2.Australia
Australia pun melakukan Amandemen pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membatasi persebaran konten negatif di media sosial.
Dalam revisi Undang-undang tersebut, pemilik situs diwajibkan untuk memberi tahu polisi jika layanan mereka digunakan untuk mengakses pornografi anak, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara untuk individu, atau denda 10% dari omset perusahaan, bagi mereka yang gagal untuk memenuhi.
Ruang lingkup undang-undang ini terbatas pada konten yang dianggap melanggar, dan disiarkan oleh pelaku dan kaki tangannya yang terlibat dalam kegiatan teroris, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, atau penculikan.
"Subdivisi ini berisi pelanggaran yang akan berlaku pada penyedia layanan internet, penyedia layanan hosting, dan penyedia layanan konten yang gagal menghapus kekerasan atau merekam dan mengedarkan yang telah terjadi atau sedang terjadi di Australia," demikian memorandum penjelasan RUU tersebut seperti dilansir dari Zdnet.
3. Inggris
Perusahaan kartu kredit besar memblokir pembayaran biaya langganan situs-situs porno di internet, menurut sejumlah kelompok dan aktivis antieksploitasi seksual internasional.
Situs-situs porno "memandang kekerasan seksual, inses, dan rasisme secara erotik" dan memuat konten yang menampilkan kekerasan dan perdagangan seksual, demikian kata 10 aktivis dan kelompok antieksploitasi seksual tersebut dalam sebuah surat yang isinya telah dibaca BBC. Hingga saat ini Inggris terus bejuang mengajukan Amandemen UU Konten Internet
Tindakan serupa telah diadopsi oleh negara-negara seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan sejak awal 2015, kata IRAS seperti dikutip dari The Strait Times
2.Australia
Australia pun melakukan Amandemen pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membatasi persebaran konten negatif di media sosial.
Dalam revisi Undang-undang tersebut, pemilik situs diwajibkan untuk memberi tahu polisi jika layanan mereka digunakan untuk mengakses pornografi anak, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara untuk individu, atau denda 10% dari omset perusahaan, bagi mereka yang gagal untuk memenuhi.
Ruang lingkup undang-undang ini terbatas pada konten yang dianggap melanggar, dan disiarkan oleh pelaku dan kaki tangannya yang terlibat dalam kegiatan teroris, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, atau penculikan.
"Subdivisi ini berisi pelanggaran yang akan berlaku pada penyedia layanan internet, penyedia layanan hosting, dan penyedia layanan konten yang gagal menghapus kekerasan atau merekam dan mengedarkan yang telah terjadi atau sedang terjadi di Australia," demikian memorandum penjelasan RUU tersebut seperti dilansir dari Zdnet.
3. Inggris
Perusahaan kartu kredit besar memblokir pembayaran biaya langganan situs-situs porno di internet, menurut sejumlah kelompok dan aktivis antieksploitasi seksual internasional.
Situs-situs porno "memandang kekerasan seksual, inses, dan rasisme secara erotik" dan memuat konten yang menampilkan kekerasan dan perdagangan seksual, demikian kata 10 aktivis dan kelompok antieksploitasi seksual tersebut dalam sebuah surat yang isinya telah dibaca BBC. Hingga saat ini Inggris terus bejuang mengajukan Amandemen UU Konten Internet
Lihat Juga :
tulis komentar anda