Tiga Negara yang Sukses Ajukan Aturan Konten Berbasis Internet
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia tengah mengajukan aturan regulasi untuk mengatur perusahaan berkala besar atau Over The Top (OTT) seperti Google, Netflix dan perusahaan berbasis konten internet lainnya. Tak hanya Indonesia beberapa negara lain, seperti Australia dan Inggris telah mengajukan Amandemen aturan ini.
Mudahnya informasi didapatkan melalui internet memang tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik. Masih banyak yang pada akhirnya menyalahgunakan layanan internet. BACA JUGA - Uji Materi ke MK, Siaran Berbasis Internet Diharapkan Ikuti UU Penyiaran
Sebut saja video serangan teror yang terjadi di beberapa negara, belum lagi video-video yang melibatkan pelecehan dan kekerasan seksual. Ditambah lagi, berita-berita bohong alias hoax yang mudah sekali beredar tanpa adanya verifikasi.
Bahkan kekerasan sadisme siaran langsung sebagian peristiwa penembakan terhadap dua masjid di Christchurch, Selandia Baru dan kejahatan perbankan. BACA JUGA - Konten YouTube dan Netflix Diawasi KPI, Bekraf Malah Khawatir
1.Singapura
Singapura, menerapkan RUU Layanan Pembayaran yang disahkan oleh Parlemen adalah bagian dari upaya Otoritas Moneter Singapura dalam rangka menciptakan kerangka kerja peraturan yang lebih kondusif untuk inovasi dalam layanan pembayaran.
Konsumen Singapura akan dikenakan pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) pada layanan digital luar negeri atau impor mulai 1 Januari 2020.
Dengan kebijakan tersebut, layanan lokal dan luar negeri dalam posisi yang sama, tunduk pada ketentuan GST. Sebelumnya, hanya layanan yang dibeli secara lokal yang tunduk pada GST.
Kebijakan tersebut akan memengaruhi berbagai layanan termasuk konten yang dapat diunduh seperti e-book dan aplikasi seluler, perangkat lunak seperti office suites, media berbasis langganan seperti streaming musik atau Netflix dan game online, serta manajemen data elektronik seperti penyimpanan cloud dan web hosting.
Menurut Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), lebih dari 100 penyedia layanan telah mendaftar sistem Overseas Vendor Registration (OVR) Singapura.
Tindakan serupa telah diadopsi oleh negara-negara seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan sejak awal 2015, kata IRAS seperti dikutip dari The Strait Times
2.Australia
Australia pun melakukan Amandemen pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membatasi persebaran konten negatif di media sosial.
Dalam revisi Undang-undang tersebut, pemilik situs diwajibkan untuk memberi tahu polisi jika layanan mereka digunakan untuk mengakses pornografi anak, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara untuk individu, atau denda 10% dari omset perusahaan, bagi mereka yang gagal untuk memenuhi.
Ruang lingkup undang-undang ini terbatas pada konten yang dianggap melanggar, dan disiarkan oleh pelaku dan kaki tangannya yang terlibat dalam kegiatan teroris, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, atau penculikan.
"Subdivisi ini berisi pelanggaran yang akan berlaku pada penyedia layanan internet, penyedia layanan hosting, dan penyedia layanan konten yang gagal menghapus kekerasan atau merekam dan mengedarkan yang telah terjadi atau sedang terjadi di Australia," demikian memorandum penjelasan RUU tersebut seperti dilansir dari Zdnet.
3. Inggris
Perusahaan kartu kredit besar memblokir pembayaran biaya langganan situs-situs porno di internet, menurut sejumlah kelompok dan aktivis antieksploitasi seksual internasional.
Situs-situs porno "memandang kekerasan seksual, inses, dan rasisme secara erotik" dan memuat konten yang menampilkan kekerasan dan perdagangan seksual, demikian kata 10 aktivis dan kelompok antieksploitasi seksual tersebut dalam sebuah surat yang isinya telah dibaca BBC. Hingga saat ini Inggris terus bejuang mengajukan Amandemen UU Konten Internet
Mudahnya informasi didapatkan melalui internet memang tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik. Masih banyak yang pada akhirnya menyalahgunakan layanan internet. BACA JUGA - Uji Materi ke MK, Siaran Berbasis Internet Diharapkan Ikuti UU Penyiaran
Sebut saja video serangan teror yang terjadi di beberapa negara, belum lagi video-video yang melibatkan pelecehan dan kekerasan seksual. Ditambah lagi, berita-berita bohong alias hoax yang mudah sekali beredar tanpa adanya verifikasi.
Bahkan kekerasan sadisme siaran langsung sebagian peristiwa penembakan terhadap dua masjid di Christchurch, Selandia Baru dan kejahatan perbankan. BACA JUGA - Konten YouTube dan Netflix Diawasi KPI, Bekraf Malah Khawatir
1.Singapura
Singapura, menerapkan RUU Layanan Pembayaran yang disahkan oleh Parlemen adalah bagian dari upaya Otoritas Moneter Singapura dalam rangka menciptakan kerangka kerja peraturan yang lebih kondusif untuk inovasi dalam layanan pembayaran.
Konsumen Singapura akan dikenakan pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) pada layanan digital luar negeri atau impor mulai 1 Januari 2020.
Dengan kebijakan tersebut, layanan lokal dan luar negeri dalam posisi yang sama, tunduk pada ketentuan GST. Sebelumnya, hanya layanan yang dibeli secara lokal yang tunduk pada GST.
Kebijakan tersebut akan memengaruhi berbagai layanan termasuk konten yang dapat diunduh seperti e-book dan aplikasi seluler, perangkat lunak seperti office suites, media berbasis langganan seperti streaming musik atau Netflix dan game online, serta manajemen data elektronik seperti penyimpanan cloud dan web hosting.
Menurut Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), lebih dari 100 penyedia layanan telah mendaftar sistem Overseas Vendor Registration (OVR) Singapura.
Tindakan serupa telah diadopsi oleh negara-negara seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan sejak awal 2015, kata IRAS seperti dikutip dari The Strait Times
2.Australia
Australia pun melakukan Amandemen pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membatasi persebaran konten negatif di media sosial.
Dalam revisi Undang-undang tersebut, pemilik situs diwajibkan untuk memberi tahu polisi jika layanan mereka digunakan untuk mengakses pornografi anak, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara untuk individu, atau denda 10% dari omset perusahaan, bagi mereka yang gagal untuk memenuhi.
Ruang lingkup undang-undang ini terbatas pada konten yang dianggap melanggar, dan disiarkan oleh pelaku dan kaki tangannya yang terlibat dalam kegiatan teroris, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, atau penculikan.
"Subdivisi ini berisi pelanggaran yang akan berlaku pada penyedia layanan internet, penyedia layanan hosting, dan penyedia layanan konten yang gagal menghapus kekerasan atau merekam dan mengedarkan yang telah terjadi atau sedang terjadi di Australia," demikian memorandum penjelasan RUU tersebut seperti dilansir dari Zdnet.
3. Inggris
Perusahaan kartu kredit besar memblokir pembayaran biaya langganan situs-situs porno di internet, menurut sejumlah kelompok dan aktivis antieksploitasi seksual internasional.
Situs-situs porno "memandang kekerasan seksual, inses, dan rasisme secara erotik" dan memuat konten yang menampilkan kekerasan dan perdagangan seksual, demikian kata 10 aktivis dan kelompok antieksploitasi seksual tersebut dalam sebuah surat yang isinya telah dibaca BBC. Hingga saat ini Inggris terus bejuang mengajukan Amandemen UU Konten Internet
(wbs)