Aturan Baru Tokopedia Mirip WhatsApp, Benarkah Melanggar Hukum di Indonesia?
Kamis, 11 Februari 2021 - 17:38 WIB
JAKARTA - Tokopedia baru saja mengeluarkan kebijakan baru. Beberapa poin dari kebijakan itu menimbulkan banyak pertanyaan, terlebih terkait sharing data penggunanya . Aturan privasi baru ini mirip dengan kontroversi WhatsApp.
Kendati demikian, pakar keamanan siber, Pratama Persadha, melihat poin-poin yang disampaikan Tokopedia dalam aturan barunya merupakan hal yang biasa. Ini juga dilakukan platform digital lainnya.
Menurut Pratama, Tokopedia merasa berkepentingan dan bertanggung-jawab untuk lebih mendetailkan penggunaan data penggunanya. Terlebih e-commerce ini sempat menjadi sasaran pencurian 91 juta lebih data penggunanya.
"Memang poin-poin tersebut umumnya menjelaskan bahwa Tokopedia dalam membangun sistem ini tidak bisa sendirian. Misalnya, untuk pembayaran, Tokopedia kerja sama dengan platform lain, seperti OVO dan perbankan," jelas Pratama.
Selain itu, lanjut Pratama, Tokopedia juga bekerja sama dengan pihak ekspedisi seperti JNE, J&T, dan lainnya. Dengan begitu, konsekuensinya jelas, bahwa kerja sama ini membutuhkan dan mewajibkan sharing data untuk berlangsungnya proses dalam sistem jual beli di Tokopedia.
Namun di dalam kebijakan itu juga ada poin tentang riset yang mungkin tergolong sebagai aturan yang cukup karet. Menurut Pratama, bisa jadi aturan ini sebagai riset untuk Tokopedia saja, atau bisa jadi juga diambil oleh pihak ketiga lainnya dengan berbagai tujuan.
"Hal yang sebenarnya di Indonesia lumrah apalagi belum ada UU Perlindungan Data Pribadi," imbuhnya.
Secara umum Pratama, menegaskan, regulasi baru Tokopedia tidak ada yang melanggar UU. Apalagi sampai sekarang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi. Alasan Tokopedia membangun data ke para digital marketer, dinilai agar bisa beriklan baik lewat Facebook, Instagram, Google, maupun lewat sistem Tokopedia sendiri.
"Memang aturan saat ini masih sangat longgar. Karena belum ada UU PDP. Namun secara umum tidak ada poin berbahaya," klaiam Pratama.
Tetapi dia kembali mengingatkan, data interest Tokopedia bisa juga digunakan selain sebagai iklan barang dan jasa, juga ada kemungkinan digunakan sebagai iklan politik. Sebaiknya poin ini ditambahkan bahwa data riset Tokopedia tidak digunakan sebagai iklan politik oleh pihak manapun. Sebab, data riset serupa di Eropa agak sensitif, terutama pascaterkuaknya kasus Cambridge Analytica.
"Kasus itu menggunakan data Facebook untuk pemenangan Donald Trump, dan Brexit di Inggris. Pada akhirnya dinyatakan bersalah melanggar GDPR (General Data Protection Regulation)," pungkasnya.
Kendati demikian, pakar keamanan siber, Pratama Persadha, melihat poin-poin yang disampaikan Tokopedia dalam aturan barunya merupakan hal yang biasa. Ini juga dilakukan platform digital lainnya.
Menurut Pratama, Tokopedia merasa berkepentingan dan bertanggung-jawab untuk lebih mendetailkan penggunaan data penggunanya. Terlebih e-commerce ini sempat menjadi sasaran pencurian 91 juta lebih data penggunanya.
"Memang poin-poin tersebut umumnya menjelaskan bahwa Tokopedia dalam membangun sistem ini tidak bisa sendirian. Misalnya, untuk pembayaran, Tokopedia kerja sama dengan platform lain, seperti OVO dan perbankan," jelas Pratama.
Selain itu, lanjut Pratama, Tokopedia juga bekerja sama dengan pihak ekspedisi seperti JNE, J&T, dan lainnya. Dengan begitu, konsekuensinya jelas, bahwa kerja sama ini membutuhkan dan mewajibkan sharing data untuk berlangsungnya proses dalam sistem jual beli di Tokopedia.
Namun di dalam kebijakan itu juga ada poin tentang riset yang mungkin tergolong sebagai aturan yang cukup karet. Menurut Pratama, bisa jadi aturan ini sebagai riset untuk Tokopedia saja, atau bisa jadi juga diambil oleh pihak ketiga lainnya dengan berbagai tujuan.
"Hal yang sebenarnya di Indonesia lumrah apalagi belum ada UU Perlindungan Data Pribadi," imbuhnya.
Secara umum Pratama, menegaskan, regulasi baru Tokopedia tidak ada yang melanggar UU. Apalagi sampai sekarang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi. Alasan Tokopedia membangun data ke para digital marketer, dinilai agar bisa beriklan baik lewat Facebook, Instagram, Google, maupun lewat sistem Tokopedia sendiri.
"Memang aturan saat ini masih sangat longgar. Karena belum ada UU PDP. Namun secara umum tidak ada poin berbahaya," klaiam Pratama.
Tetapi dia kembali mengingatkan, data interest Tokopedia bisa juga digunakan selain sebagai iklan barang dan jasa, juga ada kemungkinan digunakan sebagai iklan politik. Sebaiknya poin ini ditambahkan bahwa data riset Tokopedia tidak digunakan sebagai iklan politik oleh pihak manapun. Sebab, data riset serupa di Eropa agak sensitif, terutama pascaterkuaknya kasus Cambridge Analytica.
"Kasus itu menggunakan data Facebook untuk pemenangan Donald Trump, dan Brexit di Inggris. Pada akhirnya dinyatakan bersalah melanggar GDPR (General Data Protection Regulation)," pungkasnya.
(iqb)
tulis komentar anda