Wabah COVID-19 Membuat Investasi Divisi TI Makin Diperhitungkan
Kamis, 03 September 2020 - 03:09 WIB
Ada juga penekanan pada teknologi inovatif yang menyederhanakan pekerjaan tim TI dengan cara mengotomatiskan tugas yang bersifat repetitif. "Kami menemukan 35% ITDM global berencana untuk meningkatkan investasi mereka dalam teknologi jaringan berbasis AI. Wilayah APAC ada di urutan teratas dengan 44% (termasuk 60% dari ITDM di India dan 54% di Hong Kong)," kata Justin Chiah.
Saat pengambil keputusan TI menyusun rencana investasi, mereka juga mencari berbagai alternatif model penggunaan untuk mencapai keseimbangan terbaik antara value dan fleksibilitas.
"59% di Singapura mengatakan mereka akan mengeksplorasi model berlangganan hardware dan software, 61% untuk managed service atas hardware dan software yang siap pakai, dan 34% untuk financial leasing –semuanya karena dampak COVID-19. Hal ini mencerminkan meningkatnya kebutuhan terhadap model yang lebih fleksibel secara finansial dalam lingkungan yang makin menantang," paparnya.
Survei menyebutkan, model berlangganan jaringan lebih populer di APAC (61%) ketimbang di Amerika (52%) atau EMEA (50%). Sedangkan negara dengan tingkat permintaan tertinggi adalah Turki (73%), India (70%) dan China (65%).
Sedangkan industri yang paling mungkin untuk mempertimbangkan model berlangganan adalah perhotelan/hospitality (66%), teknologi dan telekomunikasi (58%), dan pendidikan (57%). Dampak COVID-19 terhadap perilaku TI telah membuat membesarnya hasrat untuk menikmati fleksibilitas dan prediktabilitas dalam pengeluaran, serta mengurangi risiko pengeluaran terlalu besar untuk pembelian komponen di awal.
Sebaliknya, lanjut dia, hanya 8% secara global yang berencana untuk melanjutkan investasi CapEx dan proporsi tertingginya ada di Belanda (20%), Amerika Serikat (17%), Spanyol (16%) dan Prancis (15%). Di seluruh industri, 15% di ritel, distribusi, dan transportasi hanya akan berfokus pada investasi CapEx versus 5% di TI, teknologi, pendidikan dan telekomunikasi, serta 2% di perhotelan/hospitality.
“Dengan kebutuhan pelanggan dan karyawan yang berubah begitu komprehensif dalam beberapa bulan terakhir, tidak mengherankan melihat para pemimpin TI mencari solusi yang lebih fleksibel,” kata Chiah.
Mereka didorong beradaptasi dengan cepat dan memastikan bahwa jaringan yang lebih kompleks dan lebih terdistribusi dapat menghadirkan pengalaman yang diinginkan oleh pelanggan secara aman. Kebutuhan akan pengelolaan jaringan yang memiliki agility dan fleksibilitas kini semakin besar. Dari survei global, terlihat bahwa 58% ITDM di kawasan APAC akan mengeksplorasi solusi managed service. (Baca juga: Waspadalah Samsung dan Motorola, Pesaing Ponsel Layar Lipatmu Segera Datang )
Walau pandemik COVID-19 pada berbagai tingkatan jelas berdampak pada berbagai proyek yang masih berjalan, riset ini menunjukkan berbagai dampak itu juga akan mengkatalisasi investasi jangka menengah menjadi teknologi jaringan yang lebih canggih dan beralih ke model konsumsi yang lebih fleksibel untuk membatasi kebutuhan modal di muka. Tren yang terjadi ini akan terakselerasi, termasuk peralihan menuju Edge dan pengapdosian jaringan pintar berbasis cloud dan AI.
Saat pengambil keputusan TI menyusun rencana investasi, mereka juga mencari berbagai alternatif model penggunaan untuk mencapai keseimbangan terbaik antara value dan fleksibilitas.
"59% di Singapura mengatakan mereka akan mengeksplorasi model berlangganan hardware dan software, 61% untuk managed service atas hardware dan software yang siap pakai, dan 34% untuk financial leasing –semuanya karena dampak COVID-19. Hal ini mencerminkan meningkatnya kebutuhan terhadap model yang lebih fleksibel secara finansial dalam lingkungan yang makin menantang," paparnya.
Survei menyebutkan, model berlangganan jaringan lebih populer di APAC (61%) ketimbang di Amerika (52%) atau EMEA (50%). Sedangkan negara dengan tingkat permintaan tertinggi adalah Turki (73%), India (70%) dan China (65%).
Sedangkan industri yang paling mungkin untuk mempertimbangkan model berlangganan adalah perhotelan/hospitality (66%), teknologi dan telekomunikasi (58%), dan pendidikan (57%). Dampak COVID-19 terhadap perilaku TI telah membuat membesarnya hasrat untuk menikmati fleksibilitas dan prediktabilitas dalam pengeluaran, serta mengurangi risiko pengeluaran terlalu besar untuk pembelian komponen di awal.
Sebaliknya, lanjut dia, hanya 8% secara global yang berencana untuk melanjutkan investasi CapEx dan proporsi tertingginya ada di Belanda (20%), Amerika Serikat (17%), Spanyol (16%) dan Prancis (15%). Di seluruh industri, 15% di ritel, distribusi, dan transportasi hanya akan berfokus pada investasi CapEx versus 5% di TI, teknologi, pendidikan dan telekomunikasi, serta 2% di perhotelan/hospitality.
“Dengan kebutuhan pelanggan dan karyawan yang berubah begitu komprehensif dalam beberapa bulan terakhir, tidak mengherankan melihat para pemimpin TI mencari solusi yang lebih fleksibel,” kata Chiah.
Mereka didorong beradaptasi dengan cepat dan memastikan bahwa jaringan yang lebih kompleks dan lebih terdistribusi dapat menghadirkan pengalaman yang diinginkan oleh pelanggan secara aman. Kebutuhan akan pengelolaan jaringan yang memiliki agility dan fleksibilitas kini semakin besar. Dari survei global, terlihat bahwa 58% ITDM di kawasan APAC akan mengeksplorasi solusi managed service. (Baca juga: Waspadalah Samsung dan Motorola, Pesaing Ponsel Layar Lipatmu Segera Datang )
Walau pandemik COVID-19 pada berbagai tingkatan jelas berdampak pada berbagai proyek yang masih berjalan, riset ini menunjukkan berbagai dampak itu juga akan mengkatalisasi investasi jangka menengah menjadi teknologi jaringan yang lebih canggih dan beralih ke model konsumsi yang lebih fleksibel untuk membatasi kebutuhan modal di muka. Tren yang terjadi ini akan terakselerasi, termasuk peralihan menuju Edge dan pengapdosian jaringan pintar berbasis cloud dan AI.
tulis komentar anda