Pupuk Budaya Keamanan Siber di Indonesia Sejak Dini
Selasa, 26 September 2023 - 18:32 WIB
Sekitar 2 tahun sebelum kasus WikiLeaks, NASA (National Aeronautics and Space Administration) menginformasikan adanya tindak penyusupan jaringan siber di JPL (Jet Propulsion Laboratory) milik NASA. Sementara itu, alamat internet (IP) yang terdeteksi berasal dari China. Akibatnya, pelaku mampu mendapat akses dan kendali penuh fungsional via jaringan. Dengan begitu, mereka mungkin saha mampu menghapus, memodifikasi, hingga menyalin dokumen negara. Dengan adanya kasus ini, pemerintah AS dibuat kocar kacir. Jika sekelas AS saja belum bisa menerapkan budaya keamanan siber yang baik, bagaimana negara-negara lain yang tidak memiliki kesadaran keamanan siber mumpuni?
Menyadari bahwa dunia siber adalah ‘lahan basah’ para peretas tak bertanggungjawab, pemerintah AS semakin giat dalam meningkatkan keamanan sibernya. Pemaksimalan upaya menjaga keamanan siber sebenarnya sudah digaungkan cukup kencang oleh Presiden Barrack Obama pada tahun 2014.
Ia mengatakan bahwa dunia siber yang kian canggih akan meningkatkan keparahan ancaman kebocoran data. Maka dari itu, wajib bagi pemerintah untuk cepat melawan ancaman. Di tahun 2015, pemerintah AS melakukan kolaborasi dengan sektor swasta. Sebab, menjaga keamanan siber dirasa bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga pihak swasta. Di awal tahun 2015, Obama mendorong pembentukan ISAO (Information Sharing and Analysis Organization). Obama juga mengarahkan pendirian CTIC atau Pusat Intelijen Ancaman Siber.
Puncaknya, undang-undang mengenai keamanan siber yang akan membuat pertukaran informasi mengenai keamanan siber disahkan pada akhir tahun 2015. Dengan adanya undang-undang ini, maka seluruh sirkulasi informasi keamanan siber, baik dari pihak pemerintah AS dan pihak swasta menjadi lebih mudah, efektif, dan leluasa. Upaya sinergitas mengenai keamanan siber juga menjadi fokus pemerintah AS pada tahun 2016.
Isu keamanan siber juga menjadi bidikan utama pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris. Dalam dokumen resmi pemerintah AS yang dimuat dalam laman White House, Biden dan Harris menekankan bahwa pemerintah harus menggunakan segala alat keamanan nasional untuk mampu menjaga keamanan dunia maya.
Kolaborasi yang dilakukan Kominfo, misalnya, sudah sangat baik dengan visi mencetak talenta muda keamanan siber. Gerakan Nasional Literasi Digital, Program Talent Scholarship, dan Program Digital Leadership Academy, adalah sederet program Kominfo dari tingkat dasar hingga lanjutan dengan kolaborasi dengan banyak pihak, seperti akademisi, industri, dan lembaga non pemerintah lainnya.
Pada bidang pendidikan, mata pelajaran mengenai keamanan siber baiknya dilakukan sedini mungkin. Tentu, anak-anak di bangku SD belum mengerti dan meyerap pelajaran keamanan siber dengan mudah. Maka dari itu, pelajaran dasar mengenai internet atau TIK diperkenalkan secara komprehensif sejak SD.
Seiring meningkatnya jenjang pendidikan, para siswa tentunya bisa diberikan pelajaran mengenai keamanan siber, meskipun masih menjadi bagian dari mata pelajaran TIK. Walaupun begitu, para siswa sudah bisa mendeteksi dengan dini apa saja jenis-jenis pencurian data dan bagaimana cara mengamankan data pribadi mereka. Jika anak-anak sudah memiliki bekal sejak awal, maka visi untuk memiliki talenta muda penjaga siber Indonesia akan mudah terwujud.
Indonesia memang sudah memiliki beberapa universitas yang memiliki mata kuliah keamanan siber, sebut saja Universitas Tanjungpura, Universitas Surabaya, Binus University, dan Telkom University. Sayangnya, belum banyak kampus di Indonesia yang menyediakan jurusan tersebut, padahal prospek yang ditawarkan sangat menggiurkan. Mari belajar dari AS yang memiliki 178 gelar sarjana berbeda di bidang keamanan siber dan tersebar di seluruh wilayah negara. Lagi-lagi, AS berusaha sebaik mungkin untuk mengimplementasikan pesan Obama untuk memperkuat segala sektor untuk menjaga keamanan siber, termasuk dari sisi pendidikan.
Menyadari bahwa dunia siber adalah ‘lahan basah’ para peretas tak bertanggungjawab, pemerintah AS semakin giat dalam meningkatkan keamanan sibernya. Pemaksimalan upaya menjaga keamanan siber sebenarnya sudah digaungkan cukup kencang oleh Presiden Barrack Obama pada tahun 2014.
Ia mengatakan bahwa dunia siber yang kian canggih akan meningkatkan keparahan ancaman kebocoran data. Maka dari itu, wajib bagi pemerintah untuk cepat melawan ancaman. Di tahun 2015, pemerintah AS melakukan kolaborasi dengan sektor swasta. Sebab, menjaga keamanan siber dirasa bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga pihak swasta. Di awal tahun 2015, Obama mendorong pembentukan ISAO (Information Sharing and Analysis Organization). Obama juga mengarahkan pendirian CTIC atau Pusat Intelijen Ancaman Siber.
Puncaknya, undang-undang mengenai keamanan siber yang akan membuat pertukaran informasi mengenai keamanan siber disahkan pada akhir tahun 2015. Dengan adanya undang-undang ini, maka seluruh sirkulasi informasi keamanan siber, baik dari pihak pemerintah AS dan pihak swasta menjadi lebih mudah, efektif, dan leluasa. Upaya sinergitas mengenai keamanan siber juga menjadi fokus pemerintah AS pada tahun 2016.
Isu keamanan siber juga menjadi bidikan utama pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris. Dalam dokumen resmi pemerintah AS yang dimuat dalam laman White House, Biden dan Harris menekankan bahwa pemerintah harus menggunakan segala alat keamanan nasional untuk mampu menjaga keamanan dunia maya.
Perlunya Kolaborasi, Bukan Kerja Sendiri
Jika ingin menciptakan iklim keamanan siber yang aman, kolaborasi berbagai sektor adalah jalan terbaik. Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) sudah mengajak kolaborasi pentahelix guna meningkatkan keamanan siber. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak talenta ahli keamanan digital berkualitas nomor wahid. Apalagi, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) melaporkan bahwa ada sekitar 370 juta serangan siber pada tahun 2022. Hal tersebut adalah pendorong utama patut dilakukannya kolaborasi yang lebih aktif dalam budaya keamanan siber, bukan kerja sendiri.Kolaborasi yang dilakukan Kominfo, misalnya, sudah sangat baik dengan visi mencetak talenta muda keamanan siber. Gerakan Nasional Literasi Digital, Program Talent Scholarship, dan Program Digital Leadership Academy, adalah sederet program Kominfo dari tingkat dasar hingga lanjutan dengan kolaborasi dengan banyak pihak, seperti akademisi, industri, dan lembaga non pemerintah lainnya.
Pada bidang pendidikan, mata pelajaran mengenai keamanan siber baiknya dilakukan sedini mungkin. Tentu, anak-anak di bangku SD belum mengerti dan meyerap pelajaran keamanan siber dengan mudah. Maka dari itu, pelajaran dasar mengenai internet atau TIK diperkenalkan secara komprehensif sejak SD.
Seiring meningkatnya jenjang pendidikan, para siswa tentunya bisa diberikan pelajaran mengenai keamanan siber, meskipun masih menjadi bagian dari mata pelajaran TIK. Walaupun begitu, para siswa sudah bisa mendeteksi dengan dini apa saja jenis-jenis pencurian data dan bagaimana cara mengamankan data pribadi mereka. Jika anak-anak sudah memiliki bekal sejak awal, maka visi untuk memiliki talenta muda penjaga siber Indonesia akan mudah terwujud.
Indonesia memang sudah memiliki beberapa universitas yang memiliki mata kuliah keamanan siber, sebut saja Universitas Tanjungpura, Universitas Surabaya, Binus University, dan Telkom University. Sayangnya, belum banyak kampus di Indonesia yang menyediakan jurusan tersebut, padahal prospek yang ditawarkan sangat menggiurkan. Mari belajar dari AS yang memiliki 178 gelar sarjana berbeda di bidang keamanan siber dan tersebar di seluruh wilayah negara. Lagi-lagi, AS berusaha sebaik mungkin untuk mengimplementasikan pesan Obama untuk memperkuat segala sektor untuk menjaga keamanan siber, termasuk dari sisi pendidikan.
tulis komentar anda