Twitter Akui Platfomnya Dijadikan Sarang Konten Radikal
A
A
A
MENLO PARK - Seorang pejabat Twitter mengungkap bahwa platform media sosial menjadi sarang konten radikal. Ia menyebutkan jejaring sosialnya telah menghapus 1,6 juta akun terkait terorisme.
Sama seperti Facebook dan YouTube, Twitter juga tengah bergulat untuk mengamankan platformnya dari konten ujaran kebencian, hoaks dan isu lainnya.
"Saya pikir di setiap platform, termasuk Twitter, ada pengguna yang membagikan konten radikal. Meskipun begitu kami punya mekanisme dan kebijakan, yang efektif untuk memerangi hal ini," ujar Global Lead for Legal, Policy and Trust and Safety Twitter, Vijaya Gadde dilansir dari laman Metro, Sabtu (15/6/2019).
Menurut Gadde, 90% konten terkait teror yang diturunkan terdeteksi oleh teknologi Twitter sendiri secara proaktif tanpa ada laporan dari pengguna.
Meski begitu, saat pecahnya penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 51 orang tewas pada Maret lalu, Gadde mengakui Twitter mengalami perubahan yang signifikan atau titik balik.
Dalam menghadapi kelompok yang ekstrem, Twitter tetap pada kebijakan tegasnya.
Soal kebijakan, ia mengatakan bahwa Twitter telah melarang lebih dari 110 kelompok brutal. 90 persen dari mereka adalah kelompok nasionalis kulit putih, Partai Nazi Amerika, Proud Boys dan Ku Klux Klan atau KKK.
Dalam kesempatan yang sama Twitter Product Lead, Kayvon Beykpour mengatakan, banyak dari konten pengguna yang kasar, sebenarnya tidak semua melanggar karena setiap konten yang mereka unggah memiliki tingkat kekasaran yang berbeda.
Twitter saat ini memiliki kebijakan baru sebagai bagian dari rencananya untuk membuat pengguna mudah memahami aturan yang ada, dengan memotong kata-kata dalam pedoman resmi yang awalnya 2.500 kata, menjadi kurang dari 600 kata.
Sama seperti Facebook dan YouTube, Twitter juga tengah bergulat untuk mengamankan platformnya dari konten ujaran kebencian, hoaks dan isu lainnya.
"Saya pikir di setiap platform, termasuk Twitter, ada pengguna yang membagikan konten radikal. Meskipun begitu kami punya mekanisme dan kebijakan, yang efektif untuk memerangi hal ini," ujar Global Lead for Legal, Policy and Trust and Safety Twitter, Vijaya Gadde dilansir dari laman Metro, Sabtu (15/6/2019).
Menurut Gadde, 90% konten terkait teror yang diturunkan terdeteksi oleh teknologi Twitter sendiri secara proaktif tanpa ada laporan dari pengguna.
Meski begitu, saat pecahnya penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 51 orang tewas pada Maret lalu, Gadde mengakui Twitter mengalami perubahan yang signifikan atau titik balik.
Dalam menghadapi kelompok yang ekstrem, Twitter tetap pada kebijakan tegasnya.
Soal kebijakan, ia mengatakan bahwa Twitter telah melarang lebih dari 110 kelompok brutal. 90 persen dari mereka adalah kelompok nasionalis kulit putih, Partai Nazi Amerika, Proud Boys dan Ku Klux Klan atau KKK.
Dalam kesempatan yang sama Twitter Product Lead, Kayvon Beykpour mengatakan, banyak dari konten pengguna yang kasar, sebenarnya tidak semua melanggar karena setiap konten yang mereka unggah memiliki tingkat kekasaran yang berbeda.
Twitter saat ini memiliki kebijakan baru sebagai bagian dari rencananya untuk membuat pengguna mudah memahami aturan yang ada, dengan memotong kata-kata dalam pedoman resmi yang awalnya 2.500 kata, menjadi kurang dari 600 kata.
(wbs)