Ini Ponsel yang Disukai Konsumen, Ukuran Minimal Layar Maksimal

Selasa, 05 Maret 2019 - 13:12 WIB
Ini Ponsel yang Disukai...
Ini Ponsel yang Disukai Konsumen, Ukuran Minimal Layar Maksimal
A A A
PONSEL lipat diharapkan membawa angin baru terhadap industri ponsel yang semakin membosankan dan stagnan. Hampir satu dekade terakhir tidak ada fitur dramatis yang diluncurkan. Hanya memperbaiki atau menambah yang sudah ada saja. Kenapa layar harus semakin besar? Karena inilah yang diinginkan konsumen, yakni memiliki ponsel dengan ukuran layar maksimal (besarnya), tapi minimal ukurannya (supaya tidak ribet dan mudah dibawa-bawa).

Saat ini dari sisi desain, industri ponsel bisa dibilang sudah mencapai puncaknya. Ponsel yang ada saat ini nyaris tidak lagi memiliki bezel . Mayoritas kandungannya adalah layar. Kamera depan, ada yang disembunyikan dalam notch . Atau malah tidak ada di layar sama sekali. Desain notch pun semakin kecil. Teorinya memang ponsel layar lipat akan menjadi tren berikutnya. Inilah pusat inovasi ponsel di masa mendatang.

Meski demikian, sebelum ponsel lipat mencapai masa puncak seperti desain smartphone yang ada saat ini, masih ada sejumlah tahapan harus dilalui. Bisa dibilang ini adalah masa awalnya. Sama seperti peralihan dari feature phone ke smartphone . Apa saja tantangannya? Pertama, adalah biaya. Saat ini harga ponsel lipat masih sangat mahal. Samsung membanderol ponsel lipatnya mulai USD1.980 atau Rp28 juta.

Sementara FlexPai, ponsel lipat asal Tiongkok yang diklaim pertama di industri, juga tidak murah. Varian termurahnya dibanderol USD1.295 (Rp18 juta). Mengapa mahal? Terutama tentu saja dari biaya produksi. Ponsel lipat menggunakan layar berbeda dan saat ini harganya masih sangat mahal. Sama persis ketika TV pertama menggunakan layar HD atau bahkan AMOLED.

Mulanya puluhan juta rupiah, namun dalam beberapa tahun harganya menurun hingga belasan juta rupiah. Alasan kedua, bisa dilihat dari biaya R&D serta biayabiaya pendukung lainnya. Maklum, ponsel foldable masih butuh banyak penyesuaian tidak hanya dari hardware namun juga software. Terakhir, ponsel foldable juga merupakan kategori yang benarbenar nyaris belum ada pesaing. Maka itu, para pemain pertama di kategori ini bebas menentukan sendiri harga yang dirasa layak untuk produk mereka.

Karena itu, bos perangkat mobile Samsung DJ Koh tidak ragu menyebut ponsel lipat memang menargetkan pasar luks atau kelas atas. Karena hanya para trend seeker -lah yang mau membayar mahal untuk kategori ponsel baru seperti ini. Mereka ingin memiliki ponsel yang sedang hype dan terbaru di pasaran. Meski demikian, seiring waktu dan semakin sengitnya kompetisi, desain dan fitur ponsel foldable akan terus disempurnakan. Setelah itu, harganya semakin lama akan semakin terjangkau.

Sebagai kategori baru yang akan merevolusi industri ponsel, dipastikan dalam beberapa tahun ke depan sudah banyak pabrikan merilis ponsel foldable di bawah Rp10 juta. Tantangan kedua adalah daya tahan baterai. Saat mengenalkan Galaxy Fold, Samsung mengatakan bahwa ponsel mereka memiliki dua baterai bekerja secara tandem menghasilkan total kapasitas 4.380 mAh.

Adapun Huawei Mate X memiliki kapasitas baterai gabungan 4.500 mAh. Memiliki layar lebih besar dan lebih banyak, jelas membuat konsumsi baterai lebih boros. Meski demikian, hal ini masih perlu dibuktikan dengan pengujian langsung.

Bagi saya sendiri, selama sudah dibekali fast charging, daya tahan baterai tidak akan jadi masalah. Sebab mengisi baterai bisa dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang. Ini dilakukan Huawei yang mengklaim bahwa Mate X mampu mengisi baterai dari 0% menjadi 85% hanya dalam 30 menit! Sekali lagi, ukuran baterai tidak selalu jadi patokan utama dalam pemakaian. Ketiga, durabilitas layar. Ini karena ponsel lipat adalah teknologi baru.

Kendati pabrikan seperti FlexPai mengklaim layar mereka bisa dilipat hingga 200.000 kali, tapi dalam pemakaian nyata hasilnya bisa berbeda. Setiap layarnya dibengkokkan, berarti usianya juga semakin berkurang. Belum lagi bagaimana ketahanan terhadap guncangan atau benturan tanpa casing . Dengan dua layar di kedua sisi, tentu membuat ponsel lebih rentan rusak atau pecah. Walau hal ini masih perlu dibuktikan lagi. Keempat, tantangan soal desain. Ponsel lipat adalah kategori baru.

Maka itu, masing-masing R&D pabrikan ponsel memiliki solusi berbeda yang menurut mereka terbaik. Di satu sisi, hal ini sangat menarik dan seru. Karena kita melihat banyak sekali desain ponsel berbeda-beda dan tidak monoton. Tentu saja akan ada desain lebih baik dibandingkan lainnya. Kemudian, seiring dengan perkem bangan teknologi yang cepat, bentuk desain ponsel juga bisa berubah dengan cepat.

Bisa saja dalam beberapa tahun ke depan sudah ada yang muncul dengan ponsel la yarnya digulung sehingga semakin ringkas. Ponsel lipat yang ada sekarang bisa cepat ketinggalan zaman dalam 1-2 tahun ke depan. Contoh mudahnya kita lihat bagaimana ponsel yang dilipat justru menjadi jauh lebih tebal dibanding smartphone yang ada sekarang. Tantangan kelima, soal dukungan aplikasi.

Saat ini Google sudah bekerja sangat intens dengan Samsung atau Huawei untuk membuat sistem operasi yang mampu mengoptimalkan layar ponsel lipat. Samsung lewat Galaxy Fold menunjukkan bagaimana ponsel mereka bisa menjalankan tiga aplikasi sekaligus. Namun, yang jelas perlu waktu agar developer mulai mendapatkan purwarupa ponsel lipat dan membuat aplikasi khusus untuk mengutilisasi keunggulan layar besar di ponsel itu. Entah dalam bermain game atau hal lain. Atau malah aplikasi yang memang dirancang khusus untuk ponsel lipat. Ini jadi tantangan besar bagi mereka karena masing-masing vendor memiliki ukuran layar berbeda yang harus disesuaikan.

Terakhir, terkait dengan fungsi guna. Ya, konsumen “trend seeker” tetap akan membeli ponsel lipat karena sedang tren. Tapi, untuk meraih hati konsumen di bawahnya, yakni “smart buyer” yang sangat peduli pada spesifikasi acap membanding-bandingkan ponsel, ponsel lipat harus menawarkan fungsi relevan. Ini yang terjadi ketika Samsung mendorong tren phablet lewat Galaxy Note pertama pada 2011 dengan layar 5 inci di saat konsumen sudah puas dengan ponsel berukuran 4 inci.

Sekarang ponsel 6,1 inci menjadi ukuran standar karena ukuran yang besar memberikan value bagi konsumen dalam menikmati konten multimedia, seperti film, foto, dan game . Namun, yang harus ditunggu kemudian adalah value apa yang diberikan ponsel lipat, selain bisa menjadi phablet dan ponsel sekaligus?
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1480 seconds (0.1#10.140)