Pengamat Minta Telkomsel Pentingkan Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Isu monopoli Telkomsel di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian Timur terus bergulir dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, tak terkecuali pemerintah. Regulator bahkan ingin merevisi aturan dalam PP No 52 Tahun 2000 yang mengatur biaya interkoneksi dan berbagi jaringan aktif (network sharing/NS).
Namun, saat ini perusahaan tersebut berusaha melobi pemerintah agar tak melakukan revisi. Pasalnya, selama ini Telkomsel mendompleng jaringan dari induk perusahaannya, Telkom untuk beroperasi. "Begitu NS diberlakukan dan jaringan Telkom bisa dipakai semua operator, artinya dia (Telkomsel) harus merelakan potensi keuntungan ini tak lagi ke dia," kata Pengamat Telekomunikasi dari Universitas Indonesia Harryadin Mahardika dalam rilisnya, Senin (18/7/2016).
Padahal, jika dilihat lebih jauh, dalam berbagi jaringan ini yang diuntunggkan adalah konsumen atau masyarakat Indonesia. Dia lantas mengimbau agar Telkomsel tidak mengedepankan keuntungan. Sebab, telekomunikasi merupakan hajat hidup orang banyak dan harus disikapi secara bijak.
Menurutnya, pemerintah harus bersikap tegas, khususnya dalam menetapkan aturan agar tak terjadi monopoli. "Harus kita letakkan permasalahan ini dari sudut pandang wellfare konsumen. Pemerintah harus bisa tegas terhadap Telkomsel," katanya.
Lebih jauh, Harryadin mengungkapkan bahwa perusahaan itu juga sempat diaudit pihaknya, terutama dari segi investasi dan keuntungan yang diperoleh. Menurut dia, Telkomsel meraup laba jauh dari yang seharusnya didapaat. Sehingga operator tersebut dicap sebagai super normal profit company, atau perusahaan dengan keuntungan di atas normal.
Kenyataan ini dikatakan Harryadin, berujung pada kesimpulan bahwa Telkomsel sepenuhnya mencari untung melalui jaringan Telkom. Perusahaan yang sahamnya juga dipegang asing ini menurut dia harus diusut. Negara memiliki Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) yang bisa bergerak untuk menindak hal tersebut.
"Sebenarnya kalau kita berpedoman pada UU Persaingan Usaha, pemerintah bisa mengingatkan pada Telkomsel yang keuntungannya terlalu berlebihan. Sehingga mbok yaa dikurangi," tuturnya.
Tak hanya itu, dosen UI ini juga menyoal formula dari biaya interkoneksi antar operator. Menurutnya, perlu keterbukaan dari pemerintah sendiri untuk formulasi biaya tersebut, khususnya yang terkait Telkomsel. Tujuannya semata-mata membuat publik mengerti, untuk apa sajakah biaya yang mereka harus bayarkan pada operator.
Pasalnya, dia melihat yang paling terdampak dari penetapan biaya interkoneksi adalah konsumen. Namun demikian, Harryadin tak lantas mencap salah Telkomsel, yang telah berusaha keras membangun jaringan di luar Jawa, sehingga bisa mengatur biaya telekomunikasi sesuka hati. Tapi, alangkah lebih baik jika formulasi interkoneksi diperhitungkan secara matang.
"Memang kami tidak ingin merugikan Telkomsel, tapi ya jangan profitnya terlalu besar. Yang ingin dibuka itu formula hitung-hitungan biaya interkoneksi," ujar Harryadin.
"Sehingga bisa dihitung itu, mulai dari biaya membangun jaringan, balik modal berapa tahun. Kami di UI sudah bikin penghitungan, kalau menurut hitungan itu sih untungnya Telkomsel masih terlalu besar," pungkasnya.
Namun, saat ini perusahaan tersebut berusaha melobi pemerintah agar tak melakukan revisi. Pasalnya, selama ini Telkomsel mendompleng jaringan dari induk perusahaannya, Telkom untuk beroperasi. "Begitu NS diberlakukan dan jaringan Telkom bisa dipakai semua operator, artinya dia (Telkomsel) harus merelakan potensi keuntungan ini tak lagi ke dia," kata Pengamat Telekomunikasi dari Universitas Indonesia Harryadin Mahardika dalam rilisnya, Senin (18/7/2016).
Padahal, jika dilihat lebih jauh, dalam berbagi jaringan ini yang diuntunggkan adalah konsumen atau masyarakat Indonesia. Dia lantas mengimbau agar Telkomsel tidak mengedepankan keuntungan. Sebab, telekomunikasi merupakan hajat hidup orang banyak dan harus disikapi secara bijak.
Menurutnya, pemerintah harus bersikap tegas, khususnya dalam menetapkan aturan agar tak terjadi monopoli. "Harus kita letakkan permasalahan ini dari sudut pandang wellfare konsumen. Pemerintah harus bisa tegas terhadap Telkomsel," katanya.
Lebih jauh, Harryadin mengungkapkan bahwa perusahaan itu juga sempat diaudit pihaknya, terutama dari segi investasi dan keuntungan yang diperoleh. Menurut dia, Telkomsel meraup laba jauh dari yang seharusnya didapaat. Sehingga operator tersebut dicap sebagai super normal profit company, atau perusahaan dengan keuntungan di atas normal.
Kenyataan ini dikatakan Harryadin, berujung pada kesimpulan bahwa Telkomsel sepenuhnya mencari untung melalui jaringan Telkom. Perusahaan yang sahamnya juga dipegang asing ini menurut dia harus diusut. Negara memiliki Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) yang bisa bergerak untuk menindak hal tersebut.
"Sebenarnya kalau kita berpedoman pada UU Persaingan Usaha, pemerintah bisa mengingatkan pada Telkomsel yang keuntungannya terlalu berlebihan. Sehingga mbok yaa dikurangi," tuturnya.
Tak hanya itu, dosen UI ini juga menyoal formula dari biaya interkoneksi antar operator. Menurutnya, perlu keterbukaan dari pemerintah sendiri untuk formulasi biaya tersebut, khususnya yang terkait Telkomsel. Tujuannya semata-mata membuat publik mengerti, untuk apa sajakah biaya yang mereka harus bayarkan pada operator.
Pasalnya, dia melihat yang paling terdampak dari penetapan biaya interkoneksi adalah konsumen. Namun demikian, Harryadin tak lantas mencap salah Telkomsel, yang telah berusaha keras membangun jaringan di luar Jawa, sehingga bisa mengatur biaya telekomunikasi sesuka hati. Tapi, alangkah lebih baik jika formulasi interkoneksi diperhitungkan secara matang.
"Memang kami tidak ingin merugikan Telkomsel, tapi ya jangan profitnya terlalu besar. Yang ingin dibuka itu formula hitung-hitungan biaya interkoneksi," ujar Harryadin.
"Sehingga bisa dihitung itu, mulai dari biaya membangun jaringan, balik modal berapa tahun. Kami di UI sudah bikin penghitungan, kalau menurut hitungan itu sih untungnya Telkomsel masih terlalu besar," pungkasnya.
(izz)