Ada 5,4 Juta Data Pribadi Bocor di Twitter, Pengamat: Indonesia Sasaran Empuk!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Twitter belum lama ini mengumumkan 5,4 juta data pribadi user kemungkinan bocor. Ini terjadi karena adanya bug keamanan yang dimanfaatkan oleh pelaku serangan siber untuk mencuri data pribadi.
Hal ini menunjukkan bahwa data di media sosial ternyata rentan terhadap pencurian. Apalagi, menurut laporan Indonesia Digital Report 2022 yang dirilis We are Social (Hootsuite), saat ini pengguna media sosial di Indonesia tembus 191 juta jiwa atau 68,9 persen dari total populasi tanah air.
Dari angka tersebut, 58,3% merupakan pengguna Twitter. Belum lagi jika ditambah platform-platform media sosial besar lainnya seperti Instagram, Tiktok, dan Facebook.
Pakar keamanan siber dan Presiden Direktur ITSEC Asia Andri Hutama Putra mengatakan, isu keamanan data pribadi semakin krusial di tengah maraknya kejahatan siber. Terutama, yang menyasar platform-platform media sosial seperti yang terjadi kepada Twitter baru-baru ini.
“Dengan jumlah populasi penduduk digital yang sangat besar serta infrastruktur keamanan siber belum maksimal, maka sangat mungkin Indonesia menjadi sasaran empuk bagi pelaku-pelaku kejahatan siber untuk mencuri dan mengambil keuntungan dari data-data pribadi masyarakat,” kata Andri.
Menurutnya, penetrasi internet dan pengguna media sosial yang tinggi menjadikan isu data pribadi krusial diberikan perlindungan oleh sistem dan regulasi.
Ini karena kejahatan siber dapat berdampak sangat merugikan. Mulai pemalsuan identitas, pencurian dan jual-beli data ilegal, pembobolan akun media sosial atau dompet digital, serta penipuan daring.
”Untuk melindungi masyarakat, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi penting untuk dirampungkan agar dapat memberi kejelasan tanggung jawab penghimpun data dan mengatur sanksi administratif terhadap kasus pelanggaran data,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andri mengungkap bahwa menjaga data pribadi pengguna merupakan salah satu tanggung jawab utama bagi perusahaan penyedia layanan digital / elektronik.
Namun demikian, hal yang sama juga menjadi tanggung jawab publik yang menggunakan layanan tersebut, karena semakin canggih sistem keamanan yang dimiliki oleh perusahaan, serangan siber yang terjadi akan semakin canggih pula.
Hal ini menunjukkan bahwa data di media sosial ternyata rentan terhadap pencurian. Apalagi, menurut laporan Indonesia Digital Report 2022 yang dirilis We are Social (Hootsuite), saat ini pengguna media sosial di Indonesia tembus 191 juta jiwa atau 68,9 persen dari total populasi tanah air.
Dari angka tersebut, 58,3% merupakan pengguna Twitter. Belum lagi jika ditambah platform-platform media sosial besar lainnya seperti Instagram, Tiktok, dan Facebook.
Pakar keamanan siber dan Presiden Direktur ITSEC Asia Andri Hutama Putra mengatakan, isu keamanan data pribadi semakin krusial di tengah maraknya kejahatan siber. Terutama, yang menyasar platform-platform media sosial seperti yang terjadi kepada Twitter baru-baru ini.
“Dengan jumlah populasi penduduk digital yang sangat besar serta infrastruktur keamanan siber belum maksimal, maka sangat mungkin Indonesia menjadi sasaran empuk bagi pelaku-pelaku kejahatan siber untuk mencuri dan mengambil keuntungan dari data-data pribadi masyarakat,” kata Andri.
Menurutnya, penetrasi internet dan pengguna media sosial yang tinggi menjadikan isu data pribadi krusial diberikan perlindungan oleh sistem dan regulasi.
Ini karena kejahatan siber dapat berdampak sangat merugikan. Mulai pemalsuan identitas, pencurian dan jual-beli data ilegal, pembobolan akun media sosial atau dompet digital, serta penipuan daring.
”Untuk melindungi masyarakat, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi penting untuk dirampungkan agar dapat memberi kejelasan tanggung jawab penghimpun data dan mengatur sanksi administratif terhadap kasus pelanggaran data,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andri mengungkap bahwa menjaga data pribadi pengguna merupakan salah satu tanggung jawab utama bagi perusahaan penyedia layanan digital / elektronik.
Namun demikian, hal yang sama juga menjadi tanggung jawab publik yang menggunakan layanan tersebut, karena semakin canggih sistem keamanan yang dimiliki oleh perusahaan, serangan siber yang terjadi akan semakin canggih pula.
(dan)