Tagar #BlokirKominfo Menggema, Bukti Buruknya Cara Komunikasi Kominfo?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemblokiran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) masih terus jadi polemik di masyarakat. Protes keras terhadap Kominfo digemakan oleh warganet di media sosial sejak akhir pekan lalu media sosial. Tidak hanya melalui tagar #BlokirKominfo, namun juga puluhan ribu komentar di akun media sosial Kominfo.
Padahal, sebenarnya maksud pendaftaran PSE sendiri sangat baik. Seperti dijelaskan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangarepan.
”Kami bukan meminta PSE untuk mengurus izin. Hanya mendaftar saja. Sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, meningkat rasa nyaman pengguna, juga mendukung ekosistem digital di Indonesia,” ungkapnya.
Meski demikian, dari pantauan SINDOnews, banyak sekali masyarakat dan warganet yang belum menangkap dan mendapatkan esensi konteks pemblokiran PSE yang tidak mau mendaftar.
CEO & Founder Media Buffet PR Bima Marzuki memberikan sejumlah analisa terkait buruknya cara berkomunikasi Kominfo dalam menjelaskan isu PSE kepada masyarakat.
1. Salah Memetakan Stakeholder
Sebelum melakukan penutupan sementara layanan seperti Steam ataupun PayPal, Bima menyebut bahwa Kominfo seharusnya bisa mengidentifikasi stakeholder mana yang terpengaruh dan sejauh mana dampaknya. ”Dari kemarahan komunitas gamer dan pekerja kreatif, terlihat belum ada upaya komunikasi yang intens dari Kominfo terhadap komunitas tersebut,” beber Bima.
2. Strategi Narasi Meleset
Menurut Bima, narasi yang coba dibangun oleh Kominfo adalah ”sekadar registrasi” dan ”demi kedaulatan” dengan upaya menyederhanakan konteks melalui analogi ”tukang bubur vs satpam” dan ”orang tua-anak”.
”Simplifikasi narasi adalah strategi yang bagus jika target audiensnya susah mengakses informasi dan memahami konteks persoalan. Tapi, dalam kasus ini audiensnya justru sangat memiliki akses terhadap informasi, termasuk ’syarat’ dibalik PSE yang mulai menyentuh ke ranah kebebasan berpendapat,” ujarnya.
3. Blunder Juru Bicara
Sebagai praktisi Public Relations, Bima menyebut bahwa tim komunikasi Kominfo seharusnya bisa melihat bahwa Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangarepan saat bicara ke media cenderung, “emosional, percaya diri tinggi, dan mudah terpancing,”. ”Yang sudah-sudah terjadi blunder salah bicara. Salah satunya, mempersilahkan publik untuk mengunduh situs judi online,” katanya.
4. Isu Bergerak Liar
Menurut Bima, pada kejadian ancaman blokir sebelumnya, isu yang berkembang terpagari menjadi dua: legalitas dan kebebasan berbicara. ”Pada kejadian blokir saat ini, isu berkembang sudah liar tak terkendali. Mulai ’mendukung situs judi’, ’proyek PSE Rp1 triliun’, ‘melangkahi Undang-Undang’, hingga ‘doxingg’. Ini terjadi karena Kominfo sejak awal membangun narasi yang lari dari persoalan utama,” ujar Bima.
Padahal, sebenarnya maksud pendaftaran PSE sendiri sangat baik. Seperti dijelaskan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangarepan.
”Kami bukan meminta PSE untuk mengurus izin. Hanya mendaftar saja. Sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, meningkat rasa nyaman pengguna, juga mendukung ekosistem digital di Indonesia,” ungkapnya.
Meski demikian, dari pantauan SINDOnews, banyak sekali masyarakat dan warganet yang belum menangkap dan mendapatkan esensi konteks pemblokiran PSE yang tidak mau mendaftar.
CEO & Founder Media Buffet PR Bima Marzuki memberikan sejumlah analisa terkait buruknya cara berkomunikasi Kominfo dalam menjelaskan isu PSE kepada masyarakat.
1. Salah Memetakan Stakeholder
Sebelum melakukan penutupan sementara layanan seperti Steam ataupun PayPal, Bima menyebut bahwa Kominfo seharusnya bisa mengidentifikasi stakeholder mana yang terpengaruh dan sejauh mana dampaknya. ”Dari kemarahan komunitas gamer dan pekerja kreatif, terlihat belum ada upaya komunikasi yang intens dari Kominfo terhadap komunitas tersebut,” beber Bima.
2. Strategi Narasi Meleset
Menurut Bima, narasi yang coba dibangun oleh Kominfo adalah ”sekadar registrasi” dan ”demi kedaulatan” dengan upaya menyederhanakan konteks melalui analogi ”tukang bubur vs satpam” dan ”orang tua-anak”.
”Simplifikasi narasi adalah strategi yang bagus jika target audiensnya susah mengakses informasi dan memahami konteks persoalan. Tapi, dalam kasus ini audiensnya justru sangat memiliki akses terhadap informasi, termasuk ’syarat’ dibalik PSE yang mulai menyentuh ke ranah kebebasan berpendapat,” ujarnya.
3. Blunder Juru Bicara
Sebagai praktisi Public Relations, Bima menyebut bahwa tim komunikasi Kominfo seharusnya bisa melihat bahwa Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangarepan saat bicara ke media cenderung, “emosional, percaya diri tinggi, dan mudah terpancing,”. ”Yang sudah-sudah terjadi blunder salah bicara. Salah satunya, mempersilahkan publik untuk mengunduh situs judi online,” katanya.
4. Isu Bergerak Liar
Menurut Bima, pada kejadian ancaman blokir sebelumnya, isu yang berkembang terpagari menjadi dua: legalitas dan kebebasan berbicara. ”Pada kejadian blokir saat ini, isu berkembang sudah liar tak terkendali. Mulai ’mendukung situs judi’, ’proyek PSE Rp1 triliun’, ‘melangkahi Undang-Undang’, hingga ‘doxingg’. Ini terjadi karena Kominfo sejak awal membangun narasi yang lari dari persoalan utama,” ujar Bima.
(dan)