Katanya Aman, Kenapa Akun Telegram Penyidik KPK Novel Baswedan Kena Hack Juga?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun lalu, pendiri Telegram Pavel Durov mewanti-wanti bahwa menggunakan WhatsApp sangat berbahaya. Tapi, ternyata justru saat ini akun Telegram jadi banyak sasaran peretasan.
Lewat akun Twitter @nazaqistsha penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengumumkan bahwa akun telegramny di 'hack', sejak pukul 20.22 WIB, Kamis (20/5) malam.
Selain itu, akun WhatsApp dan Telegram milik mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah juga sempat diretas. Kedua akun milik Febri tidak bisa diakses pada Kamis (20/5) malam, sebelum akhirnya bisa di dapatkan kembali pada Jumat pagi.
”Saya telah menggunakan 2FA atau two step verification di WA, touch id password dan keamanan lain yang tersedia di WA," jelasnya. Febri menyampaikan rasa simpatinya kepada tim advokasi 75 pegawai KPK yang akun pribadinya juga diretas.
Memang peretasan pada akun WhatsApp sudah sering terjadi. Tapi, bagaimana dengan Telegram? Benarkah lebih aman dari WhatsApp?
Laporan tentang cybersecurity yang dirilis April 2021 silam memperingatkan akan tumbuhnya ancaman keamanan cyber dimana peretas/hackers menggunakan Telegram sebagai sistem perintah dan kendali dalam menjalankan aksinya.
Saat ini Telegram digunakan oleh lebih dari 500 juta pengguna aktif bulanan.
Pendiri Telegram Pavel Durov.
Pavel Durov pernah memperingatkan celah keamanan di WhatsApp. Ia menyebut layanan messenger yang dimiliki Facebook itu memiliki ”backdoor” yang bisa dipakai untuk mengambil data pengguna. Durov juga menyebut WhatsApp tidak memiliki salinan enkripsi data end-to-end sehingga mudah ditarget peretas.
Faktanya, Telegram ternyata memiliki risiko keamanan yang sama. Sama-sama memiliki risiko tinggi terhadap serangan malware. Penyedia layanan keamanan Check Point kepada Forbes menyebut bahwa semua layanan messenger bisa di eksploitasi untuk mengirim pesan, attachments, dan links berbahaya.
Bahkan, justru ada bahaya serius dari Telegram yang tidak bisa dimitigasi oleh penggunanya sendiri walau mereka sangat sadar dengan keamanan.
Ternyata, Telegram lebih kompleks dibandingkan kompetitor seperti Facebook Messenger, WhatsApp, iMessage, dan Signal.
Platform tersebut melayani lebih dari 500 juta pengguna melalui Endpoint (ujung dari jalur komunikasi dalam satu jaringan) yang berbentuk seperti jaring laba-laba yang saling terhubung dan memiliki backend/server cloud-nya sendiri.
Arsitektur ini memungkinkan Telegram menyediakan grup-grup dan channel yang tidak terbatas, juga fitur-fitur canggih yang tidak dimiliki kompetitor. Termasuk, ”platform bot”-nya sendiri.
Telegram menjelaskan bahwa bot adalah akun Telegram yang dioperasikan oleh perangkat lunak--bukan manusia--dan mereka memiliki fitur kecerdasan buatan. Bot-bot ini dapat melakukan apa saja. Mulai mengajar, bermain, menelusuri, menyiarkan, mengingatkan, menghubungkan, mengintegrasikan dengan layanan lain, atau bahkan menyampaikan perintah ke Internet of Things.
Nah, masalahnya, bukan itu saja yang bisa dilakukan oleh bot Telegram. Check Point sudah memperingatkan bahaya Telegram. Mereka mengatakan bahwa telah melacak dalam 3 bulan terakhir ada 130 serangan siber menggunakan malware yang dikontrol lewat Telegram oleh para peretas.
Bahkan saat aplikasi Telegram tidak diinstal dan tidak dipakai, peretas masih bisa mengirim perintah berbahaya dan mengoperasikan dari jarak jauhke aplikasi tersebut.
Malware itu sendiri tidak disebarkan oleh pesan Telegram. Tapi, dikirim ke pengguna lewat pesan email biasa. Tapi begitu lampiran email yang dibuat dibuka di PC Windows pengguna, bot Telegram beraksi dengan cara terhubung ke control server si peretas dan melakukan serangan.
Menurut Check Point, popularitas malware berbasis Telegram terus meningkat seiring tumbuhnya penggunaan aplikasi tersebut di seluruh dunia. ”Telegram adalah aplikasi yang legal, mudah digunakan, stabil, dan tidak di blok oleh anti virus perusahaan, atau jaringan keamanan perusahaan,” beber Check Point.
Lewat akun Twitter @nazaqistsha penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengumumkan bahwa akun telegramny di 'hack', sejak pukul 20.22 WIB, Kamis (20/5) malam.
Selain itu, akun WhatsApp dan Telegram milik mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah juga sempat diretas. Kedua akun milik Febri tidak bisa diakses pada Kamis (20/5) malam, sebelum akhirnya bisa di dapatkan kembali pada Jumat pagi.
”Saya telah menggunakan 2FA atau two step verification di WA, touch id password dan keamanan lain yang tersedia di WA," jelasnya. Febri menyampaikan rasa simpatinya kepada tim advokasi 75 pegawai KPK yang akun pribadinya juga diretas.
Memang peretasan pada akun WhatsApp sudah sering terjadi. Tapi, bagaimana dengan Telegram? Benarkah lebih aman dari WhatsApp?
Laporan tentang cybersecurity yang dirilis April 2021 silam memperingatkan akan tumbuhnya ancaman keamanan cyber dimana peretas/hackers menggunakan Telegram sebagai sistem perintah dan kendali dalam menjalankan aksinya.
Saat ini Telegram digunakan oleh lebih dari 500 juta pengguna aktif bulanan.
Pendiri Telegram Pavel Durov.
Pavel Durov pernah memperingatkan celah keamanan di WhatsApp. Ia menyebut layanan messenger yang dimiliki Facebook itu memiliki ”backdoor” yang bisa dipakai untuk mengambil data pengguna. Durov juga menyebut WhatsApp tidak memiliki salinan enkripsi data end-to-end sehingga mudah ditarget peretas.
Faktanya, Telegram ternyata memiliki risiko keamanan yang sama. Sama-sama memiliki risiko tinggi terhadap serangan malware. Penyedia layanan keamanan Check Point kepada Forbes menyebut bahwa semua layanan messenger bisa di eksploitasi untuk mengirim pesan, attachments, dan links berbahaya.
Bahkan, justru ada bahaya serius dari Telegram yang tidak bisa dimitigasi oleh penggunanya sendiri walau mereka sangat sadar dengan keamanan.
Ternyata, Telegram lebih kompleks dibandingkan kompetitor seperti Facebook Messenger, WhatsApp, iMessage, dan Signal.
Platform tersebut melayani lebih dari 500 juta pengguna melalui Endpoint (ujung dari jalur komunikasi dalam satu jaringan) yang berbentuk seperti jaring laba-laba yang saling terhubung dan memiliki backend/server cloud-nya sendiri.
Arsitektur ini memungkinkan Telegram menyediakan grup-grup dan channel yang tidak terbatas, juga fitur-fitur canggih yang tidak dimiliki kompetitor. Termasuk, ”platform bot”-nya sendiri.
Telegram menjelaskan bahwa bot adalah akun Telegram yang dioperasikan oleh perangkat lunak--bukan manusia--dan mereka memiliki fitur kecerdasan buatan. Bot-bot ini dapat melakukan apa saja. Mulai mengajar, bermain, menelusuri, menyiarkan, mengingatkan, menghubungkan, mengintegrasikan dengan layanan lain, atau bahkan menyampaikan perintah ke Internet of Things.
Nah, masalahnya, bukan itu saja yang bisa dilakukan oleh bot Telegram. Check Point sudah memperingatkan bahaya Telegram. Mereka mengatakan bahwa telah melacak dalam 3 bulan terakhir ada 130 serangan siber menggunakan malware yang dikontrol lewat Telegram oleh para peretas.
Bahkan saat aplikasi Telegram tidak diinstal dan tidak dipakai, peretas masih bisa mengirim perintah berbahaya dan mengoperasikan dari jarak jauhke aplikasi tersebut.
Malware itu sendiri tidak disebarkan oleh pesan Telegram. Tapi, dikirim ke pengguna lewat pesan email biasa. Tapi begitu lampiran email yang dibuat dibuka di PC Windows pengguna, bot Telegram beraksi dengan cara terhubung ke control server si peretas dan melakukan serangan.
Menurut Check Point, popularitas malware berbasis Telegram terus meningkat seiring tumbuhnya penggunaan aplikasi tersebut di seluruh dunia. ”Telegram adalah aplikasi yang legal, mudah digunakan, stabil, dan tidak di blok oleh anti virus perusahaan, atau jaringan keamanan perusahaan,” beber Check Point.
(dan)