Dinilai Monopoli, Google Digugat Pemerintah AS

Kamis, 22 Oktober 2020 - 10:15 WIB
loading...
Dinilai Monopoli, Google...
Google, perusahaan teknologi terbesar di dunia, digugat pemerintah Amerika Serikat (AS). Foto/dok
A A A
WASHINGTON - Google , perusahaan teknologi terbesar di dunia, digugat pemerintah Amerika Serikat (AS) karena melanggar undang-undang kompetisi dan melakukan monopoli terhadap mesin pencarian dan iklan online.

Gugatan tersebut merupakan aksi terbesar yang dilakukan Departemen Kehakiman AS terhadap sebuah perusahaan teknologi raksasa dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, AS menindak perusahaan teknologi besar sejak menggugat Microsoft Corp karena praktik antipersaingan pada tahun 1998 silam. (Baca: Inilah Pahala dan Keutamaan Menjaga Pandangan Mata)

Departemen Kehakiman melakukan gugatan terhadap Google setelah investigasi selama setahun lebih. Itu terjadi setelah Google menghadapi tekanan dan gugatan dari banyak pihak baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Gugatan tersebut diajukan di pengadilan federal oleh Departemen Kehakiman dan 11 negara bagian, yakni Arkansas, Florida, Georgia, Indiana, Kentucky, Louisiana, Mississippi, Missouri, Montana, South Carolina dan Texas. Gugatan tersebut fokus pada miliaran dolar yang dibayar Google kepada perusahaan ponsel seperti Apple, Samsung, dan lainnya untuk memasang mesin pencari Google pada peralatan mereka. Itu menjadikan rival mereka tidak bisa mendapatkan upaya untuk meningkatkan algoritma dan terus berkembang.

Para pejabat mengatakan, kesepakatan itu menjadikan Google menjadi “gatekeeper” di internet dan mengizinkannya untuk mengontrol dan mengatur kanal distribusi sekitar 90% mesin pencarian di AS dan hampir 95 persen pencarian di seluler.

“ Google telah menutup kompetisi untuk mesin pencarian di internet,” demikian bunyi gugatan itu dilansir Reuters. “Kompetitor mesin pencari menolak untuk distribusi vital, skala dan pengenalan produk yang menjamin bahwa mereka tidak memiliki kesempatan melawan Google.”

Gugatan Departemen Kehakiman AS juga menyebut Google sangat dominan sehingga Google bukan hanya kata beda yang mengidentifikasi suatu perusahaan, tetapi mesin pencari Google menjadi kata kerja yang berarti mesin pencari di internet. Itu merugikan publik karena kualitas pencarian berkaitan dengan privasi dan perlindungan data sehingga mengurangi pilihan dan mengabaikan inovasi.

Jaksa Agung Bill Barr mengatakan para penyelidiknya telah menemukan Google tidak bersaing dalam kualitas hasil pencariannya, melainkan membeli kesuksesannya melalui pembayaran kepada pembuat ponsel dan lainnya. "Hasil akhirnya adalah tidak ada yang dapat dengan mudah menantang dominasi Google dalam penelusuran dan periklanan," kata Barr. (Baca: Masih Pandemi, Evaluasi Siswa Diminta Kembali ke Ujian Sekolah)

Ketika ditanya apakah Departemen Kehakiman AS sedang mencari perpisahan atau solusi lain, Ryan Shores, seorang pejabat Departemen Kehakiman, tidak mau menjawabnya. “Tidak ada yang salah, tetapi pertanyaan tentang perbaikan sebaiknya ditangani oleh pengadilan setelah ada kesempatan untuk mendengar semua bukti," katanya.

Dalam gugatan tersebut, Departemen Kehakiman mengatakan bahwa orang Amerika disakiti oleh tindakan Google. Sistem antipersaingan yang disangkakan, membuat perusahaan itu meroket, sementara bisnis pesaingnya hidup melarat.

"Pada akhirnya, konsumen dan pengiklan yang menderita karena pilihan yang lebih sedikit, inovasi yang lebih sedikit, dan harga iklan yang kurang kompetitif," tulis gugatan tersebut. “Jadi, kami meminta pengadilan untuk memutuskan cengkeraman Google pada distribusi penelusuran sehingga persaingan dan inovasi dapat berlangsung,” jelasnya.

Langkah tersebut merupakan satu dari serangkaian dari upaya yang dilakukan AS untuk melawan dominasi perusahaan teknologi raksasa dan upaya mencari solusi. Negara bagian lain juga meluncurkan penyelidikan dan bergabung dalam gugatan bersama tersebut. (Baca juga: Stres Bisa Pengaruhi Perilaku Makan pada Anak)

Keputusan untuk mengajukan gugatan itu hanya beberapa pekan sebelum pelaksanaan pemilu AS yang menarik perhatian. Itu juga mempertanyakan komitmen pemerintahan Trump untuk membuktikan niat dan tekadnya untuk melawan pengaruh perusahaan raksasa jika kembali berkuasa pada periode kedua.

Namun, para pejabat Departemen Kehakiman tidak tergesa-gesa untuk melakukan penyelidikan sebelum pemilu. Banyak pihak menyebut pemerintah bergerak terlalu lambat menangani isu tersebut. “Kita bertindak berdasarkan hukum dan fakta,” kata deputi Jaksa Agung, Jeffrey Rosen. Dia mengungkapkan, Departemen Kehakiman juga akan mengkaji praktik kompetisi pada sektor teknologi akan terus berlanjut. “Kita bisa kehilangan gelombang inovasi berikutnya dan rakyat AS tidak akan melihat apa yang terjadi setelah Google,” kata Rosen dilansir CNN.

Gugatan terhadap Google setelah Departemen Kehakiman dan Komisi Perdagangan Federal (FTC) AS mulai penyelidikan antimonopoli terhadap empat perusahaan teknologi yakni Amazon.com Inc , Apple, Facebook Inc, dan Google. Empat tahun lalu, FTC mulai melaksanakan penyelidikan terhadap Google karena melakukan pelanggaran dalam mesin pencarian dan memfavoritkan produknya dibandingkan lainnya.

Google Melawan

Google menyebut gugatan itu “sangat cacat”. Mereka menyatakan tetap menjaga sektor industri internet tetap kompetitif dan tetap mengutamakan pelanggan. Google berkilah kalau masyarakat menggunakan Google karena mereka memilihnya, bukan karena mereka dipaksa atau karena tidak menemukan alternatif. “Gugatan Departemen Kehakiman sangat cacat,” kata Kepala Legal dan Hubungan Global Google Kent Walker dalam unggah di blognya.

Google menyatakan, gugatan Departemen Kehakiman AS itu bergantung pada argumen monopoli yang lemah dan tidak akan membantu para pelanggan. “Hal yang kontras, itu akan meningkatkan mesin pencarian alternatif yang lebih rendah kualitasnya, meningkatkan harga ponsel dan membuat orang sulit mencari layanan yang mereka inginkan,” kata Walker. (Baca juga: Wacana kominfo Blokir Medsos Dinilai Rawan Berangus Pendapat Publik)

Google menyatakan, praktik yang dilakukannya untuk membayar pemasangan mesin pencari pada ponsel seperti Apple tidak ada bedanya dengan langkah yang dilakukan perusahaan lain mempromosikan produknya. “Itu sama seperti brand sereal yang membayar supermarket untuk menyimpan produknya di rak yang mudah dilihat konsumen,” tutur Walker.

Pemimpin Alphabet, perusahaan induk Google, Sundar Pichai, pernah memberikan jawaban mengenai kekhawatiran tersebut pada 2018 di Washington. Pada Juli lalu Pichai juga kembali memberikan jawaban kepada Kongres. “Kita melakukan standar yang tinggi (dalam pekerjaan),” kata Pichai.

Di sisi lain, bahkan sejumlah investor tidak terpengaruh berita gugatan tersebut. Buktinya, saham Alphabet justru naik 1,9% menjadi USD1.563,51 pada Selasa lalu. (Lihat videonya: Diduga Depresi, Anggota Polisi Tewas Tembak Dada Sendiri)

Neil Campling, kepala media teknologi dan penelitian telekomunikasi di Mirabaud Securities di London, menyindir pemerintah AS seolah lupa jasa-jasa Google yang telah menginvestasikan miliaran dolar dalam infrastruktur, teknologi, dan bakat. "Ini seperti pepatah mengunci pintu setelah kudanya melesat. Anda tidak bisa begitu saja melepas satu dekade kemajuan yang signifikan," kata Neil.

Pandangan berbeda diungkapkan Sally Hubbard, yang bekerja untuk Open Markets Institute, think tank Washington yang kerap melakukan tindakan agresif terhadap perusahaan teknologi raksasa. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1624 seconds (0.1#10.140)