Mengukur Keterkaitan Bahasa Sansekerta dengan Artificial Intelligence
Jum'at, 30 April 2021 - 18:39 WIB
JAKARTA - Bahasa Sansekerta merupakan bahasa kesusastraan Hindu Kuno yang umurnya sudah lebih dari ribuan tahun. Bahasa sansekerta menjadi pusat perhatian ketika seorang ilmuwan bernama Rick Briggs menerbitkan artikel pada tahun 1985. Mungkinkah menggabungkan bahasa kuno yang kaya akan sejarah intelektual dengan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang dapat mengubah tatanan dunia ?
Agar komputer dapat memahami bahasa manusia, diperlukan representasi yang tidak ambigu. Artinya jika satu kata dalam bahasa natural memiliki beberapa arti, maka menjadi tidak praktis. Dalam kasus seperti itu, mesin dengan teknologi AI tidak akan memahaminya. Rick Briggs memuji struktur tata bahasa Sansekerta yang mendetail dan ilmiah, yang membuatnya cocok untuk teknologi AI. BACA JUGA - Lebih Dahsyat dari Bom Atom, Inggris Ungkap Fakta Baru Soal Virus Bedebah di Wuhan
Namun sayangnya, potensi kekayaan alami yang terkandung dalam budaya aksara dan Bahasa nusantara tidak terpelihara dengan baik dan di manfaatkan semaksimal mungkin di Indonesia.
Menurut Prof. Manu J. Widyaseputra banyak orang Indonesia tidak tahu peradabannya sendiri. Dalam politik bahasa di Indonesia, bahasa daerah hanya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia yang digunakan saat ini bukan berasal bahasa Melayu tingkat tinggi yang dicontohkan oleh para pujangga, melainkan bahasa pasaran.
“Mohon maaf ya, pemerintah tidak pernah memelihara bahasa daerah, sekian banyak orang di Senayan tidak tahu peradabannya sendiri. Padahal, sumber-sumber peradaban tersebut tertuang dalam naskah-naskah yang menggunakan bahasa daerah, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang primitif,” ujar pria yang akrab di sapa Romo Manu pada pertemuan dengan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) di Bintaro, Tangerang, Banten (24/4/2021).
Sebagai seorang Filolog, Romo Manu juga merasa prihatin terhadap teori filologi di Indonesia yang nyaris tidak berkembang. Hal ini disebabkan hampir semua kegiatan filologi di Indonesia sumbernya dari Kota Leiden Belanda, sementara saat ini di Leiden pun teori tersebut sudah tidak berkembang.
“Bagi mereka (para filolog Belanda), filologi itu mencakup empat macam, yaitu paleografi tentang bentuk tulisan, kodikologi tentang bahan naskahnya, tekstologi tentang teksnya, dan menurut Prof. Teeuw kalau ingin mengembangkan filologi harus ditambah teori sastra,” terang Romo Manu.
Romo Manu mengatakan Ketika Prof. Teeuw mengembangkan teori struktural, semua dosen di Indonesia menulis tentang teori struktural. Kemudian pada awal tahun 1980-an, Prof. Teeuw juga memperkenalkan teori resepsi sastra, dan semua yang membuat disertasi mengkaji teori ini. Maka ketika Prof. Teeuw tidak lagi mengajar di Indonesia, perkembangan teori filologi pun berhenti. Kalaupun disebut modern, saat ini mungkin hanya dengan penambahan interprestasi.
Kondisi bahasa Indonesia yang “miskin” berdampak pada hasil penerjemahan naskah kuno yang seakan-akan menjadi bahasa “rusak”. Romo Manu memberi contoh beberapa buku hasil terjemahan naskah kuno ke dalam bahasa Indonesia, makna keberadabannya seakan-akan jadi hilang, mirisnya justru terjemahan dalam bahasa Inggris masih lebih baik.
Agar komputer dapat memahami bahasa manusia, diperlukan representasi yang tidak ambigu. Artinya jika satu kata dalam bahasa natural memiliki beberapa arti, maka menjadi tidak praktis. Dalam kasus seperti itu, mesin dengan teknologi AI tidak akan memahaminya. Rick Briggs memuji struktur tata bahasa Sansekerta yang mendetail dan ilmiah, yang membuatnya cocok untuk teknologi AI. BACA JUGA - Lebih Dahsyat dari Bom Atom, Inggris Ungkap Fakta Baru Soal Virus Bedebah di Wuhan
Namun sayangnya, potensi kekayaan alami yang terkandung dalam budaya aksara dan Bahasa nusantara tidak terpelihara dengan baik dan di manfaatkan semaksimal mungkin di Indonesia.
Menurut Prof. Manu J. Widyaseputra banyak orang Indonesia tidak tahu peradabannya sendiri. Dalam politik bahasa di Indonesia, bahasa daerah hanya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia yang digunakan saat ini bukan berasal bahasa Melayu tingkat tinggi yang dicontohkan oleh para pujangga, melainkan bahasa pasaran.
“Mohon maaf ya, pemerintah tidak pernah memelihara bahasa daerah, sekian banyak orang di Senayan tidak tahu peradabannya sendiri. Padahal, sumber-sumber peradaban tersebut tertuang dalam naskah-naskah yang menggunakan bahasa daerah, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang primitif,” ujar pria yang akrab di sapa Romo Manu pada pertemuan dengan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) di Bintaro, Tangerang, Banten (24/4/2021).
Sebagai seorang Filolog, Romo Manu juga merasa prihatin terhadap teori filologi di Indonesia yang nyaris tidak berkembang. Hal ini disebabkan hampir semua kegiatan filologi di Indonesia sumbernya dari Kota Leiden Belanda, sementara saat ini di Leiden pun teori tersebut sudah tidak berkembang.
“Bagi mereka (para filolog Belanda), filologi itu mencakup empat macam, yaitu paleografi tentang bentuk tulisan, kodikologi tentang bahan naskahnya, tekstologi tentang teksnya, dan menurut Prof. Teeuw kalau ingin mengembangkan filologi harus ditambah teori sastra,” terang Romo Manu.
Romo Manu mengatakan Ketika Prof. Teeuw mengembangkan teori struktural, semua dosen di Indonesia menulis tentang teori struktural. Kemudian pada awal tahun 1980-an, Prof. Teeuw juga memperkenalkan teori resepsi sastra, dan semua yang membuat disertasi mengkaji teori ini. Maka ketika Prof. Teeuw tidak lagi mengajar di Indonesia, perkembangan teori filologi pun berhenti. Kalaupun disebut modern, saat ini mungkin hanya dengan penambahan interprestasi.
Kondisi bahasa Indonesia yang “miskin” berdampak pada hasil penerjemahan naskah kuno yang seakan-akan menjadi bahasa “rusak”. Romo Manu memberi contoh beberapa buku hasil terjemahan naskah kuno ke dalam bahasa Indonesia, makna keberadabannya seakan-akan jadi hilang, mirisnya justru terjemahan dalam bahasa Inggris masih lebih baik.
tulis komentar anda