Riset Buktikan Ada Kesenjangan Konektivitas Perdesaan dan Perkotaan
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan analitik mobile Opensignal menerbitkan laporan yang membandingkan kecepatan jaringan 4G di Indonesia berdasarkan klasifikasi kepadatan penduduk.
Dalam laporan disebutkan adanya kesenjangan konektivitas antara daerah perdesaan berpendudukan jarang dengan daerah perkotaan berpendudukan padat.
OpenSignal menganalisis ketersediaan 4G rata-rata ukuran proporsi waktu yang dihabiskan pengguna yang terhubung ke 4G di seluruh Indonesia menggunakan data sensus dari Badan Pusat Statistik (BPS) guna mengklasifikasikan kabupaten dan kota ke dalam lima kategori berbeda, berdasarkan kepadatan penduduk.
Kategori pertama 1-50 orang per kilometer persegi (km2), kategori kedua 50-100 orang per km2, kategori ketiga 100-300 orang per km2, kategori keempat 300-1.000 orang per km2, dan kategori lebih dari 1.000 orang per km2.
"Kami menemukan bahwa sebanyak 89,7% pengguna kami di daerah berpenduduk padat kategori 5 dapat terhubung ke layanan 4G, di daerah berpenduduk paling jarang atau kategori 1 yang dapat menikmati sinyal 4G hanya 76%, terdapat selisih 13 poin persentase,” ujat peneliti OpenSignal, Hardik Khatri, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (15/11/2019)
Adapun ketika OpenSignal memeriksa waktu yang dihabiskan pengguna yang terhubung ke semua jaringan data seluler (layanan 3G dan 4G), perbedaan ini berkurang. Untuk daerah dengan kepadatan penduduk rendah ketersediaan 3G/4G persentasenya naik 10 poin menjadi 86%. Sedangkan untuk daerah dengan penduduk padat meningkat menjadi 96,3%.
Hardik mengatakan, untuk menutup celah ini, tidak hanya bergantung pada peralatan teknis yang dibangun oleh operator. Namun juga kondisi ekonomi.
Lebih lanjut dikatakan, daerah padat penduduk memiliki jaringan yang lebih bagus karena menguntungkan secara komsersial bagi operator. "Kami melihat tren yang sama dalam analisis terbaru kami terhadap negara tetangga Indonesia," imbuhnya.
Kesenjangan digital perkotaan-pedesaan dalam ketersediaan 4G melebar hingga 14 poin persentase di Filipina. Lalu meningkat lebih dari tiga kali lipat mencapai 40 poin di Malaysia.
Demikian juga, kesenjangan dalam ketersediaan 3G atau 4G mendekati lebih dari dua kali lipat di kedua negara, menempatkan pengguna di Indonesia pada posisi yang lebih kuat. "Dalam beberapa tahun terakhir, kami telah melihat beberapa peningkatan penting dalam pengalaman jaringan seluler pengguna kami di seluruh Indonesia seiring perkembangannya menjadi ekonomi digital," tuturnya.
Dengan siklus hidup 3G yang mencapai kematangan dan 4G menjadi teknologi yang lebih dominan bagi pengguna smartphone, 95% populasi sekarang menggunakan ponsel untuk mengakses internet. Sebagian besar didorong oleh investasi jaringan yang strategis dan refarming spektrum (800 MHz dan 900 MHz) untuk mengurangi kesenjangan yang di daerah pedesaan, didukung oleh strategi spektrum dan kebijakan investasi dari pemerintah.
Dalam laporan disebutkan adanya kesenjangan konektivitas antara daerah perdesaan berpendudukan jarang dengan daerah perkotaan berpendudukan padat.
OpenSignal menganalisis ketersediaan 4G rata-rata ukuran proporsi waktu yang dihabiskan pengguna yang terhubung ke 4G di seluruh Indonesia menggunakan data sensus dari Badan Pusat Statistik (BPS) guna mengklasifikasikan kabupaten dan kota ke dalam lima kategori berbeda, berdasarkan kepadatan penduduk.
Kategori pertama 1-50 orang per kilometer persegi (km2), kategori kedua 50-100 orang per km2, kategori ketiga 100-300 orang per km2, kategori keempat 300-1.000 orang per km2, dan kategori lebih dari 1.000 orang per km2.
"Kami menemukan bahwa sebanyak 89,7% pengguna kami di daerah berpenduduk padat kategori 5 dapat terhubung ke layanan 4G, di daerah berpenduduk paling jarang atau kategori 1 yang dapat menikmati sinyal 4G hanya 76%, terdapat selisih 13 poin persentase,” ujat peneliti OpenSignal, Hardik Khatri, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (15/11/2019)
Adapun ketika OpenSignal memeriksa waktu yang dihabiskan pengguna yang terhubung ke semua jaringan data seluler (layanan 3G dan 4G), perbedaan ini berkurang. Untuk daerah dengan kepadatan penduduk rendah ketersediaan 3G/4G persentasenya naik 10 poin menjadi 86%. Sedangkan untuk daerah dengan penduduk padat meningkat menjadi 96,3%.
Hardik mengatakan, untuk menutup celah ini, tidak hanya bergantung pada peralatan teknis yang dibangun oleh operator. Namun juga kondisi ekonomi.
Lebih lanjut dikatakan, daerah padat penduduk memiliki jaringan yang lebih bagus karena menguntungkan secara komsersial bagi operator. "Kami melihat tren yang sama dalam analisis terbaru kami terhadap negara tetangga Indonesia," imbuhnya.
Kesenjangan digital perkotaan-pedesaan dalam ketersediaan 4G melebar hingga 14 poin persentase di Filipina. Lalu meningkat lebih dari tiga kali lipat mencapai 40 poin di Malaysia.
Demikian juga, kesenjangan dalam ketersediaan 3G atau 4G mendekati lebih dari dua kali lipat di kedua negara, menempatkan pengguna di Indonesia pada posisi yang lebih kuat. "Dalam beberapa tahun terakhir, kami telah melihat beberapa peningkatan penting dalam pengalaman jaringan seluler pengguna kami di seluruh Indonesia seiring perkembangannya menjadi ekonomi digital," tuturnya.
Dengan siklus hidup 3G yang mencapai kematangan dan 4G menjadi teknologi yang lebih dominan bagi pengguna smartphone, 95% populasi sekarang menggunakan ponsel untuk mengakses internet. Sebagian besar didorong oleh investasi jaringan yang strategis dan refarming spektrum (800 MHz dan 900 MHz) untuk mengurangi kesenjangan yang di daerah pedesaan, didukung oleh strategi spektrum dan kebijakan investasi dari pemerintah.
(mim)