Bos Telegram Sebut Pemerintah China Dalang Serangan DDoS
A
A
A
BEIJING - Bos Telegram Pavel Durov, menuding pemerintah Cina ada di baik serangan distributed denial of service (DDoS) kepada platformnya baru-baru ini.
Tuduhan itu Durov lontarkan melalui Twitter, ia menyebut serangan DDoS itu berasal dari alamt IP yang berlokasi di China.
Ia juga mencatat serangan DDoS bertepatan dengan aksi unjuk rasa besar-besaran di Hong Kong yang memprotes Rancangan Undang-undang (RUU) ekstradisi di negara Tirai Bambu itu.
Dilansir dari The Verge, Sabtu (15/6/2019), melalui akun Twitter resminya, Telegram menyebut layanannya itu diserang oleh 'gadzillions of garbage request,' yang mayoritas alamat IP berlokasi di China.
Serangan itu merupakan bagian dari serangan DDoS yang akhirnya mematikan layanan Telegram yang kemudian tak bisa melayani penggunanya.
Disinyalir, Telegram dijadikan media pengiriman pesan terenkripsi yang digunakan oleh para pendemo untuk merencanakan demo tersebut agar tak terdeteksi oleh pihak berwajib.
Serangan DDos itu pun menimbulkan pertanyaan tentang apakah pemerintah China berusaha untuk mengganggu layanan pesan terenkripsi dan membatasi efektivitasnya sebagai alat pengorganisasian bagi ratusan ribu demonstran yang mengambil bagian dalam protes.
Selain itu, laporan dari Bloomberg yang menyebut kalau layanan pengiriman pesan terenkripsi seperti Telegram dan Firechat tengah trending di App Store Apple di Hong Kong.
Para pendemo di Hong Kong juga menutupi wajahnya agar tak terdeteksi oleh sistem pengenalan wajah, juga menghindari penggunaan kartu transportasi publik, yang bisa merekam lokasi si penggunanya.
Tuduhan itu Durov lontarkan melalui Twitter, ia menyebut serangan DDoS itu berasal dari alamt IP yang berlokasi di China.
Ia juga mencatat serangan DDoS bertepatan dengan aksi unjuk rasa besar-besaran di Hong Kong yang memprotes Rancangan Undang-undang (RUU) ekstradisi di negara Tirai Bambu itu.
Dilansir dari The Verge, Sabtu (15/6/2019), melalui akun Twitter resminya, Telegram menyebut layanannya itu diserang oleh 'gadzillions of garbage request,' yang mayoritas alamat IP berlokasi di China.
Serangan itu merupakan bagian dari serangan DDoS yang akhirnya mematikan layanan Telegram yang kemudian tak bisa melayani penggunanya.
Disinyalir, Telegram dijadikan media pengiriman pesan terenkripsi yang digunakan oleh para pendemo untuk merencanakan demo tersebut agar tak terdeteksi oleh pihak berwajib.
Serangan DDos itu pun menimbulkan pertanyaan tentang apakah pemerintah China berusaha untuk mengganggu layanan pesan terenkripsi dan membatasi efektivitasnya sebagai alat pengorganisasian bagi ratusan ribu demonstran yang mengambil bagian dalam protes.
Selain itu, laporan dari Bloomberg yang menyebut kalau layanan pengiriman pesan terenkripsi seperti Telegram dan Firechat tengah trending di App Store Apple di Hong Kong.
Para pendemo di Hong Kong juga menutupi wajahnya agar tak terdeteksi oleh sistem pengenalan wajah, juga menghindari penggunaan kartu transportasi publik, yang bisa merekam lokasi si penggunanya.
(wbs)