Pembatasan Media Sosial Efektif Cegah Penyebaran Hoaks
A
A
A
JAKARTA - Pembatasan media sosial setelah kerusuhan 21-22 Mei lalu dianggap efektif menekan penyebaran hoaks. Langkah ini juga mencegah eskalasi kerusuhan agar tidak meluas. “Pembatasan media sosial cukup efektif, penyebaran hoaks jauh berkurang. Meskipun sebagian netizen mengakali dengan menggunakan VPN maupun software lain, bisa dipastikan penyebaran hoaks tidak semasif sebelum adanya pembatasan,” ujar pakar teknologi informasi Ruby Alamsyah di Jakarta kemarin.Ruby mengatakan, peningkatan penyebaran hoaks di Tanah Air selama ini memang linier dengan maraknya pemakaian media sosial di kalangan masyarakat. Dengan pembatasan media sosial, otomatis lalu lintas penyebaran hoaks juga pasti terpengaruh. “Pemilihan waktu pembatasan media sosial juga tepat di mana ada kerusuhan saat aksi dugaan kecurangan pemilu di Bawaslu,” katanya.
Pengamat keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan, dalam mengatasi penyebaran hoaks, tingkatkan literasi digital. Hal itu sesuai dengan amanat UU ITE untuk meningkatkan literasi, kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas masyarakat akan komunikasi digital.
Ia pun menyarankan agar pemerintah mengundang influencer untuk mengedukasi warganet. Dengan catatan edukasi ini tanpa menyinggung berbagai kelompok yang memiliki perbedaan preferensi politik. “Pasca pembatasan internet ini, sebaiknya pemerintah melakukan upaya edukasi dan peningkatan literasi digital masyarakat. Pemerintah perlu melakukan edukasi bagi semua elemen. Baik masyarakat, pengambil kebijakan dan sektor usaha,” katanya.
Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju. Dia mengatakan, pembatasan ini bertentangan dengan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi masyarakat. Pembatasan media sosial dan aplikasi messaging telah menghambat komunikasi masyarakat.
“Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial dan aplikasi messaging dinilai telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui aplikasi Whatsapp dan Line,” ungkapnya. Kendati demikian dia menyadari langkah pembatasan media sosial saat kerusuhan gerakan 22 Mei.
Menurutnya negara mempunyai hak untuk membatasi hak asasi manusia di kondisi-kondisi tertentu. Berdasarkan Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 memberika kewenangan kepada negara melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat.
“Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar atau dari dalam negeri. Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat,” katanya.
Anggara mengatakan, ICJR merekomendasikan agar pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging mempunyai koridor yang jelas. Batasan-batasan tersebut agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi.
“Apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui keputusan Presiden,” katanya.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan pembatasan akses media sosial efektif untuk mencegah penyebaran hoaks. Pasalnya, dari catatan Kominfo, setiap hari hoaks yang muncul di media sosial bisa 20 berita setiap harinya.
“Setelah pembatasan menjadi 9 hoaks pada saat 22 Mei 2019, kemudian hari berikutnya pada 23 Mei 2019 hanya ditemukan 6 hoaks. Jadi ini berdampak baik dari menggunakan pembatasan ini. Meskipun masih ada, tetapi berkurang,” ungkapnya.
Pengamat keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan, dalam mengatasi penyebaran hoaks, tingkatkan literasi digital. Hal itu sesuai dengan amanat UU ITE untuk meningkatkan literasi, kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas masyarakat akan komunikasi digital.
Ia pun menyarankan agar pemerintah mengundang influencer untuk mengedukasi warganet. Dengan catatan edukasi ini tanpa menyinggung berbagai kelompok yang memiliki perbedaan preferensi politik. “Pasca pembatasan internet ini, sebaiknya pemerintah melakukan upaya edukasi dan peningkatan literasi digital masyarakat. Pemerintah perlu melakukan edukasi bagi semua elemen. Baik masyarakat, pengambil kebijakan dan sektor usaha,” katanya.
Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju. Dia mengatakan, pembatasan ini bertentangan dengan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi masyarakat. Pembatasan media sosial dan aplikasi messaging telah menghambat komunikasi masyarakat.
“Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial dan aplikasi messaging dinilai telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui aplikasi Whatsapp dan Line,” ungkapnya. Kendati demikian dia menyadari langkah pembatasan media sosial saat kerusuhan gerakan 22 Mei.
Menurutnya negara mempunyai hak untuk membatasi hak asasi manusia di kondisi-kondisi tertentu. Berdasarkan Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 memberika kewenangan kepada negara melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat.
“Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar atau dari dalam negeri. Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat,” katanya.
Anggara mengatakan, ICJR merekomendasikan agar pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging mempunyai koridor yang jelas. Batasan-batasan tersebut agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi.
“Apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui keputusan Presiden,” katanya.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan pembatasan akses media sosial efektif untuk mencegah penyebaran hoaks. Pasalnya, dari catatan Kominfo, setiap hari hoaks yang muncul di media sosial bisa 20 berita setiap harinya.
“Setelah pembatasan menjadi 9 hoaks pada saat 22 Mei 2019, kemudian hari berikutnya pada 23 Mei 2019 hanya ditemukan 6 hoaks. Jadi ini berdampak baik dari menggunakan pembatasan ini. Meskipun masih ada, tetapi berkurang,” ungkapnya.
(don)