Efisiensi di Industri TIK Tak Bisa Dihindari

Senin, 14 Agustus 2017 - 15:37 WIB
Efisiensi di Industri TIK Tak Bisa Dihindari
Efisiensi di Industri TIK Tak Bisa Dihindari
A A A
JAKARTA - Tren efisiensi dan konsolidasi di industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dinilai akan memicu pengurangan jumlah tenaga kerja. Hal terebut menjadi konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari akibat berubahnya skema bisnis.

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, melihat pengurangan tenaga kerja tidak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan. "Ibaratnya, kapal yang tadinya dua, sekarang tinggal satu. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya, Jakarta, Senin (14/8/2017).

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara pernah mengisyaratkan terjadinya konsolidasi antar operator telekomunikasi. Hal tersebut kemudian berkembang ke arah pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai konsekuensi dari konsolidasi dan efisiensi di kalangan operator telekomunikasi.

Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal. Sebab, biasanya ada dua situasi yang akan dihadapi. Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.

Dalam situasi tersebut, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal sembilan bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain. "Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal sembilan bulan dikalikan dua, ditambah tunjangan lain," terangnya.

Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, menurut dia, perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.

Contohnya Microsoft, perusahaan raksasa itu melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 4% karyawan atau sekitar 4 ribu orang. Indonesia juga mengakomodasi hal tersebut, tapi tetap dengan memperhitungkan kelayakan bagi karyawan yang akan dirumahkan.

"Sangat boleh dilakukan (PHK), Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengatur itu," kata Hadi.

Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys juga memiliki penilaian serupa. Menurutnya, efisiensi di industri TIK tidak bisa dihindari. Pasalnya, efisiensi merupakan suatu tuntutan yang terjadi dalam proses bisnis yang terus berulang.

"Efisiensi di bisnis telekomunikasi merupakan proses bisnis yang berulang dan suatu tuntutan yang tak bisa dihindari," ujar Merza.

Pernyataan Merza tersebut mengomentari tren di industri teknologi informasi global yang cenderung mengurangi jumlah pekerja digantikan teknologi yang makin canggih serta pergeseran preferensi konsumen yang kian dinamis.

"Ibaratnya kalau nafasnya berat, sudah saatnya cari tempelan dengan nafas yang masih panjang. Kalau tidak, ya diambil alih oleh mereka yang nafasnya masing panjang," katanya.

Terkait isu tentang adanya efisiensi yang mengarah pada PHK di industri TIK, Merza menyerahkan keputusan tersebut pada perusahaan. "Kalau itu (keputusan) masing-masing perusahaan," ucapnya.

Praktisi industri TIK Hermawan Sutanto menilai efisiensi yang berujung pada PHK di industri TIK bisa dimaklumi, sebab pada dasarnya ranah usaha menuntut perubahan berkelanjutan. Imbasnya terkadang menimpa tenaga kerja.

"Industri teknologi adalah industri paling dinamis dengan banyak perubahan yang terjadi secara kontinue. Pelakunya juga harus mampu bergerak dinamis mengikuti tren perubahan teknologi," terang Hermawan.

Menurutnya, efisiensi merupakan cara tersendiri dari pelaku industri, terutama untuk berinvestasi di bidang yang lebih sesuai dengan prediksi di masa depan. Ada tren yang berubah dan waktu perubahannya tak menentu di industri TIK.

Namun, menurut dia, kebijakan efisiensi dan PHK tak akan berlaku umum. Sebab, ada bidang lain yang diisi dari keputusan untuk memecat tenaga kerja. Buktinya, perusahaan teknologi yang bertahan tetap membuka lapangan pekerjaan baru.

Mereka fokus mengisi ruang untuk tren yang menjanjikan di masa mendatang. Misalnya, yang saat ini digandrungi yakni bisnis server cloud, maka industri berlomba mencari tenaga kerja yang kompeten mengembangkan bisnis ini.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9500 seconds (0.1#10.140)
pixels