Uji Publik Revisi PP Telekomunikasi Idealnya Sebulan
A
A
A
JAKARTA - Uji publik revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tentang Telekomunikasi dan PP No. 53 tentang Spektrum, Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang berakhir pada 20 November 2016 silam memicu sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya karena waktu yang terlalu singkat.
”Idealnya, proses tersebut dilakukan dalam kurun waktu 30 hari,” beber Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi pada SINDOnews.
Ridwan menilai, sejumlah pasal di revisi PP 52/53 memang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat. Misalnya, kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.
Namun, tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 berpotensi merusak industri telekomunikasi. Salah satunya, diwajibkannya berbagi jaringan atau network sharing antar penyelenggara jaringan telekomunikasi, menurutnya berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.
Ridwan beranggapan, jika network sharing diwajibkan bagi operator telekomunikasi yang telah membangun jaringan, kapasitas yang mereka miliki dipastikan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh operator lain.
Padahal ketika sewa menyewa jaringan, ada perjanjian kualitas layanan yang harus dijaga. Sehingga network sharing ini akan berpotensi buruk kepada operator yang memiliki jaringan atau menyewakan jaringan.
Komisaris Ombudsman, Alamsyah Saragih, juga menilai proses revisi kedua PP tidak sejalan dengan UU No.12 tahun 2011 tentang Tata Cara Perumusan Perundang-undangan yang harus melibatkan masyarakat dalam memberi masukan, baik lisan dan tulisan.
"Enam hari terlalu singkat karena semua masukan harus dipaparkan. Prosesnya belum memenuhi tahap transparansi publikasi, karena tidak ada jaminan masukan publik dikompilasi dan publikasi,” beber Alamsyah.
Ia menilai, Kominfo terkesan buru-buru dan memaksakan revisi PP itu untuk diresmikan. Alamsyah menyarankan, seharusnya sebelum menerbitkan PP baru, Kemenkominfo bisa merevisi UU tersebut terlebih dulu. "Seharusnya UU diperbaiki, revisi PP, lalu konsultasi publik. Alangkah baiknya revisi PP ini ditunda dulu," ujar dia
”Idealnya, proses tersebut dilakukan dalam kurun waktu 30 hari,” beber Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi pada SINDOnews.
Ridwan menilai, sejumlah pasal di revisi PP 52/53 memang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat. Misalnya, kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.
Namun, tidak sedikit pasal di revisi PP 52/53 berpotensi merusak industri telekomunikasi. Salah satunya, diwajibkannya berbagi jaringan atau network sharing antar penyelenggara jaringan telekomunikasi, menurutnya berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.
Ridwan beranggapan, jika network sharing diwajibkan bagi operator telekomunikasi yang telah membangun jaringan, kapasitas yang mereka miliki dipastikan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh operator lain.
Padahal ketika sewa menyewa jaringan, ada perjanjian kualitas layanan yang harus dijaga. Sehingga network sharing ini akan berpotensi buruk kepada operator yang memiliki jaringan atau menyewakan jaringan.
Komisaris Ombudsman, Alamsyah Saragih, juga menilai proses revisi kedua PP tidak sejalan dengan UU No.12 tahun 2011 tentang Tata Cara Perumusan Perundang-undangan yang harus melibatkan masyarakat dalam memberi masukan, baik lisan dan tulisan.
"Enam hari terlalu singkat karena semua masukan harus dipaparkan. Prosesnya belum memenuhi tahap transparansi publikasi, karena tidak ada jaminan masukan publik dikompilasi dan publikasi,” beber Alamsyah.
Ia menilai, Kominfo terkesan buru-buru dan memaksakan revisi PP itu untuk diresmikan. Alamsyah menyarankan, seharusnya sebelum menerbitkan PP baru, Kemenkominfo bisa merevisi UU tersebut terlebih dulu. "Seharusnya UU diperbaiki, revisi PP, lalu konsultasi publik. Alangkah baiknya revisi PP ini ditunda dulu," ujar dia
(dol)