Pemerintah Bentuk Tim untuk Kaji Pasal Karet UU ITE

Senin, 22 Februari 2021 - 19:45 WIB
loading...
Pemerintah Bentuk Tim...
Beberapa pasal dalam UU ITE dinilai multi-tafsir atau pasal karet sehingga dianggap perlu dibuat pedoman untuk menggunakannnya. Foto/Kominfo
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menyatakan pemerintah akan mengkaji ulang Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) . Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika , serta Kementerian Hukum dan HAM, membentuk tim pengkajian.

Beberapa pasal dalam UU ITE dinilai multitafsir atau pasal karet. Berkaitan dengan arahan Presiden, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate (Menkominfo), menegaskan, Kementerian Kominfo akan menangani kajian dan pedoman pelaksanaan UU ITE. Khususnya pada pasal krusial seperti Pasal 27, 28, dan Pasal 29 UU ITE.

Menurut Johnny, pedoman pelaksanaan UU ITE yang dibuat dinilai sebagai acuan bagi aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti UU ITE. Khususnya apabila disengketakan atau terjadi sengketa yang berkaitan dengan regulasi tersebut.

“Baik itu oleh Kepolisian, Kejaksaan, atau lembaga-lembaga lainnya di ruang fisik, dan tentunya oleh Kominfo dalam menjaga ruang digital,” jelasnya, dalam keterangan resminya, seusai rapat Pengarahan Kepada Tim Kajian Teknis UU ITE, bersama Menkopolhukam di Ruang Nakula Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (22/02/2021).

Dalam Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE, terdapat Tim Pelaksana yang diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkopolhukam, Sugeng Purnomo; Sub Tim I dari Kementerian Kominfo dipimpin Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Kominfo, Henri Subiakto; dan Widodo Ekatjahjana, Ketua Sub Tim II Kemenkumham.

Mengenai adanya keberatan tentang pasal dalam UU ITE yang dianggap krusial, multitafsir, Johnny menegaskan hal itu telah diajukan pihak yang berkeberatan ke Mahkamah Konstitusi melalui judicial review.

"Kurang lebih sebanyak 10 kali (judicial review) dan mendapatkan penolakan. Namun demi manfaat untuk kehidupan bermasyarakat dan kehidupan sosial, maka terbuka selalu kemungkinan dalam rangka menambah, mengurangi, mengubah untuk penyempurnaan undang-undang itu sendiri,” tandasnya.
(iqb)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2385 seconds (0.1#10.140)