Waspada Kejahatan Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada masa pandemi teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk tetap bisa produktif. Menopang bisnis masyarakat agar tetap bisa berjalan.
Aktivitas semua dilakukan menggunakan teknologi. Perpindahan menuju digitalisasi ini otomatis menambah tingkat ketergantungan terhadap platform digital semakin tinggi. Maka dibutuhkan platform digital yang aman untuk masyarakat. (Baca: Muslimah, Ini Pentingnya Menyempurnakan Wudhu)
Namun yang terjadi justru semakin banyak kejahatan digital muncul sampai menimbulkan kerugian hingga Rp400 triliun menurut data Frost & Sullivan yang diprakarsai Microsoft.
Pakar teknologi informasi Tony Seno Hartono menjelaskan, kejahatan digital bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Seperti mengeksploitasi kelemahan komputer jaringan, aplikasi, dan server. Namun kecanggihan teknologi sekarang seperti artificial intelligence (AI), cloud computing membuat eksploitasi secara infrastruktur teknologi menjadi sangat sulit sehingga digunakan rekayasa sosial.
Cara klasik itu nyatanya masih menempati peringkat pertama, yakni 15% kejahatan digital, seperti yang dilaporkan ISACA, State of Cybersecurity 2020.
Kejahatan digital dengan rekayasa sosial seperti phising (penipuan untuk mendapatkan data pribadi), phone scams (scam kartu telepon), smashing (mengabarkan berita bohong), personation dan pretexting (menipu menggunakan nama besar seseorang dan perusahaan dengan cara yang beragam) semakin marak.
"Eksploitasi dari sisi manusia sekarang menjadi lebih mudah daripada mengeksploitasi dari sisi digital. Karena memang ada ilmunya untuk memanipulasi orang sehingga kini bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tapi kesadaran masyarakat juga amat penting," jelas Tony.
Memanipulasi agar pengguna platform digital memberikan informasi rahasia seperti password, PIN rekening, nama ibu kandung juga menjadi modus para pelaku kejahatan. Caranya bermacam-macam, misalnya membuat website atau portal online, bahkan aplikasi palsu juga dibuat dengan iming-iming tertentu. Misalnya aplikasi yang dapat mengubah wajah lebih cantik. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak valuasi Pola Pengamanan Unras)
Setelah aplikasi itu di-install, malware itu akan masuk dalam perangkat dan kemudian sudah dapat menguasai data pengguna serta bisa langsung mengeksploitasi orangnya. Aplikasi ini seolah dibuat baik, itu yang menjadi kelemahan manusia.
Aktivitas semua dilakukan menggunakan teknologi. Perpindahan menuju digitalisasi ini otomatis menambah tingkat ketergantungan terhadap platform digital semakin tinggi. Maka dibutuhkan platform digital yang aman untuk masyarakat. (Baca: Muslimah, Ini Pentingnya Menyempurnakan Wudhu)
Namun yang terjadi justru semakin banyak kejahatan digital muncul sampai menimbulkan kerugian hingga Rp400 triliun menurut data Frost & Sullivan yang diprakarsai Microsoft.
Pakar teknologi informasi Tony Seno Hartono menjelaskan, kejahatan digital bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Seperti mengeksploitasi kelemahan komputer jaringan, aplikasi, dan server. Namun kecanggihan teknologi sekarang seperti artificial intelligence (AI), cloud computing membuat eksploitasi secara infrastruktur teknologi menjadi sangat sulit sehingga digunakan rekayasa sosial.
Cara klasik itu nyatanya masih menempati peringkat pertama, yakni 15% kejahatan digital, seperti yang dilaporkan ISACA, State of Cybersecurity 2020.
Kejahatan digital dengan rekayasa sosial seperti phising (penipuan untuk mendapatkan data pribadi), phone scams (scam kartu telepon), smashing (mengabarkan berita bohong), personation dan pretexting (menipu menggunakan nama besar seseorang dan perusahaan dengan cara yang beragam) semakin marak.
"Eksploitasi dari sisi manusia sekarang menjadi lebih mudah daripada mengeksploitasi dari sisi digital. Karena memang ada ilmunya untuk memanipulasi orang sehingga kini bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tapi kesadaran masyarakat juga amat penting," jelas Tony.
Memanipulasi agar pengguna platform digital memberikan informasi rahasia seperti password, PIN rekening, nama ibu kandung juga menjadi modus para pelaku kejahatan. Caranya bermacam-macam, misalnya membuat website atau portal online, bahkan aplikasi palsu juga dibuat dengan iming-iming tertentu. Misalnya aplikasi yang dapat mengubah wajah lebih cantik. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak valuasi Pola Pengamanan Unras)
Setelah aplikasi itu di-install, malware itu akan masuk dalam perangkat dan kemudian sudah dapat menguasai data pengguna serta bisa langsung mengeksploitasi orangnya. Aplikasi ini seolah dibuat baik, itu yang menjadi kelemahan manusia.