OTT Perlu Diatur UU Penyiaran Demi Kelangsungan Ekonomi Digital Indonesia

Kamis, 01 Oktober 2020 - 23:49 WIB
loading...
OTT Perlu Diatur UU Penyiaran Demi Kelangsungan Ekonomi Digital Indonesia
Pengajuan uji materi UU Penyiaran ke MK dinilai merupakan langkah untuk mendapatkan artikulasi konstitusional yang dapat menjadi norma konvergensi (convergence norm). Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Dunia semakin terbuka dengan teknologi internet , tapi keberadaannya harus tetap diatur. Tanpa pengaturan, bakal ada penjajahan model baru yakni "kolonialisme digital". Uni Eropa pun memberikan aturan tegas tentang platform yang berjalan di atas jaringan internet agar tak mematikan industri di kawasan.

Pakar kebijakan dan legislasi teknologi informasi, Danrivanto, Budhijanto, pun memperingatkan adanya potensi kolonialisme digital. Over-the-Top (OTT) bisa yang memanfaatkan celah hukum yang mengatur dunia digital di Tanah Air. (Baca juga: Biar Jago Mainnya, Nih Enam Tips saat Jadi Impostor di Among Us )

Karena itu, negara harus benar-benar hadir dalam rangka melindungi segenap tumpah darah Indonesia. "Saya berharap bentuk ekonomi digital yang sudah terbentuk sejak lima tahun lalu dan kita rasakan sekarang manfaatnya ini, kemudian (jangan sampai) diambil oleh global tech dunia. Karena dia tahu, di Indonesia belum memiliki convergence norms terhadap penyiaran berbasis teknologi Internet," kata Danrivanto.

Pernyataan itu disampaikan Danrivanto saat hadir sebagai saksi ahli dari Pemohon, RCTI dan iNews, dalam persidangan virtual uji materi (judicial review/JR) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) di Mahkamah Konstitusi, Kamis (1/10/2020).

Dia mencontohkan, layanan streaming Netflix, saat ini sudah melakukan pembayaran melalui digital currency. Di sinilah, tanpa disadari telah terjadi manipulasi digital.

Tanpa disadari pula, setiap transaksi yang dilakukan di Indonesia, pada kenyataanya aktivitas tersebut diproses di negara lain. Mereka mengeksploitasi data masyarakat Indonesia.

"Kemudian data itu dijadikan sebagai nilai di perusahaan mereka, sehingga nilai investasinya begitu banyak dan sangat menarik investor," katanya.

Amerika Serikat, kata Danrivanto, bisa menjadi contoh ketegasan dalam menindak perusahaan-perusahaan asing yang 'nakal'. Karena, aturan di negara tersebut menyebutkan ketika terjadi persoalan hukum, korporasinya harus bisa dibawa ke pengadilan.

"Contohnya, TikTok, itu bukan semata-mata hanya perusahaan konten, tapi Amerika mengatakan kamu adalah platform asing. Kamu kalau mau masuk ke Amerika, pemegang saham, pengendalinya, harus berbadan hukum Amerika," tegas Danrivanto.

Dalam kasus ini, secara jelas ditunjukkan adanya kedaulatan virtual. Hal itu juga ditunjukkan Singapura. Begitu tahu potensi dari kedaulatan virtual, negara tersebut buru-buru membuat aturannya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4432 seconds (0.1#10.140)