Pakai Teknologi Seluler, Navigasi Drone Rusia Makin Lincah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rusia melengkapi drone Shahed-136 dengan kartu SIM dan antena agar sistem navigasinya makin lincah. Adaptasi ini, pertama kali diamati pada akhir 2023. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan navigasi dan serangan. Begitu pula rival Rusia, Ukraina pun telah menggunakan teknologi seluler dalam peperangan.
Jack Watling, peneliti senior dan ahli perang darat di Royal United Services Institute yang berbasis di Inggris menyoroti Rusia yang menempatkan kartu SIM di drone Shahed-136 plus bahan peledak dan memasang antena di sayapnya. "Drone ini digunakan dengan dua cara," tulis Watling dilansir Business Insider, Sabtu(14/9/2024).
Tentu saja ada risiko dan peluang yang muncul dalam penggunaan ponsel di medan perang. Pertama, kendaraan tanpa awak (UAV) atau drone menggunakan jaringan untuk membantu navigasi dengan triangulasi dari sinyal menara ponsel. Lalu, Rusia mengirimkan data telemetri dari UAV melalui jaringan ponsel untuk membantu merencanakan serangan lanjutan.
Shahed-136 termasuk jenis drone serangan satu arah buatan Iran yang telah digunakan Rusia selama dua tahun untuk menyerang infrastruktur sipil dan fasilitas energi di Ukraina. Drone ini memiliki jangkauan lebih dari 956 kilometer dan membawa hulu ledak hampir 50 kilogram.
Drone ini relatif murah dibandingkan dengan senjata Rusia lainnya seperti rudal balistik atau jelajah dan dapat diluncurkan dalam kelompok besar untuk membanjiri pertahanan udara Ukraina. Rusia juga memproduksi versi lokal dari Shahed yang disebut Geran-2.
Namun, penggunaan jaringan seluler oleh Rusia di Ukraina tidak sepenuhnya menguntungkan. Ada juga kerentanannya. "Tentu saja, ada sesuatu yang mencurigakan tentang ponsel yang bergerak dengan kecepatan 350 km/jam, sehingga perilaku ini dapat dilacak, dan mungkin untuk mematikan SIM yang diidentifikasi digunakan untuk tujuan jahat semacam itu," kata Watling.
Rusia tampaknya menggunakan kartu SIM untuk membantu mengarahkan dan mengendalikan drone Shahed sejak akhir 2023, ketika Ukraina menemukan modem 4G yang terhubung ke jaringan telekomunikasi Kyivstar di drone yang telah ditembak jatuh.
Ponsel dan teknologi terkait telah memainkan peran di kedua belah pihak dalam perang, terutama menggunakan sinyal musuh untuk membantu dalam penargetan dan serangan mereka. Data seluler, misalnya, dapat digunakan untuk menentukan lokasi berkumpulnya pasukan besar, yang membuat mereka rentan terhadap serangan.
Beberapa kali pihak militer mencoba mengendalikan perilaku ini. Para perwira Angkatan Darat AS juga telah memperingatkan pasukannya bahwa membawa perangkat pribadi ke pertempuran masa depan dapat memiliki konsekuensi serius.
Namun, Watling berpendapat militer seharusnya tidak hanya melihat ponsel sebagai ancaman. "Prajurit harus merencanakan untuk memanfaatkan keuntungan dari jaringan ini dan mendapatkan informasi yang memadai tentang risiko yang terkait serta mitigasi yang menyertainya," katanya.
"Jika digunakan dengan benar, jaringan ponsel dapat membantu militer bersembunyi di antara lalu lintas data, mendistribusikan data penting, dan menghindari konflik dengan otoritas sipil."
Jack Watling, peneliti senior dan ahli perang darat di Royal United Services Institute yang berbasis di Inggris menyoroti Rusia yang menempatkan kartu SIM di drone Shahed-136 plus bahan peledak dan memasang antena di sayapnya. "Drone ini digunakan dengan dua cara," tulis Watling dilansir Business Insider, Sabtu(14/9/2024).
Tentu saja ada risiko dan peluang yang muncul dalam penggunaan ponsel di medan perang. Pertama, kendaraan tanpa awak (UAV) atau drone menggunakan jaringan untuk membantu navigasi dengan triangulasi dari sinyal menara ponsel. Lalu, Rusia mengirimkan data telemetri dari UAV melalui jaringan ponsel untuk membantu merencanakan serangan lanjutan.
Shahed-136 termasuk jenis drone serangan satu arah buatan Iran yang telah digunakan Rusia selama dua tahun untuk menyerang infrastruktur sipil dan fasilitas energi di Ukraina. Drone ini memiliki jangkauan lebih dari 956 kilometer dan membawa hulu ledak hampir 50 kilogram.
Drone ini relatif murah dibandingkan dengan senjata Rusia lainnya seperti rudal balistik atau jelajah dan dapat diluncurkan dalam kelompok besar untuk membanjiri pertahanan udara Ukraina. Rusia juga memproduksi versi lokal dari Shahed yang disebut Geran-2.
Namun, penggunaan jaringan seluler oleh Rusia di Ukraina tidak sepenuhnya menguntungkan. Ada juga kerentanannya. "Tentu saja, ada sesuatu yang mencurigakan tentang ponsel yang bergerak dengan kecepatan 350 km/jam, sehingga perilaku ini dapat dilacak, dan mungkin untuk mematikan SIM yang diidentifikasi digunakan untuk tujuan jahat semacam itu," kata Watling.
Rusia tampaknya menggunakan kartu SIM untuk membantu mengarahkan dan mengendalikan drone Shahed sejak akhir 2023, ketika Ukraina menemukan modem 4G yang terhubung ke jaringan telekomunikasi Kyivstar di drone yang telah ditembak jatuh.
Ponsel dan teknologi terkait telah memainkan peran di kedua belah pihak dalam perang, terutama menggunakan sinyal musuh untuk membantu dalam penargetan dan serangan mereka. Data seluler, misalnya, dapat digunakan untuk menentukan lokasi berkumpulnya pasukan besar, yang membuat mereka rentan terhadap serangan.
Beberapa kali pihak militer mencoba mengendalikan perilaku ini. Para perwira Angkatan Darat AS juga telah memperingatkan pasukannya bahwa membawa perangkat pribadi ke pertempuran masa depan dapat memiliki konsekuensi serius.
Namun, Watling berpendapat militer seharusnya tidak hanya melihat ponsel sebagai ancaman. "Prajurit harus merencanakan untuk memanfaatkan keuntungan dari jaringan ini dan mendapatkan informasi yang memadai tentang risiko yang terkait serta mitigasi yang menyertainya," katanya.
"Jika digunakan dengan benar, jaringan ponsel dapat membantu militer bersembunyi di antara lalu lintas data, mendistribusikan data penting, dan menghindari konflik dengan otoritas sipil."
(msf)