Algoritma AI Mampu Memprediksi Bencana yang Akan Datang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program kecerdasan buatan (AI) dapat memprediksi awal dari titik kritis yang berpotensi menyebabkan bencana , seperti keruntuhan ekologi, kejatuhan finansial, pandemi, dan pemadaman listrik.
"Jika transisi kritis yang akan datang dapat diprediksi, maka kita bisa mempersiapkan pergeseran tersebut atau bahkan mencegah transisi itu terjadi, sehingga dapat mengurangi kerusakan," kata Gang Yan, penulis senior studi dan profesor ilmu komputer di Universitas Tongji di China, kepada Live Science dilansir Kamis (22/8/2024).
Para peneliti komputer bersama Gang Yan mempublikasikan temuan mereka pada 15 Juli 2024 di jurnal Physical Review X.
Titik kritis dideskripsikan sebagai pergeseran mendadak yang menyebabkan suatu sistem atau lingkungannya berubah ke keadaan tidak diinginkan, atau kondisi sulit untuk kembali ke keadaan semula. Misalnya, jika lapisan es Greenland runtuh, hal ini akan mengurangi curah salju di bagian utara pulau tersebut, secara drastis meningkatkan permukaan laut dan membuat sebagian besar lapisan es tidak dapat dipulihkan.
Namun, ilmu di balik transformasi dramatis ini kurang dipahami dan sering kali didasarkan pada model yang terlalu disederhanakan. Hal ini membuat prediksi yang akurat menjadi sulit.
Para ilmuwan umumnya menggunakan statistik untuk mengukur kekuatan dan ketahanan sistem dengan fluktuasi yang semakin besar. Tetapi hasil dari studi yang menggunakan metode statistik semacam itu masih kontroversial.
Untuk mencari cara yang lebih akurat dalam memprediksi transisi berbahaya, para peneliti dalam studi ini menggabungkan dua jenis jaringan saraf, atau algoritma yang meniru cara otak memproses informasi. Jaringan pertama memecah sistem yang kompleks menjadi jaringan besar yang terdiri dari node yang saling berinteraksi, kemudian melacak hubungan antara node tersebut. Jaringan kedua mengikuti bagaimana setiap node berubah seiring waktu.
"Misalnya, dalam sistem keuangan, sebuah node bisa menjadi perusahaan tunggal; dalam sistem ekologi, sebuah node bisa mewakili spesies; dalam sistem media sosial, sebuah node bisa menunjukkan pengguna, dan sebagainya," kata Yan.
Titik kritis sulit diprediksi, begitu pula mengetahui di mana harus mencari mereka juga sulit, maka membuat data dunia nyata tentang transisi kritis mendadak menjadi langka. Untuk melatih model mereka, para peneliti beralih ke titik kritis dalam sistem teoretis sederhana — termasuk model ekosistem dan metronom yang tidak sinkron yang, jika diberi waktu cukup, akan mulai bergerak bersamaan.
Setelah jaringan saraf mereka memiliki cukup data, para peneliti memberikan masalah dari dunia nyata, seperti transformasi hutan tropis menjadi sabana. Menggunakan data satelit selama lebih dari 20 tahun dari tiga wilayah di Afrika Tengah yang mengalami transisi mendadak ini, para ilmuwan memberikan algoritma informasi tentang curah hujan dan tutupan pohon di dua wilayah.
Dari data tersebut, AI dengan akurat memprediksi apa yang terjadi di wilayah ketiga, bahkan ketika 81% node sistem menjadi bagian dari lahan tidak diamati.
Setelah berhasil memprediksi satu titik kritis, para peneliti kini mencari cara untuk membongkar "kotak hitam" algoritma untuk menemukan pola yang terdeteksi. Mereka kemudian berharap dapat menerapkan model mereka pada sistem lain seperti kebakaran hutan, pandemi, dan kejatuhan finansial.
Satu tantangan dalam memprediksi sistem yang melibatkan manusia, yaitu belajar dari dan bereaksi terhadap prediksi kita sendiri yang secara kompleks memengaruhi perilaku. Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti fokus pada bagian dari sistem manusia yang tampaknya tidak terpengaruh oleh niat manusia.
Menggunakan AI untuk menangkap sinyal fundamental ini bisa sangat berguna dalam membuat prediksi. Meskipun memprediksi sistem semacam itu menantang, ini sangat berharga karena transisi kritis dalam sistem yang melibatkan manusia dapat memiliki konsekuensi yang lebih parah.
"Jika transisi kritis yang akan datang dapat diprediksi, maka kita bisa mempersiapkan pergeseran tersebut atau bahkan mencegah transisi itu terjadi, sehingga dapat mengurangi kerusakan," kata Gang Yan, penulis senior studi dan profesor ilmu komputer di Universitas Tongji di China, kepada Live Science dilansir Kamis (22/8/2024).
Para peneliti komputer bersama Gang Yan mempublikasikan temuan mereka pada 15 Juli 2024 di jurnal Physical Review X.
Titik kritis dideskripsikan sebagai pergeseran mendadak yang menyebabkan suatu sistem atau lingkungannya berubah ke keadaan tidak diinginkan, atau kondisi sulit untuk kembali ke keadaan semula. Misalnya, jika lapisan es Greenland runtuh, hal ini akan mengurangi curah salju di bagian utara pulau tersebut, secara drastis meningkatkan permukaan laut dan membuat sebagian besar lapisan es tidak dapat dipulihkan.
Namun, ilmu di balik transformasi dramatis ini kurang dipahami dan sering kali didasarkan pada model yang terlalu disederhanakan. Hal ini membuat prediksi yang akurat menjadi sulit.
Para ilmuwan umumnya menggunakan statistik untuk mengukur kekuatan dan ketahanan sistem dengan fluktuasi yang semakin besar. Tetapi hasil dari studi yang menggunakan metode statistik semacam itu masih kontroversial.
Untuk mencari cara yang lebih akurat dalam memprediksi transisi berbahaya, para peneliti dalam studi ini menggabungkan dua jenis jaringan saraf, atau algoritma yang meniru cara otak memproses informasi. Jaringan pertama memecah sistem yang kompleks menjadi jaringan besar yang terdiri dari node yang saling berinteraksi, kemudian melacak hubungan antara node tersebut. Jaringan kedua mengikuti bagaimana setiap node berubah seiring waktu.
"Misalnya, dalam sistem keuangan, sebuah node bisa menjadi perusahaan tunggal; dalam sistem ekologi, sebuah node bisa mewakili spesies; dalam sistem media sosial, sebuah node bisa menunjukkan pengguna, dan sebagainya," kata Yan.
Titik kritis sulit diprediksi, begitu pula mengetahui di mana harus mencari mereka juga sulit, maka membuat data dunia nyata tentang transisi kritis mendadak menjadi langka. Untuk melatih model mereka, para peneliti beralih ke titik kritis dalam sistem teoretis sederhana — termasuk model ekosistem dan metronom yang tidak sinkron yang, jika diberi waktu cukup, akan mulai bergerak bersamaan.
Setelah jaringan saraf mereka memiliki cukup data, para peneliti memberikan masalah dari dunia nyata, seperti transformasi hutan tropis menjadi sabana. Menggunakan data satelit selama lebih dari 20 tahun dari tiga wilayah di Afrika Tengah yang mengalami transisi mendadak ini, para ilmuwan memberikan algoritma informasi tentang curah hujan dan tutupan pohon di dua wilayah.
Dari data tersebut, AI dengan akurat memprediksi apa yang terjadi di wilayah ketiga, bahkan ketika 81% node sistem menjadi bagian dari lahan tidak diamati.
Setelah berhasil memprediksi satu titik kritis, para peneliti kini mencari cara untuk membongkar "kotak hitam" algoritma untuk menemukan pola yang terdeteksi. Mereka kemudian berharap dapat menerapkan model mereka pada sistem lain seperti kebakaran hutan, pandemi, dan kejatuhan finansial.
Satu tantangan dalam memprediksi sistem yang melibatkan manusia, yaitu belajar dari dan bereaksi terhadap prediksi kita sendiri yang secara kompleks memengaruhi perilaku. Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti fokus pada bagian dari sistem manusia yang tampaknya tidak terpengaruh oleh niat manusia.
Menggunakan AI untuk menangkap sinyal fundamental ini bisa sangat berguna dalam membuat prediksi. Meskipun memprediksi sistem semacam itu menantang, ini sangat berharga karena transisi kritis dalam sistem yang melibatkan manusia dapat memiliki konsekuensi yang lebih parah.
(msf)