Pahlawan Telekomunikasi Gaza, Bertaruh Nyawa di Bawah Ancaman Bom Israel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Agresi militer Israel di Gaza mengakibatkan jaringan telekomunikasi terputus. Bahkan, internet berulang kali padam total, mengakibatkan putusnya koneksi dengan dunia luar.
Tanpa jaringan komunikasi dapat dipastikan situasi yang sudah suram di Gaza hanya akan semakin memburuk. Tidak akan ada ambulans, tidak ada layanan darurat, dan tidak ada pertahanan sipil atau organisasi kemanusiaan yang dapat bekerja tanpa jaringan telekomunikasi.
Sadar akan pentingnya jaringan telekomunikasi, sejumlah teknisi turun tangan memperbaiki jaringan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Salah satunya adalah Ahmad (nama samaran). Pada suatu malam sekitar pukul 22.00 dia mendapat panggilan dari Pusat Operasi Jaringan di Perusahaan Telekomunikasi Palestina (PalTel). Waktu itu adalah minggu ketiga serangan Israel terhadap Gaza dan pusat data utama di distrik Sheikh Radwan, Kota Gaza, kehilangan listrik, mengancam lumpuhnya semua komunikasi di daerah tersebut.
Dilansir dari Al Jazeera, untuk memeriksa kerusakan, Ahmad harus menyeberangi kota selama serangan udara Israel yang intens, membahayakan nyawanya. Namun, tanpa ragu, dia menghentikan ambulans yang lewat dan meminta tumpangan.
"Saya memberi tahu sopir bahwa jika saya tidak dapat memulihkan generator, orang seperti dia tidak akan dapat mencapai warga sipil yang terluka. Kami tidak lebih baik atau kurang penting daripada staf medis, satu panggilan telepon dapat menyelamatkan nyawa," kata Ahmad.
Setibanya di lokasi, Ahmad mulai bekerja. Pada pukul 2 pagi, dia telah memperbaiki generator, memungkinkan jaringan telekomunikasi tetap beroperasi. Dia memutuskan untuk tinggal di gedung itu sampai fajar, menyelinap keluar di antara puing-puing yang baru jatuh untuk pulang selama jeda serangan Israel.
"Syukurlah keluarga saya baik-baik saja dan saya masih hidup untuk melihat hari lain. Ini adalah pekerjaan dan hidup saya. Saya melakukan ini setiap hari," katanya.
Kisah Ahmad hampir menjadi rutinitas di antara 750 staf PalTel di Gaza yang, meskipun hidup di tengah bom, pengungsian, dan kematian, mengambil risiko nyawa untuk menjaga jaringan telekomunikasi tetap berjalan. Setidaknya lima anggota staf PalTel di Gaza meninggal dunia dalam serangan Israel. Sementara banyak staf lain kehilangan anggota keluarga, termasuk istri dan anak-anak.
Tanpa jaringan komunikasi dapat dipastikan situasi yang sudah suram di Gaza hanya akan semakin memburuk. Tidak akan ada ambulans, tidak ada layanan darurat, dan tidak ada pertahanan sipil atau organisasi kemanusiaan yang dapat bekerja tanpa jaringan telekomunikasi.
Sadar akan pentingnya jaringan telekomunikasi, sejumlah teknisi turun tangan memperbaiki jaringan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Salah satunya adalah Ahmad (nama samaran). Pada suatu malam sekitar pukul 22.00 dia mendapat panggilan dari Pusat Operasi Jaringan di Perusahaan Telekomunikasi Palestina (PalTel). Waktu itu adalah minggu ketiga serangan Israel terhadap Gaza dan pusat data utama di distrik Sheikh Radwan, Kota Gaza, kehilangan listrik, mengancam lumpuhnya semua komunikasi di daerah tersebut.
Dilansir dari Al Jazeera, untuk memeriksa kerusakan, Ahmad harus menyeberangi kota selama serangan udara Israel yang intens, membahayakan nyawanya. Namun, tanpa ragu, dia menghentikan ambulans yang lewat dan meminta tumpangan.
"Saya memberi tahu sopir bahwa jika saya tidak dapat memulihkan generator, orang seperti dia tidak akan dapat mencapai warga sipil yang terluka. Kami tidak lebih baik atau kurang penting daripada staf medis, satu panggilan telepon dapat menyelamatkan nyawa," kata Ahmad.
Setibanya di lokasi, Ahmad mulai bekerja. Pada pukul 2 pagi, dia telah memperbaiki generator, memungkinkan jaringan telekomunikasi tetap beroperasi. Dia memutuskan untuk tinggal di gedung itu sampai fajar, menyelinap keluar di antara puing-puing yang baru jatuh untuk pulang selama jeda serangan Israel.
"Syukurlah keluarga saya baik-baik saja dan saya masih hidup untuk melihat hari lain. Ini adalah pekerjaan dan hidup saya. Saya melakukan ini setiap hari," katanya.
Kisah Ahmad hampir menjadi rutinitas di antara 750 staf PalTel di Gaza yang, meskipun hidup di tengah bom, pengungsian, dan kematian, mengambil risiko nyawa untuk menjaga jaringan telekomunikasi tetap berjalan. Setidaknya lima anggota staf PalTel di Gaza meninggal dunia dalam serangan Israel. Sementara banyak staf lain kehilangan anggota keluarga, termasuk istri dan anak-anak.