TikTok dan Connective Action: Bima Effect di Viral Jalan Rusak Lampung
loading...
A
A
A
Aktivisme bersifat cair, fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal, tetapi terkoneksi satu sama lain oleh kepedulian bersama atas isu rusaknya jalan di Lampung.
Jungherr (2015) menjelaskan sebuah isu atau topik yang diperbincangkan di media sosial tidak hadir dengan sendirinya, namun terdapat individu atau kelompok yang menjadikan isu tersebut sebagai percakapan di ruang digital untuk menarik perhatian publik. Kata kunci perhatian menjadi hal utama di media sosial.
Seseorang atau kelompok dinilai berhasil apabila ia atau mereka berhasil menjadi sorotan atau pusat perhatian dan selanjutnya mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu atau ikut menyebarkan luaskan suatu isu sehingga menjadi viral atau bahan perbincangan.
Dalam konteks ini, tindakan Bima menjadi viral karena mampu menarik perhatian publik dan kemudian diikuti dengan unggahan ulang dari pengguna media sosial lain terhadap konten Bima dan juga unggahan dari pengguna media sosial terkait kondisi jalan di Lampung. Bahkan viralnya konten Bima membuat Presiden Joko Widodo melihat langsung kondisi jalan di Lampung.
Gerakan sosial di dunia internet, penyebaran pesan tidak dilakukan secara hirarkis oleh organisasi, tetapi memanfaatkan jaringan internet dan media sosial. Jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital, menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan.
Dalam menyampaikan aksi protesnya Bima mengandalkan jaringan internet dan media sosial bukan pada organisasi atau lembaga. Kemarahan Bima di TikTok merupakan gerakan bersifat spontan, tidak ada yang mengomando dan tidak terorganisir.
Pesan yang disampaikan Bima bisa menyebar dengan cepat, bukan oleh struktur organisasi tetapi memanfaatkan jaringan media sosial. Bima dan pengguna media sosial lainnya dipersatukan secara konektif lewat kegelisahan dan keprihatinan yang sama yang diikat melalui jaringan media sosial dan rasa marah.
Pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk mengikuti isu-isu yang dianggap relevan dengan mereka.
Isu yang disampaikan Bima bersifat personal karena merupakan pengalaman pribadinya sebagai warga Lampung dan belum ada upaya perbaikan jalan dari pemda setempat. Bennet & Segerberg (2012, 2013) mengajukan konsep bingkai tindakan personal (personal action frame).
Dalam gerakan protes di dunia online, partisipasi individu (pengguna internet) lebih menyerupai ekspresi individu dibanding aksi kelompok. Bisa dikatakan Bima melalui akun TikTok mengekspresikan isu individu bukan mewakili kelompok tertentu.
Selain itu, gerakan protes online juga ditandai dengan pengguna internet yang bisa mempertahankan identitas masing-masing. Hal ini terlihat jelas dimana Bima dalam menyampaikan protesnya tetap muncul sebagai identitas asli tidak bersifat anonimitas.
Dia tidak meleburkan diri pada identitas kelompok karena dalam kasus ini Bima sebagai pengguna media sosial menyuarakan pendapat atau protes dengan cara yang personal melalui akun pribadinya dan sesuai dengan identitas dan keinginannya.
Sebagai kesimpulan, ulasan ini melihat media sosial memiliki kapasitas untuk menyediakan informasi dengan cepat yang menggantikan atau melebihi mainstream media. Kehadiran media digital berperan penting dalam mengubah cara orang-orang berkomunikasi dan berjejaring dalam organisasi/kelompok.
Cara mengekspresikan pendapat secara personal lebih disukai di ranah digital, begitu juga dengan pilihan cara untuk berkontribusi. Aksi protes Bima dalam menyuarakan keprihatinan atas kondisi jalan di Lampung di akun TikToknya dapat dinilai efektif dalam menyampaikan masalah yang dihadapinya.
Video yang diunggah mampu menarik perhatian publik hingga menjadi viral hingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo berkunjung ke Lampung yang melihat langsung kondisi jalanan yang rusak.
Usai meninjau langsung, Presiden Joko Widodo memerintahkan pemerintah pusat mengambil alih proyek perbaikan jalanan dan menganggarkan Rp 800 miliar untuk memperbaiki 15 ruas jalan rusak di Lampung.
Sementara itu, paparan di atas menunjukkan konsep connective action sebagai sebuah model baru dalam menjelaskan bagaimana pengaruh media digital terhadap gerakan sosial dimana terjadi peningkatan partisipasi individu dalam gerakan sosial.
Aksi Bima kemudian dikenal dengan istilah “Bima Effect” dapat diidentifikasikan sebagai connective action karena mengandung unsur inklusivitas simbolis dan keterbukaan teknologi. Selain itu, ulasan ini mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya bahwa media sosial dapat menyediakan platform untuk aktivisme dan mobilisasi.
Sebagai rekomendasi, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan masalah yang dihadapi daerah sehingga tidak menunggu suatu isu menjadi viral di media sosial untuk mendapat perhatian pemerintah pusat.
Jungherr (2015) menjelaskan sebuah isu atau topik yang diperbincangkan di media sosial tidak hadir dengan sendirinya, namun terdapat individu atau kelompok yang menjadikan isu tersebut sebagai percakapan di ruang digital untuk menarik perhatian publik. Kata kunci perhatian menjadi hal utama di media sosial.
Seseorang atau kelompok dinilai berhasil apabila ia atau mereka berhasil menjadi sorotan atau pusat perhatian dan selanjutnya mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu atau ikut menyebarkan luaskan suatu isu sehingga menjadi viral atau bahan perbincangan.
Dalam konteks ini, tindakan Bima menjadi viral karena mampu menarik perhatian publik dan kemudian diikuti dengan unggahan ulang dari pengguna media sosial lain terhadap konten Bima dan juga unggahan dari pengguna media sosial terkait kondisi jalan di Lampung. Bahkan viralnya konten Bima membuat Presiden Joko Widodo melihat langsung kondisi jalan di Lampung.
Gerakan sosial di dunia internet, penyebaran pesan tidak dilakukan secara hirarkis oleh organisasi, tetapi memanfaatkan jaringan internet dan media sosial. Jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital, menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan.
Dalam menyampaikan aksi protesnya Bima mengandalkan jaringan internet dan media sosial bukan pada organisasi atau lembaga. Kemarahan Bima di TikTok merupakan gerakan bersifat spontan, tidak ada yang mengomando dan tidak terorganisir.
Pesan yang disampaikan Bima bisa menyebar dengan cepat, bukan oleh struktur organisasi tetapi memanfaatkan jaringan media sosial. Bima dan pengguna media sosial lainnya dipersatukan secara konektif lewat kegelisahan dan keprihatinan yang sama yang diikat melalui jaringan media sosial dan rasa marah.
Pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk mengikuti isu-isu yang dianggap relevan dengan mereka.
Isu yang disampaikan Bima bersifat personal karena merupakan pengalaman pribadinya sebagai warga Lampung dan belum ada upaya perbaikan jalan dari pemda setempat. Bennet & Segerberg (2012, 2013) mengajukan konsep bingkai tindakan personal (personal action frame).
Dalam gerakan protes di dunia online, partisipasi individu (pengguna internet) lebih menyerupai ekspresi individu dibanding aksi kelompok. Bisa dikatakan Bima melalui akun TikTok mengekspresikan isu individu bukan mewakili kelompok tertentu.
Selain itu, gerakan protes online juga ditandai dengan pengguna internet yang bisa mempertahankan identitas masing-masing. Hal ini terlihat jelas dimana Bima dalam menyampaikan protesnya tetap muncul sebagai identitas asli tidak bersifat anonimitas.
Dia tidak meleburkan diri pada identitas kelompok karena dalam kasus ini Bima sebagai pengguna media sosial menyuarakan pendapat atau protes dengan cara yang personal melalui akun pribadinya dan sesuai dengan identitas dan keinginannya.
Sebagai kesimpulan, ulasan ini melihat media sosial memiliki kapasitas untuk menyediakan informasi dengan cepat yang menggantikan atau melebihi mainstream media. Kehadiran media digital berperan penting dalam mengubah cara orang-orang berkomunikasi dan berjejaring dalam organisasi/kelompok.
Cara mengekspresikan pendapat secara personal lebih disukai di ranah digital, begitu juga dengan pilihan cara untuk berkontribusi. Aksi protes Bima dalam menyuarakan keprihatinan atas kondisi jalan di Lampung di akun TikToknya dapat dinilai efektif dalam menyampaikan masalah yang dihadapinya.
Video yang diunggah mampu menarik perhatian publik hingga menjadi viral hingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo berkunjung ke Lampung yang melihat langsung kondisi jalanan yang rusak.
Usai meninjau langsung, Presiden Joko Widodo memerintahkan pemerintah pusat mengambil alih proyek perbaikan jalanan dan menganggarkan Rp 800 miliar untuk memperbaiki 15 ruas jalan rusak di Lampung.
Sementara itu, paparan di atas menunjukkan konsep connective action sebagai sebuah model baru dalam menjelaskan bagaimana pengaruh media digital terhadap gerakan sosial dimana terjadi peningkatan partisipasi individu dalam gerakan sosial.
Aksi Bima kemudian dikenal dengan istilah “Bima Effect” dapat diidentifikasikan sebagai connective action karena mengandung unsur inklusivitas simbolis dan keterbukaan teknologi. Selain itu, ulasan ini mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya bahwa media sosial dapat menyediakan platform untuk aktivisme dan mobilisasi.
Sebagai rekomendasi, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan masalah yang dihadapi daerah sehingga tidak menunggu suatu isu menjadi viral di media sosial untuk mendapat perhatian pemerintah pusat.
(san)
Lihat Juga :