TikTok dan Connective Action: Bima Effect di Viral Jalan Rusak Lampung

Minggu, 11 Juni 2023 - 15:45 WIB
loading...
TikTok dan Connective...
Ilustrasi TikTok. Foto: Istimewa
A A A
Ni Wayan Suryatini
Mahasiswa S2 Komunikasi UI


BEBERAPA
waktu lalu, jagat maya diramaikan dengan kondisi jalanan provinsi Lampung yang rusak parah, hingga menyita perhatian Presiden Joko Widodo.

Kehebohan berawal dari unggahan seorang konten kreator yang juga warga Lampung bernama Bima Yudho Saputro di akun TikTok @awbimaxreborn pada 7 April 2023.

Konten berdurasi 3 menit 28 detik yang berjudul "Alasan Lampung Tidak Maju-Maju" berisikan keluhan Bima terhadap buruknya sarana infrastruktur jalan yang rusak parah sejak lama dan tak kunjung mendapatkan perbaikan dari pemerintah daerah.



Sementara itu, data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) periode 2020-2021 mencatat Lampung memiliki total ruas jalan sepanjang 20.310 kilometer.

Ruas jalan dengan status baik dan sedang mencapai 12.688km atau 62,4% dari seluruh total ruas jalan dan jalanan berstatus rusak mencapai 12,1%.

Lampung sendiri belum masuk dalam daftar 10 provinsi yang memiliki jalan rusak berat dengan persentase tinggi.

Selain protes, Bima juga menyindir tentang isu-isu lainnya seperti menyinggung proyek mangkrak, sindiran terhadap pendidikan hingga aksi kriminal di Lampung.

Protes Bima di dunia digital menjadi viral usai menyebut Lampung dengan istilah “Dajjal” sehingga membuat kampung halamannya tak kunjung maju. Selain di TikTok, konten Bima menyebar dengan cepat melalui unggahan ulang warganet di platform media sosial lainnya seperti Twitter dan Instagram.

Usai kritikan Bima viral di media sosial, dukungan dari netizen terus berdatangan. Ini ditandai dengan munculnya unggahan yang berisi keluhan serupa dari warganet.

Salah satunya dari akun @Th*M*gi*a*a0x mengunggah "Kenapa jalan di Lampung ini mudah rusak karena jalannya ini sering dilewati truk-truk besar yang bawa hasil pertanian. Nggak cuma Lampung, hampir seluruh Sumatera kayak gini problemnya karena pertanian dan rumah masyarakat itu bercampur. Karet, sawit, ubi, jagung, dan lain-lain".

Hingga akhirnya, Presiden Joko Widodo meninjau sejumlah ruas jalan di Lampung yang rusak pada 5 Mei 2023 dalam agenda kunjungan kerjanya.

Menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo, beredar di media sosial sejumlah video yang memperlihatkan perbaikan jalan di beberapa wilayah di Lampung. Sejumlah pihak menyebut hal itu terjadi karena "Bima Effect".


Sebuah video yang diunggah oleh akun TikTok @rumahkitalamongan memperlihatkan sejumlah alat berat yang tengah memperbaiki jalanan di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, “Usai viral, di beberapa titik di aspal Pemda Lampung. Sungguh terlalu,” tulis keterangan video. "Terima kasih, Bima. Gara-gara kamu, jalan di Pringsewu diperbaiki," ujar perekam video.

Protes atau gerakan sosial di internet terbentuk secara spontan. Pengguna internet menyampaikan sikapnya di internet dan media sosial secara bersama-sama, disatukan oleh kegelisahan dan keberpihakan terhadap isu tertentu, yang tersebar lewat jejaring sosial. Tidak ada organisasi yang menginisiasi gerakan protes.

Internet bukan hanya mempermudah, tetapi juga mengubah bentuk gerakan protes (Bennett & Segerber, 2012). Lebih lanjut Bennett & Segerber (2012) menjelaskan perubahan ini terjadi karena dua hal.

Pertama akses terhadap informasi dan gerakan yang berlangsung secara cepat dan masif ke banyak orang. Kedua, personalisasi. Internet membuat orang bisa mengungkapkan pendapat atau sikap dengan cara yang sangat personal, sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari masing-masing orang.

Gerakan sosial di ranah digital ditandai dengan 1). Tidak ada pemimpin; 2). Tidak ada kelompok yang memperjuangkan isu; 3). Bergerak sendiri-sendiri (Bennett & Segerber, 2012).

Internet dan sosial media menyediakan ruang publik yang (hampir) gratis untuk terkoneksi satu sama lain, serta membentuk project dalam jejaring yang berdasar pada pandangan atau keterikatan pribadi (Castells, 2015).

Aktivisme sosial online telah menjadi bagian integral dari aktivisme. Ketika para aktivis mulai beralih ke media sosial untuk berkomunikasi dengan publik, beberapa platform media sosial seperti Facebook, YouTube, Twitter, dan Flickr mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah daripada media tradisional.



Salah satu media sosial yang saat ini populer di Indonesia adalah aplikasi TikTok. Berdasarkan data We Are Social, Indonesia menempati urutan kedua di dunia sebagai negara dengan pengguna TikTok terbesar setelah Amerika Serikat pada Januari 2023.

Tercatat sebanyak 109,90 juta pengguna TikTok yang rata-rata menghabiskan waktu sebanyak 23,1 jam per bulan.

Rumusan permasalahan pada tulisan ini adalah apakah aksi protes Bima efektif dalam menyampaikan permasalahan dan bisa dilakukan setiap orang atau justru bersifat eksklusif? Selanjutnya tulisan ini juga membahas tentang connective action pada aksi Bima.

Apakah aksi Bima bisa diidentifikasikan sebagai connective action atau hanya sebatas memanfaatkan momentum?

Dalam bukunya yang berjudul “The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics”, Bennett & Segerberg (2013) melihat konsep connective action sebagai model baru dalam menjelaskan bagaimana media digital mempengaruhi gerakan sosial seperti mengubah cara orang terhubung, berkomunikasi dan berpartisipasi dalam gerakan sosial.

Menurut konsep connective action atau tindakan penghubung, media sosial dapat menggantikan organisasi tradisional, dan gerakan sosial dapat mengandalkan tindakan individu daripada tindakan kolektif.

Berlawanan dengan tindakan kolektif yang bergantung pada struktur organisasi dan mengasumsikan pengembangan identitas kolektif, connective action bersifat cair karena gerakan sosial tidak memiliki pemimpin yang jelas dan struktur organisasi yang jelas, dan anggota dapat dengan mudah bergabung atau meninggalkan setiap Gerakan.

Lebih lanjut Bennett dan Segerberg (2013) menyoroti dua fitur penting dari tindakan individu. Ciri pertama—inklusivitas simbolis—mengacu pada kesempatan bagi individu untuk mengekspresikan diri dengan cara mereka sendiri yang mencerminkan berbagai alasan untuk berpartisipasi dalam aktivisme.

Fitur kedua—keterbukaan teknologi—mengacu pada kemampuan individu untuk memilih tingkat keterlibatan mereka dan sifat interaksi mereka dengan aktor organisasi dan individu lainnya. Connective Actions menghasilkan sebuah tindakan agregat yang cukup kuat secara menyeluruh.


Sebuah fenomena atau permasalahan dengan tindakan secara kolektif dapat memicu individu untuk berkontribusi, dimana kontribusi individu inilah sebagai tonggak utama dalam connective actions.

Dalam studinya, Bennett & Segerberg (2012) mengidentifikasi tiga tipologi jejaring aksi (action network). Tipologi pertama adalah self organizing network di mana individu menggunakan tindakan yang terhubung dengan sedikit atau tanpa koordinasi organisasi, menggunakan teknologi sebagai agen organisasi yang penting, dan tindakan pribadi sebagai unit transmisi melalui jaringan sosial yang terpercaya.

Tipologi kedua adalah organizationally brokered network—jaringan yang ditengahi secara organisasional, yang mewakili tindakan kolektif “ideal” dengan koordinasi tindakan organisasional yang kuat, dengan organisasi yang menggunakan teknologi sosial untuk mengelola partisipasi dan mengkoordinasikan tujuan.

Tipologi ketiga adalah organizationally- enabled action. Tipologi ini merupakan gabungan antara logika collective action dan connective action (hybrid).

Dalam tipe ketiga, organisasi formal tidak memiliki peran utama dalam gerakan, sehingga tipe ini memiliki tindakan organisasi yang lebih longgar. Kelompok berperan sebagai ‘aktor di belakang panggung’ dalam mobilisasi sumber daya, alih-alih menggunakan pendekatan secara hierarkis komando.

Organisasi pada jenis ini utamanya memanfaatkan media sosial untuk membantu individu mengembangkan rasa komunitas mereka. Media sosial berperan untuk memperluas network dengan kelompok lainnya.

Aksi protes Bima yang diunggah di akun pribadinya merupakan upaya individu yang bergerak sendiri-sendiri, bersifat volunter dan sukarela. Keluhan dan sindiran Bima muncul sebagai bentuk kemarahan dan keprihatinan akibat buruknya infrastruktur jalan di tempat tinggalnya.

Sementara partisipasi pengguna lainnya dalam merespon unggahan Bima juga merupakan tindakan individu, dilakukan tanpa perlu menjadi anggota suatu organisasi.

Aktivisme bersifat cair, fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal, tetapi terkoneksi satu sama lain oleh kepedulian bersama atas isu rusaknya jalan di Lampung.

Jungherr (2015) menjelaskan sebuah isu atau topik yang diperbincangkan di media sosial tidak hadir dengan sendirinya, namun terdapat individu atau kelompok yang menjadikan isu tersebut sebagai percakapan di ruang digital untuk menarik perhatian publik. Kata kunci perhatian menjadi hal utama di media sosial.

Seseorang atau kelompok dinilai berhasil apabila ia atau mereka berhasil menjadi sorotan atau pusat perhatian dan selanjutnya mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu atau ikut menyebarkan luaskan suatu isu sehingga menjadi viral atau bahan perbincangan.

Dalam konteks ini, tindakan Bima menjadi viral karena mampu menarik perhatian publik dan kemudian diikuti dengan unggahan ulang dari pengguna media sosial lain terhadap konten Bima dan juga unggahan dari pengguna media sosial terkait kondisi jalan di Lampung. Bahkan viralnya konten Bima membuat Presiden Joko Widodo melihat langsung kondisi jalan di Lampung.

Gerakan sosial di dunia internet, penyebaran pesan tidak dilakukan secara hirarkis oleh organisasi, tetapi memanfaatkan jaringan internet dan media sosial. Jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital, menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan.

Dalam menyampaikan aksi protesnya Bima mengandalkan jaringan internet dan media sosial bukan pada organisasi atau lembaga. Kemarahan Bima di TikTok merupakan gerakan bersifat spontan, tidak ada yang mengomando dan tidak terorganisir.

Pesan yang disampaikan Bima bisa menyebar dengan cepat, bukan oleh struktur organisasi tetapi memanfaatkan jaringan media sosial. Bima dan pengguna media sosial lainnya dipersatukan secara konektif lewat kegelisahan dan keprihatinan yang sama yang diikat melalui jaringan media sosial dan rasa marah.

Pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk mengikuti isu-isu yang dianggap relevan dengan mereka.

Isu yang disampaikan Bima bersifat personal karena merupakan pengalaman pribadinya sebagai warga Lampung dan belum ada upaya perbaikan jalan dari pemda setempat. Bennet & Segerberg (2012, 2013) mengajukan konsep bingkai tindakan personal (personal action frame).

Dalam gerakan protes di dunia online, partisipasi individu (pengguna internet) lebih menyerupai ekspresi individu dibanding aksi kelompok. Bisa dikatakan Bima melalui akun TikTok mengekspresikan isu individu bukan mewakili kelompok tertentu.

Selain itu, gerakan protes online juga ditandai dengan pengguna internet yang bisa mempertahankan identitas masing-masing. Hal ini terlihat jelas dimana Bima dalam menyampaikan protesnya tetap muncul sebagai identitas asli tidak bersifat anonimitas.

Dia tidak meleburkan diri pada identitas kelompok karena dalam kasus ini Bima sebagai pengguna media sosial menyuarakan pendapat atau protes dengan cara yang personal melalui akun pribadinya dan sesuai dengan identitas dan keinginannya.

Sebagai kesimpulan, ulasan ini melihat media sosial memiliki kapasitas untuk menyediakan informasi dengan cepat yang menggantikan atau melebihi mainstream media. Kehadiran media digital berperan penting dalam mengubah cara orang-orang berkomunikasi dan berjejaring dalam organisasi/kelompok.

Cara mengekspresikan pendapat secara personal lebih disukai di ranah digital, begitu juga dengan pilihan cara untuk berkontribusi. Aksi protes Bima dalam menyuarakan keprihatinan atas kondisi jalan di Lampung di akun TikToknya dapat dinilai efektif dalam menyampaikan masalah yang dihadapinya.

Video yang diunggah mampu menarik perhatian publik hingga menjadi viral hingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo berkunjung ke Lampung yang melihat langsung kondisi jalanan yang rusak.

Usai meninjau langsung, Presiden Joko Widodo memerintahkan pemerintah pusat mengambil alih proyek perbaikan jalanan dan menganggarkan Rp 800 miliar untuk memperbaiki 15 ruas jalan rusak di Lampung.

Sementara itu, paparan di atas menunjukkan konsep connective action sebagai sebuah model baru dalam menjelaskan bagaimana pengaruh media digital terhadap gerakan sosial dimana terjadi peningkatan partisipasi individu dalam gerakan sosial.

Aksi Bima kemudian dikenal dengan istilah “Bima Effect” dapat diidentifikasikan sebagai connective action karena mengandung unsur inklusivitas simbolis dan keterbukaan teknologi. Selain itu, ulasan ini mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya bahwa media sosial dapat menyediakan platform untuk aktivisme dan mobilisasi.

Sebagai rekomendasi, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan masalah yang dihadapi daerah sehingga tidak menunggu suatu isu menjadi viral di media sosial untuk mendapat perhatian pemerintah pusat.
(san)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2433 seconds (0.1#10.140)