BRTI: Ujicoba 4G LTE Bukan Hal yang Baru
A
A
A
JAKARTA - Promosi implementasi teknologi 4G Long Term Evolution (LTE) gencar dilakukan oleh operator padahal pemerintah sendiri tengah menggodok regulasi terkait teknologi 4G tahun ini supaya bisa mulai diimplementasikan sesegera mungkin.
"Trial tekhnologi 4G LTE semacam ini memang sudah sering dilakukan operator dan bukan hal yang istimewa. Ini termasuk yang dilakukan XL-Axiata,” ujar Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono saat dihubungi wartawan pada Selasa (28/10/2014).
Penerapan teknologi 4G LTE yang memberikan pengalaman akses internet berkecepatan hingga 100 Mbps ini juga merupakan agenda yang harus diselesaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, selain peningkatan infrastruktur dan tata kelola spektrum frekuensi.
Operator boleh melakukan uji-coba teknologi ini untuk memastikan bahwa teknologi memang siap untuk melayani masyarakat. Bahkan di Jepang, uji coba teknologi 4G LTE ini dilakukan selama dua tahun untuk memperoleh hasil yang memuaskan sehingga tidak merugikan masyarakat.
Sejatinya, kata Nonot, untuk mengimplementasikan teknologi 4G LTE ini dibutuhkan pita yang lebih besar minimal 20 Mhz untuk benar-benar bisa merasakan keunggulan teknologi tersebut. Idealnya, 30 Mhz, akan jauh lebih bagus lagi.
Tentu saja, lanjutnya, semua tergantung demand-supply. “Jika demand tinggi, mau tidak mau operator harus menyiapkan supply-nya salah satunya dengan memperbaiki dan membenahi jaringan,” ujarnya.
Namun, faktanya, di Indonesia, masyarakat yang masih menggunakan teknologi 2G masih mencapai 70%, sedangkan teknologi 3G belum terpenuhi semuanya.
"Jadi, terserah para operator, apakah 3G-nya mau diterusin atau dimatikan langsung lompat ke 4G, itu urusan masing-masing,” ujarnya.
Yang penting, kata Nonot, harus dikonsultasikan karena pita yang ada itu merupakan pita yang bukan kosong tapi sudah existing, ada yang memakai. Setelah dikonsultasikan, barulah dilakukan penjadwalan dari pemerintah agar tidak mengganggu kiri-kanan pengguna pita lainnya.
“Alasan inilah kenapa mesti ada regulasi terkait penerapan teknologi 4G LTE ini,” ujarnya. Meski demikian, Nonot menampik jika pemerintah lambat menyelesaikan regulasi teknologi 4G ini.
Pemerintah memang menjanjikan untuk menyelesaikan regulasi terkait teknologi 4G tahun ini supaya bisa mulai diimplementasikan tahun depan, meskipun itu molor setahun dari janji awal implementasi tahun ini.
Laporan Akamai terbaru tentang kondisi Internet global menyebutkan bahwa Indonesia saat ini memiliki pertumbuhan kecepatan Internet yang pesat dan saat ini mencatat angka 2,4 Mbps.
Meskipun demikian, di level Asia sendiri angka tersebut belum signifikan untuk membawa Indonesia sejajar dengan negara-negara maju Asia yang lain.
Khusus untuk konektivitas seluler, operator seluler Indonesia yang terpaksa menahan lompatan teknologi dengan optimasi layanan DC-HSPA+ mencatat angka kecepatan rata-rata 2 Mbps yang tak jauh terpaut dengan negara-negara tetangga.
Teknologi LTE bisa membantu pencapaian kecepatan Internet teoritis hingga 70-100 Mbps, dengan kecepatan aktualnya rata-rata mencapai kisaran 20 Mbps. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, operator-operator seluler di Singapura, Malaysia, dan Thailand telah mulai mengimplementasikan LTE sejak 1-2 tahun yang lalu.
“Masyarakat memang sangat berharap pemerintahan baru bisa mempercepat adopsi teknologi LTE/4G untuk pemanfaatan Internet yang lebih baik. Kesungguhan para operator menerapkan teknologi juga kita tunggu,” tegasnya.
"Trial tekhnologi 4G LTE semacam ini memang sudah sering dilakukan operator dan bukan hal yang istimewa. Ini termasuk yang dilakukan XL-Axiata,” ujar Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono saat dihubungi wartawan pada Selasa (28/10/2014).
Penerapan teknologi 4G LTE yang memberikan pengalaman akses internet berkecepatan hingga 100 Mbps ini juga merupakan agenda yang harus diselesaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, selain peningkatan infrastruktur dan tata kelola spektrum frekuensi.
Operator boleh melakukan uji-coba teknologi ini untuk memastikan bahwa teknologi memang siap untuk melayani masyarakat. Bahkan di Jepang, uji coba teknologi 4G LTE ini dilakukan selama dua tahun untuk memperoleh hasil yang memuaskan sehingga tidak merugikan masyarakat.
Sejatinya, kata Nonot, untuk mengimplementasikan teknologi 4G LTE ini dibutuhkan pita yang lebih besar minimal 20 Mhz untuk benar-benar bisa merasakan keunggulan teknologi tersebut. Idealnya, 30 Mhz, akan jauh lebih bagus lagi.
Tentu saja, lanjutnya, semua tergantung demand-supply. “Jika demand tinggi, mau tidak mau operator harus menyiapkan supply-nya salah satunya dengan memperbaiki dan membenahi jaringan,” ujarnya.
Namun, faktanya, di Indonesia, masyarakat yang masih menggunakan teknologi 2G masih mencapai 70%, sedangkan teknologi 3G belum terpenuhi semuanya.
"Jadi, terserah para operator, apakah 3G-nya mau diterusin atau dimatikan langsung lompat ke 4G, itu urusan masing-masing,” ujarnya.
Yang penting, kata Nonot, harus dikonsultasikan karena pita yang ada itu merupakan pita yang bukan kosong tapi sudah existing, ada yang memakai. Setelah dikonsultasikan, barulah dilakukan penjadwalan dari pemerintah agar tidak mengganggu kiri-kanan pengguna pita lainnya.
“Alasan inilah kenapa mesti ada regulasi terkait penerapan teknologi 4G LTE ini,” ujarnya. Meski demikian, Nonot menampik jika pemerintah lambat menyelesaikan regulasi teknologi 4G ini.
Pemerintah memang menjanjikan untuk menyelesaikan regulasi terkait teknologi 4G tahun ini supaya bisa mulai diimplementasikan tahun depan, meskipun itu molor setahun dari janji awal implementasi tahun ini.
Laporan Akamai terbaru tentang kondisi Internet global menyebutkan bahwa Indonesia saat ini memiliki pertumbuhan kecepatan Internet yang pesat dan saat ini mencatat angka 2,4 Mbps.
Meskipun demikian, di level Asia sendiri angka tersebut belum signifikan untuk membawa Indonesia sejajar dengan negara-negara maju Asia yang lain.
Khusus untuk konektivitas seluler, operator seluler Indonesia yang terpaksa menahan lompatan teknologi dengan optimasi layanan DC-HSPA+ mencatat angka kecepatan rata-rata 2 Mbps yang tak jauh terpaut dengan negara-negara tetangga.
Teknologi LTE bisa membantu pencapaian kecepatan Internet teoritis hingga 70-100 Mbps, dengan kecepatan aktualnya rata-rata mencapai kisaran 20 Mbps. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, operator-operator seluler di Singapura, Malaysia, dan Thailand telah mulai mengimplementasikan LTE sejak 1-2 tahun yang lalu.
“Masyarakat memang sangat berharap pemerintahan baru bisa mempercepat adopsi teknologi LTE/4G untuk pemanfaatan Internet yang lebih baik. Kesungguhan para operator menerapkan teknologi juga kita tunggu,” tegasnya.
(gpr)