Memberikan Gadget pada Anak, Solusi atau Masalah?
A
A
A
Gampang marah, sulit tidur, lupa makan, hingga tidak mau sekolah adalah dampak yang dialami anak saat mengalami kecanduan gadget. Fenomena ini telah menggejala di berbagai belahan dunia seiring perkembangan teknologi digital yang semakin hari semakin menggeliat.
Sebagai orang tua tentu bukan hal mudah untuk menyikapi hal tersebut. Terlebih saat ini, gadget sudah menjadi “teman” setia anak untuk beraktivitas. Mulai dari bangun tidur, banyak orang tua yang mengizinkan anak untuk bersentuhan dengan gadget. Siang sepulang sekolah, gadget kembali berada di tangan anak.
Malam sebelum tidur, lagi-lagi anak sibuk dengan gadgetnya, baik untuk sekadar browsing, bersosial media, chatting dan juga gaming. Anak-anak masa kini juga tampak lebih “melek” teknologi dibanding generasi-generasi terdahulu. Tidak butuh waktu lama bagi anak untuk menguasai fitur-fitur yang terdapat pada gadget.
Dan sekali bersentuhan dengan gadget, anak bisa betah berlama-lama berhadapan dengan mesin canggih tersebut. Terkait dengan hal ini, sebuah fakta mengejutkan pun hadir. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta mencatat ada peningkatan pasien anak yang umumnya adalah pencandu gadget pada tahun ajaran baru (Juli 2019) lalu.
Bahkan di antara 35 pasien yang masuk, dua di antaranya harus menjalani perawatan di RSJD Surakarta. Data lainnya berasal dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat. RSJ tersebut kedatangan banyak pasien yang mengalami kecanduan gadget. Rata-rata pasien yang datang ke RSJ ini berumur 5-15 tahun.
Berdasarkan data RSJ Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2016-2019 tercatat ada 209 pasien dirawat. Pasien-pasien tersebut rata-rata adalah pencandu game, browsing internet serta sejumlah aplikasi lainnya. Hal ini tentu menimbulkan rasa dilematis dikalangan orang tua.
Berdasarkan hasil survei Litbang SINDO Media yang diadakan pada Oktober 2019 lalu, di satu sisi, ada orang tua yang menganggap bahwa gadget penting diberikan pada anak (44%). Selain karena tak ingin anaknya ketinggalan zaman, orang tua juga ingin agar pemanfaatan gadget dapat dioptimalkan sebagai sarana meningkatkan wawasan serta sarana pergaulan.
Gadget juga bisa dimanfaatkan sebagai alat monitoring “Manfaat positifnya anak dapat terus berkomunikasi dengan orang tua jadi mereka dapat mengawasi serta memonitor selalu keberadaaan anak. Kami juga memperbolehkan anak pegang gadget agar mereka tidak gagap teknologi jadi tidak ditertawakan teman-temannya. Anak juga saya izinkan main game yang dapat mengasah daya pikir,” demikian disampaikan Tanwi, warga Jakarta.
Meski demikian di sisi lain, ada juga orang tua yang menganggap bahwa dengan memberikan gadget ke anak maka sama saja mengorbankan anak karena bisa berpotensi mengalami berbagai dampak negatif. Di antaranya anak bisa menjadi pemalas, enggan untuk bersosialisasi, malas untuk belajar, enggan pergi ke sekolah dan bahkan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan otak (55%).
“Terlalu sering membiarkan anak main gadget, bisa bikin anak malas berinteraksi dengan dunia luar dan lingkungan sekitar. Mereka jadi cenderung manja dan kurang peka terhadap lingkungannya,” ujar Sandi, warga Jakarta yang sudah memiliki satu anak.
Alasan-alasan inilah yang kemudian membuat para orang tua bersikap antisipatif terkait konsumsi gadget anak. Melakukan pembatasan waktu penggunaan gadget adalah salah satu langkah yang ditempuh. Dalam hasil jajak pendapat, rata-rata orang tua hanya memberikan toleransi waktu bermain gadget pada anaknya antara 16-30 menit.
Strategi lainnya adalah mengalihkan perhatian anak dengan mengajak bermain bersama atau beraktivitas yang melibatkan anggota keluarga lain. Cara ini sekaligus bisa berfungsi untuk mempererat ikatan antara anak dan orang tua. Yang menarik, terkadang ada juga anak yang bersikap kritis dalam menyikapi larangan orang tua mereka.
Beberapa anak seringkali mengucapkan komentar pedas saat dilarang bermain gadget dengan berkata “Papa Mama juga sering main gadget, kenapa aku tidak boleh?”. Reaksi inilah yang harus diantisipasi orang tua dengan selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anak dengan tidak ikut menjadi pecandu gadget. Siapkah orang tua?
Sebagai orang tua tentu bukan hal mudah untuk menyikapi hal tersebut. Terlebih saat ini, gadget sudah menjadi “teman” setia anak untuk beraktivitas. Mulai dari bangun tidur, banyak orang tua yang mengizinkan anak untuk bersentuhan dengan gadget. Siang sepulang sekolah, gadget kembali berada di tangan anak.
Malam sebelum tidur, lagi-lagi anak sibuk dengan gadgetnya, baik untuk sekadar browsing, bersosial media, chatting dan juga gaming. Anak-anak masa kini juga tampak lebih “melek” teknologi dibanding generasi-generasi terdahulu. Tidak butuh waktu lama bagi anak untuk menguasai fitur-fitur yang terdapat pada gadget.
Dan sekali bersentuhan dengan gadget, anak bisa betah berlama-lama berhadapan dengan mesin canggih tersebut. Terkait dengan hal ini, sebuah fakta mengejutkan pun hadir. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta mencatat ada peningkatan pasien anak yang umumnya adalah pencandu gadget pada tahun ajaran baru (Juli 2019) lalu.
Bahkan di antara 35 pasien yang masuk, dua di antaranya harus menjalani perawatan di RSJD Surakarta. Data lainnya berasal dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat. RSJ tersebut kedatangan banyak pasien yang mengalami kecanduan gadget. Rata-rata pasien yang datang ke RSJ ini berumur 5-15 tahun.
Berdasarkan data RSJ Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2016-2019 tercatat ada 209 pasien dirawat. Pasien-pasien tersebut rata-rata adalah pencandu game, browsing internet serta sejumlah aplikasi lainnya. Hal ini tentu menimbulkan rasa dilematis dikalangan orang tua.
Berdasarkan hasil survei Litbang SINDO Media yang diadakan pada Oktober 2019 lalu, di satu sisi, ada orang tua yang menganggap bahwa gadget penting diberikan pada anak (44%). Selain karena tak ingin anaknya ketinggalan zaman, orang tua juga ingin agar pemanfaatan gadget dapat dioptimalkan sebagai sarana meningkatkan wawasan serta sarana pergaulan.
Gadget juga bisa dimanfaatkan sebagai alat monitoring “Manfaat positifnya anak dapat terus berkomunikasi dengan orang tua jadi mereka dapat mengawasi serta memonitor selalu keberadaaan anak. Kami juga memperbolehkan anak pegang gadget agar mereka tidak gagap teknologi jadi tidak ditertawakan teman-temannya. Anak juga saya izinkan main game yang dapat mengasah daya pikir,” demikian disampaikan Tanwi, warga Jakarta.
Meski demikian di sisi lain, ada juga orang tua yang menganggap bahwa dengan memberikan gadget ke anak maka sama saja mengorbankan anak karena bisa berpotensi mengalami berbagai dampak negatif. Di antaranya anak bisa menjadi pemalas, enggan untuk bersosialisasi, malas untuk belajar, enggan pergi ke sekolah dan bahkan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan otak (55%).
“Terlalu sering membiarkan anak main gadget, bisa bikin anak malas berinteraksi dengan dunia luar dan lingkungan sekitar. Mereka jadi cenderung manja dan kurang peka terhadap lingkungannya,” ujar Sandi, warga Jakarta yang sudah memiliki satu anak.
Alasan-alasan inilah yang kemudian membuat para orang tua bersikap antisipatif terkait konsumsi gadget anak. Melakukan pembatasan waktu penggunaan gadget adalah salah satu langkah yang ditempuh. Dalam hasil jajak pendapat, rata-rata orang tua hanya memberikan toleransi waktu bermain gadget pada anaknya antara 16-30 menit.
Strategi lainnya adalah mengalihkan perhatian anak dengan mengajak bermain bersama atau beraktivitas yang melibatkan anggota keluarga lain. Cara ini sekaligus bisa berfungsi untuk mempererat ikatan antara anak dan orang tua. Yang menarik, terkadang ada juga anak yang bersikap kritis dalam menyikapi larangan orang tua mereka.
Beberapa anak seringkali mengucapkan komentar pedas saat dilarang bermain gadget dengan berkata “Papa Mama juga sering main gadget, kenapa aku tidak boleh?”. Reaksi inilah yang harus diantisipasi orang tua dengan selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anak dengan tidak ikut menjadi pecandu gadget. Siapkah orang tua?
(don)