DPR Desak RI Ikuti Australia Dalam Pengawasan Facebook dan Google
A
A
A
JAKARTA - DPR mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas seperti yang diambil oleh Australia dalam pengawasan dua aplikasi over the top (OTT) yang banyak digunakan Indonesia yakni, Facebook dan Google. Indonesia harus menunjukkan kedaulatannya terhadap dua OTT tersebut karena kapanpun, Indonesia bisa menutup Facebook dan Google meskipun, Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Ini kan melindungi pemasukan negara juga di samping warga negara. Kalau Australia begitu maka Indonesia harus. Saya sependapat dengan Australia untuk mengawasi dengan ketat, secara transparan agar negara tidak dirugikan,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha kepada Sindonews di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Namun demikian, Satya menyayangkan bahwa Indonesia belum punya landasan hukum berupa UU PDP. Karena, kalau Indonesia sudah punya UU tersebut, maka pengaturannya akan lebih baik lagi. Tetapi, bukan berarti Indonesia harus kalah dengan dua aplikasi OTT itu.
“Jangan karena peraturan perundang-undangan belum ada ya sudah kita biarkan, kan tidak. Tidak boleh, toh kita mengetahui mereka beroperasi. Kalau kita mau menutup Facebook dan Google bisa kok, kita mempunyai kedaulatan untuk melakukan itu, tapi kan kita menghargai para penggunanya,” tegasnya.
Menurut Politikus Partai Golkar ini, jika ada UU PDP, maka Indonesia bisa mengatur lebih detil lagi seperti masalah komersil yakni, pajak. Kalau PDP sudah ada, Indonesia bisa menjalankan strategi untuk meminta Facebook dan Google melakukan penempatan big datanya di Indonesia. Sehingga, negara bisa mengontrol OTT ini termasuk urusan pajak.
“Kalau data localization ada di Indonesia kita bisa mengontrol mereka, di dalamnya itu adalah pengguna Indonesia yang membggunakan platform. Sehingga, pajak dan sebagainya bisa dikontrol,” tutur Satya.
Satya mengakui bahwa Indonesia memiliki pengaturan terkait PDP ini dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) yang merupakan cikal bakal untuk UU PDP, tetapi pengaturan soal PDP ini memang kurang terintegrasi dengan baik.
“Karena masalah PDP jg ada di beberapa kementerian juga, ada di Kementerian Kesehatan, ada si Perbankan, ada juga di data Kependudukan , jadi masih scattered (bercecer),” tandasnya
“Ini kan melindungi pemasukan negara juga di samping warga negara. Kalau Australia begitu maka Indonesia harus. Saya sependapat dengan Australia untuk mengawasi dengan ketat, secara transparan agar negara tidak dirugikan,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha kepada Sindonews di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Namun demikian, Satya menyayangkan bahwa Indonesia belum punya landasan hukum berupa UU PDP. Karena, kalau Indonesia sudah punya UU tersebut, maka pengaturannya akan lebih baik lagi. Tetapi, bukan berarti Indonesia harus kalah dengan dua aplikasi OTT itu.
“Jangan karena peraturan perundang-undangan belum ada ya sudah kita biarkan, kan tidak. Tidak boleh, toh kita mengetahui mereka beroperasi. Kalau kita mau menutup Facebook dan Google bisa kok, kita mempunyai kedaulatan untuk melakukan itu, tapi kan kita menghargai para penggunanya,” tegasnya.
Menurut Politikus Partai Golkar ini, jika ada UU PDP, maka Indonesia bisa mengatur lebih detil lagi seperti masalah komersil yakni, pajak. Kalau PDP sudah ada, Indonesia bisa menjalankan strategi untuk meminta Facebook dan Google melakukan penempatan big datanya di Indonesia. Sehingga, negara bisa mengontrol OTT ini termasuk urusan pajak.
“Kalau data localization ada di Indonesia kita bisa mengontrol mereka, di dalamnya itu adalah pengguna Indonesia yang membggunakan platform. Sehingga, pajak dan sebagainya bisa dikontrol,” tutur Satya.
Satya mengakui bahwa Indonesia memiliki pengaturan terkait PDP ini dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) yang merupakan cikal bakal untuk UU PDP, tetapi pengaturan soal PDP ini memang kurang terintegrasi dengan baik.
“Karena masalah PDP jg ada di beberapa kementerian juga, ada di Kementerian Kesehatan, ada si Perbankan, ada juga di data Kependudukan , jadi masih scattered (bercecer),” tandasnya
(wbs)