Banyak Pasang Aplikasi, Konsumen Indonesia Jarang Belanja
A
A
A
JAKARTA - Liftoff, sebuah platform di bidang pemasaran dan penargetan ulang aplikasi seluler, hari ini merilis laporan tahunan ketiga mereka terkait pertumbuhan pasar aplikasi seluler yang disusun melalui kerja sama dengan Adjust, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengukuran seluler (mobile measurement) dan pencegahan kecurangan (fraud prevention).
Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 tersebut memaparkan analisis mendalam tentang perilaku berbelanja orang Indonesia melalui aplikasi seluler, yang menunjukkan semakin meningkatnya kenyamanan dalam berbelanja dapat membantu mendorong pengguna untuk berbelanja melalui aplikasi tersebut.
Riset menghimpun data paling ekstensif saat ini, menganalisis lebih dari 90,9 miliar tayangan iklan, 13,6 juta instalasi, serta 3,9 juta pendaftaran dan pembelian yang terjadi antara April 2018-April 2019. Dengan cakupan riset yang menjangkau empat kawasan (Asia-Pasifik, Amerika Utara; Amerika Latin; serta Eropa, Timur Tengah, dan Afrika), laporan dari Liftoff menunjukkan tahun ini pengguna aplikasi belanja semakin menyukai aktivitas berbelanja yang dianggap sebagai tahun kejayaan perdagangan seluler (mobile commerce) sejauh ini.
Indonesia Sediakan Kesempatan Akuisisi Pengguna Bagi Pemasar
Laporan dari Liftoff menunjukkan, Indonesia merupakan sebuah pasar yang sangat menarik dalam hal akuisisi dan perilaku pengguna terhadap aplikasi belanja seluler. Hal ini dikarenakan tingginya ekspansi penggunaan internet serta pertumbuhan perdagangan daring (online commerce).
Biaya yang dikeluarkan oleh pihak pemasar aplikasi untuk mendorong instalasi aplikasi adalah sebesar USD1,65. Ini merupakan biaya terendah di antara lima negara yang dianalisis dalam laporan tersebut, yang mencakup Indonesia, Jerman, Jepang, Inggris, dan AS.
Biaya ini lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendorong pengguna agar melakukan pembelian pertama dalam aplikasi belanja yang berkisar pada USD16,69. Namun rendahnya biaya-biaya tersebut hanya diimbangi dengan tingkat konversi yang juga rendah.
Sebagai contoh, tingkat instalasi-hingga-pembelian (install-to-purchase rate) di Indonesia hanya mencapai 9,9%, lebih rendah dari tingkat instalasi-hingga-pembelian sebesar 10,1% di kawasan Asia-Pasifik secara umum.
Selain itu, laporan Liftoff juga menemukan bahwa konsumen e-commerce di Indonesia biasanya memakan waktu yang lama untuk bergerak dari instalasi ke pembelian. Rata-rata waktu membelinya mencapai 1 hari, 19 jam, dan 31 menit. Meski begitu, Liftoff memprediksi tren tersebut akan cenderung mengalami peningkatan di masa depan karena berbagai aplikasi lokal seperti Go-Jek. Start-up nasional itu dinilai akan membuat aktivitas pembayaran dan belanja seluler semakin banyak dan populer.
Hal lain yang menjadi perhatian bagi pihak pemasar dan pengusaha ritel adalah tingkat retensi aplikasi belanja di Indonesia yang berada di posisi paling akhir dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik. Tingkat retensinya mencapai 11% pada hari ke-1 dan turun drastis menjadi 4% pada hari ke-7.
Alasan utama yang melatari penurunan yang drastis ini adalah rendahnya kurva pembelajaran (learning curve) konsumen, ketidaksabaran dalam memahami mekanisme penggunaan aplikasi, serta kegagalan dalam memahami nilai jangka panjang dari instalasi suatu aplikasi.
Berselancar di Aplikasi Belanja Jadi Window Shopping di Asia
Baik di Indonesia maupun di seluruh kawasan Asia-Pasifik, Liftoff menemukan pengguna cenderung terbuka dalam mengeksplorasi berbagai aplikasi belanja. Faktanya didukung dengan tingkat registrasi yang meningkat tajam serta biaya akuisisi yang semakin menurun dari tahun ke tahun.
Hanya data menunjukkan adanya sebuah tren baru yang mengejutkan, yakni mobile window shopping. Saat pengguna dengan mudahnya melakukan instalasi dan pendaftaran pada aplikasi, laporan gabungan Liftoff dan Adjust menyebutkan terdapat penurunan cukup besar yang terjadi pada fase pembelian, dengan biaya-per-pembelian-pertama (cost-per-first-purchase) di Asia- Pasifik yang mengalami kenaikan sebesar 13,3% menjadi USD31,26. Lalu diikuti dengan rendahnya tingkat konversi yang berada pada angka 10,1%.
Faktor pendorong dari penurunan ini belum diketahui secara jelas, tapi fenomena tersebut dapat mengindikasikan adanya tren berbelanja yang lebih besar, yakni adanya permintaan terhadap adanya pengalaman berbelanja yang lebih ramah pengguna. Saat tingkat harga cenderung mendominasi keputusan konsumen dalam berbelanja, beragam faktor seperti adanya interaksi dengan penjual serta kekhawatiran akan kemampuan penjual dalam memenuhi pesanan juga dipandang penting oleh para pembelanja seluler.
“Untuk pihak pemasar aplikasi yang ingin mendorong tingkat pembelian, kuncinya terletak pada penggunaan data yang mereka miliki, pemahaman titik-titik yang berpotensi mengalami penurunan, serta kemampuan menentukan segmen serta target yang sesuai,” ungkap Christian.
Henschel, Co-founder dan CEO Adjust mengatakan, berbagai merk dapat membuat dan meluncurkan strategi interaksi pengguna yang sempurna untuk inisiatif pemasaran mereka. Upaya personalisasi tersebut merupakan kunci dalam memenangkan konsumen yang cenderung berubah-ubah serta membangun loyalitas jangka panjang.
Untuk mendorong tingkat pembelian, pihak pemasar yang cermat dapat mengintegrasikan aplikasi belanja ke dalam strategi pemasaran, memberikan penawaran eksklusif melalui aplikasi seperti penawaran terbatas yang istimewa untuk mendorong pembelian melalui aplikasi. Selain itu, pihak pemasar harus menyesuaikan dengan tim logistik dan tim pemenuhan pesanan dari pihak penjual untuk memastikan bahwa produk yang diinginkan konsumen tersedia dan dapat dikirimkan tepat waktu.
“Pasar aplikasi belanja di Asia tumbuh secara dinamis dan sedang berada dalam posisi tertinggi, namun demikian berdasarkan temuan kami, jumlah pembelian yang dilakukan melalui aplikasi- aplikasi tersebut tidak setinggi yang seharusnya, terlepas dari tren umum yang menyebutkan bahwa konsumen sekarang cenderung bergeser dari aktivitas belanja melalui layar komputer ke layar ponsel,” ungkap Dennis Mink, Vice President Marketing Liftoff.
Lebih lanjut dikatakan, Indonesia merupakan mikrokosmos atau miniatur yang mencerminkan perilaku dan kekhawatiran para pembelanja di kawasan. Oleh karena itu, menemukan pesan yang tepat serta mengirimkannya dengan konteks yang tepat kepada konsumen dapat membantu menghilangkan halangan-halangan tersebut, yang pada akhirnya akan mendorong tingkat retensi dan ketertarikan pengguna.
Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 tersebut memaparkan analisis mendalam tentang perilaku berbelanja orang Indonesia melalui aplikasi seluler, yang menunjukkan semakin meningkatnya kenyamanan dalam berbelanja dapat membantu mendorong pengguna untuk berbelanja melalui aplikasi tersebut.
Riset menghimpun data paling ekstensif saat ini, menganalisis lebih dari 90,9 miliar tayangan iklan, 13,6 juta instalasi, serta 3,9 juta pendaftaran dan pembelian yang terjadi antara April 2018-April 2019. Dengan cakupan riset yang menjangkau empat kawasan (Asia-Pasifik, Amerika Utara; Amerika Latin; serta Eropa, Timur Tengah, dan Afrika), laporan dari Liftoff menunjukkan tahun ini pengguna aplikasi belanja semakin menyukai aktivitas berbelanja yang dianggap sebagai tahun kejayaan perdagangan seluler (mobile commerce) sejauh ini.
Indonesia Sediakan Kesempatan Akuisisi Pengguna Bagi Pemasar
Laporan dari Liftoff menunjukkan, Indonesia merupakan sebuah pasar yang sangat menarik dalam hal akuisisi dan perilaku pengguna terhadap aplikasi belanja seluler. Hal ini dikarenakan tingginya ekspansi penggunaan internet serta pertumbuhan perdagangan daring (online commerce).
Biaya yang dikeluarkan oleh pihak pemasar aplikasi untuk mendorong instalasi aplikasi adalah sebesar USD1,65. Ini merupakan biaya terendah di antara lima negara yang dianalisis dalam laporan tersebut, yang mencakup Indonesia, Jerman, Jepang, Inggris, dan AS.
Biaya ini lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendorong pengguna agar melakukan pembelian pertama dalam aplikasi belanja yang berkisar pada USD16,69. Namun rendahnya biaya-biaya tersebut hanya diimbangi dengan tingkat konversi yang juga rendah.
Sebagai contoh, tingkat instalasi-hingga-pembelian (install-to-purchase rate) di Indonesia hanya mencapai 9,9%, lebih rendah dari tingkat instalasi-hingga-pembelian sebesar 10,1% di kawasan Asia-Pasifik secara umum.
Selain itu, laporan Liftoff juga menemukan bahwa konsumen e-commerce di Indonesia biasanya memakan waktu yang lama untuk bergerak dari instalasi ke pembelian. Rata-rata waktu membelinya mencapai 1 hari, 19 jam, dan 31 menit. Meski begitu, Liftoff memprediksi tren tersebut akan cenderung mengalami peningkatan di masa depan karena berbagai aplikasi lokal seperti Go-Jek. Start-up nasional itu dinilai akan membuat aktivitas pembayaran dan belanja seluler semakin banyak dan populer.
Hal lain yang menjadi perhatian bagi pihak pemasar dan pengusaha ritel adalah tingkat retensi aplikasi belanja di Indonesia yang berada di posisi paling akhir dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik. Tingkat retensinya mencapai 11% pada hari ke-1 dan turun drastis menjadi 4% pada hari ke-7.
Alasan utama yang melatari penurunan yang drastis ini adalah rendahnya kurva pembelajaran (learning curve) konsumen, ketidaksabaran dalam memahami mekanisme penggunaan aplikasi, serta kegagalan dalam memahami nilai jangka panjang dari instalasi suatu aplikasi.
Berselancar di Aplikasi Belanja Jadi Window Shopping di Asia
Baik di Indonesia maupun di seluruh kawasan Asia-Pasifik, Liftoff menemukan pengguna cenderung terbuka dalam mengeksplorasi berbagai aplikasi belanja. Faktanya didukung dengan tingkat registrasi yang meningkat tajam serta biaya akuisisi yang semakin menurun dari tahun ke tahun.
Hanya data menunjukkan adanya sebuah tren baru yang mengejutkan, yakni mobile window shopping. Saat pengguna dengan mudahnya melakukan instalasi dan pendaftaran pada aplikasi, laporan gabungan Liftoff dan Adjust menyebutkan terdapat penurunan cukup besar yang terjadi pada fase pembelian, dengan biaya-per-pembelian-pertama (cost-per-first-purchase) di Asia- Pasifik yang mengalami kenaikan sebesar 13,3% menjadi USD31,26. Lalu diikuti dengan rendahnya tingkat konversi yang berada pada angka 10,1%.
Faktor pendorong dari penurunan ini belum diketahui secara jelas, tapi fenomena tersebut dapat mengindikasikan adanya tren berbelanja yang lebih besar, yakni adanya permintaan terhadap adanya pengalaman berbelanja yang lebih ramah pengguna. Saat tingkat harga cenderung mendominasi keputusan konsumen dalam berbelanja, beragam faktor seperti adanya interaksi dengan penjual serta kekhawatiran akan kemampuan penjual dalam memenuhi pesanan juga dipandang penting oleh para pembelanja seluler.
“Untuk pihak pemasar aplikasi yang ingin mendorong tingkat pembelian, kuncinya terletak pada penggunaan data yang mereka miliki, pemahaman titik-titik yang berpotensi mengalami penurunan, serta kemampuan menentukan segmen serta target yang sesuai,” ungkap Christian.
Henschel, Co-founder dan CEO Adjust mengatakan, berbagai merk dapat membuat dan meluncurkan strategi interaksi pengguna yang sempurna untuk inisiatif pemasaran mereka. Upaya personalisasi tersebut merupakan kunci dalam memenangkan konsumen yang cenderung berubah-ubah serta membangun loyalitas jangka panjang.
Untuk mendorong tingkat pembelian, pihak pemasar yang cermat dapat mengintegrasikan aplikasi belanja ke dalam strategi pemasaran, memberikan penawaran eksklusif melalui aplikasi seperti penawaran terbatas yang istimewa untuk mendorong pembelian melalui aplikasi. Selain itu, pihak pemasar harus menyesuaikan dengan tim logistik dan tim pemenuhan pesanan dari pihak penjual untuk memastikan bahwa produk yang diinginkan konsumen tersedia dan dapat dikirimkan tepat waktu.
“Pasar aplikasi belanja di Asia tumbuh secara dinamis dan sedang berada dalam posisi tertinggi, namun demikian berdasarkan temuan kami, jumlah pembelian yang dilakukan melalui aplikasi- aplikasi tersebut tidak setinggi yang seharusnya, terlepas dari tren umum yang menyebutkan bahwa konsumen sekarang cenderung bergeser dari aktivitas belanja melalui layar komputer ke layar ponsel,” ungkap Dennis Mink, Vice President Marketing Liftoff.
Lebih lanjut dikatakan, Indonesia merupakan mikrokosmos atau miniatur yang mencerminkan perilaku dan kekhawatiran para pembelanja di kawasan. Oleh karena itu, menemukan pesan yang tepat serta mengirimkannya dengan konteks yang tepat kepada konsumen dapat membantu menghilangkan halangan-halangan tersebut, yang pada akhirnya akan mendorong tingkat retensi dan ketertarikan pengguna.
(mim)