Monopoli Android, Google Didenda Rp72 Triliun
A
A
A
BRUSSELS - Google LLC kembali dituduh melanggar aturan kompetisi Uni Eropa (UE). Perusahaan teknologi layanan dan produk internet itu terancam didenda hingga 4,3 miliar euro (Rp72 triliun, kurs Rp16.752 per euro) atas monopoli di sistem operasi Android pada 1.300 merek smartphone di Eropa.
Tuduhan itu dikeluarkan Direktorat Jenderal Kompetisi Komisi Eropa UE setelah melakukan penyelidikan selama tiga tahun. Institusi yang bertanggung jawab mengelola bisnis di Eropa itu turun melakukan inspeksi lapangan setelah adanya laporan mengenai strategi tidak adil Google demi memperkuat dominasinya di gawai bersistem Android.
Sejauh ini, Komisi Eropa masih menunda pengumuman penalti terhadap Google. Namun, informasi itu sudah bocor ke sejumlah media. Sanksi Rp72 triliun pun menjadi denda terbesar yang pernah dijatuhkan Komisi Eropa terhadap satu perusahaan setelah Intel didenda senilai 1,06 miliar euro (Rp17,7 triliun) pada Mei 2009.
Direktorat Jenderal Kompetisi Komisi Eropa UE mulai membuka proses penyelidikan resmi terhadap Google pada April 2015 setelah mendapat keluhan dari FairSearch. Hasilnya, Google diduga telah menghalangi akses pasar perusahaan pesaing dan layanan dan aplikasi komunikasi mobile di Area Ekonomi Eropa (EEA).
Penyelidikan Komisi Eropa terfokus pada tiga tuduhan. Pertama, apakah Google memaksa manufaktur memasang aplikasi mereka secara eksklusif. Kedua, apakah Google mencekal modifikasi Android. Ketiga, apakah Google mencoba mencegah pesaing untuk memasang aplikasinya dengan menawarkan produk berbentuk bundle.
“Penyelidikan ini terpisah dari penyelidikan terhadap kasus mesin pencarian Google,” ungkap Komisi Eropa dalam keterangan pers di europa.ie. Google memimpin pengembangan Android sejak 2005 yang kini menjadi sistem operasi paling terdepan di kawasan ekonomi Eropa. Dominasi Android ini pun membuat pesaingnya seperti iOS dari Apple dan Windows Phone tersingkir.
Berdasarkan hasil riset gs.statcounter.com sampai Juni tahun ini, pangsa pasar Android di Eropa mencapai 74%. Sisanya dikuasai iOS (24,06%), Windows (0,91%), tak diketahui (0,31%), Samsung (0,23%), dan Linux (0,1%). FairSearch sendiri merupakan kelompok bisnis yang beranggotakan Microsoft, Nokia, dan Oracle.
Android merupakan sistem open-source. Artinya, Android dapat dikembangkan siapa saja dan digunakan dengan bebas. Namun, menurut Komisi Eropa, mayoritas manufaktur tablet dan smartphone harus menekan kesepakatan dengan Google dan dituntut memasang layanan dan aplikasi Google seperti chrome, gmail, dll.
“Pasal 101 Hukum UE (TFEU) melarang keputusan dan kesepakatan anti-kompetisi oleh satu asosiasi,” ungkap Komisi Eropa. “Pasal 102 TFEU juga melarang penyelewengan posisi dominan yang dapat memengaruhi perdagangan dan kompetisi. Provisi ini diterapkan sesuai Regulasi Dewan No 1/2003,” tambah mereka.
Google menepis semua tuduhan Komisi Eropa. Wakil Presiden Senior Google Kent Walker menyatakan, ekosistem Android telah menyeimbangkan kepentingan pengguna, pengembang, pembuat perangkat keras, dan operator jaringan data seluler. Android tidak melukai kompetisi, tapi memperluasnya.
“Kasus yang diselidiki Komisi Eropa menyebut Android tidak berkompetisi dengan Apple iOS. Kami tidak melihatnya demikian. Begitupun Apple, pembuat ponsel, pengembang, atau pengguna. Faktanya, 89% responden Komisi Eropa mengonfirmasi Android dan Apple bersaing,” kata Walker di blog.google.com pada akhir 2016.
Walker melanjutkan, sedikitnya 1,3 juta pengembang di Eropa pada 2015 bergantung pada framework yang stabil dan konsisten. Semua pembuat ponsel dapat mengunduh Android dan memodifikasinya. Namun, fleksibilitas itu membuat Android rawan akan fragmentasi, masalah yang pernah menghantui Unix dan Symbian.
“Ketika orang lain dapat memodifikasi kodenya, bagaimana kalian memastikan versi sistem operasinya berjalan konsisten sehingga pengembang tidak perlu report mengeluarkan biaya untuk membuat versi mereka?” kata Walker. Google bekerja sama dengan pembuat perangkat keras untuk meminimalisir tingkat kompabilitas.
Google juga membantah mewajibkan manufaktur memasang aplikasi mereka di ponsel Android. Namun, mereka menawarkan sebundel aplikasi agar pengguna mendapatkan layanan dasar yang mencapai 1/3 dari total aplikasi. Pengguna dapat melengkapi smartphone mereka dengan aplikasi lain di luar produk dan layanan Google.
Pada 2015, pengguna Android di Eropa mengunduh sekitar 65 miliar aplikasi dari Google Play, rata-rata 175 aplikasi per hari. Sejak 2011, mereka juga mengunduh 15 miliar kali produk dan layanan Google seperti Google Maps. Google berkilah mengganti aplikasi atau widget amat mudah dan dapat dilakukan dalam 30 detik.
Android juga memperlebar akses smartphone. Sejak diluncurkan, harga smartphone menjadi lebih terjangkau, termurah 45 euro (Rp750.000). Manufaktur tidak perlu membeli atau membangun sistem operasi. Pengembang Eropa juga dapat mendistribusikan aplikasinya terhadap miliaran pengguna di seluruh dunia.
“Android bukanlah jalan satu arah, tapi jalan raya multi-jalur. Kami ingin merangsang inovasi dan meningkatkan pilihan bagi para konsumen,” tandas Walker. Sebelumnya, Komisi Eropa menjatuhkan denda 2,4 miliar euro (Rp40 triliun) kepada Google atas tuduhan serupa, hanya saja terfokus pada perbelanjaan.
Google sudah melakukan konsesi di Rusia setelah tingginya gelombang keluhan. Pengguna Android di Rusia kini dapat memilih antara menggunakan mesin pencari Google, Yandex, atau Mail.ru. Sejak saat itu, pangsa pasar Yandex naik dari 34% menjadi 46%. Namun, sengketa Android di UE diperkirakan akan berlangsung alot. (Muh Shamil)
Tuduhan itu dikeluarkan Direktorat Jenderal Kompetisi Komisi Eropa UE setelah melakukan penyelidikan selama tiga tahun. Institusi yang bertanggung jawab mengelola bisnis di Eropa itu turun melakukan inspeksi lapangan setelah adanya laporan mengenai strategi tidak adil Google demi memperkuat dominasinya di gawai bersistem Android.
Sejauh ini, Komisi Eropa masih menunda pengumuman penalti terhadap Google. Namun, informasi itu sudah bocor ke sejumlah media. Sanksi Rp72 triliun pun menjadi denda terbesar yang pernah dijatuhkan Komisi Eropa terhadap satu perusahaan setelah Intel didenda senilai 1,06 miliar euro (Rp17,7 triliun) pada Mei 2009.
Direktorat Jenderal Kompetisi Komisi Eropa UE mulai membuka proses penyelidikan resmi terhadap Google pada April 2015 setelah mendapat keluhan dari FairSearch. Hasilnya, Google diduga telah menghalangi akses pasar perusahaan pesaing dan layanan dan aplikasi komunikasi mobile di Area Ekonomi Eropa (EEA).
Penyelidikan Komisi Eropa terfokus pada tiga tuduhan. Pertama, apakah Google memaksa manufaktur memasang aplikasi mereka secara eksklusif. Kedua, apakah Google mencekal modifikasi Android. Ketiga, apakah Google mencoba mencegah pesaing untuk memasang aplikasinya dengan menawarkan produk berbentuk bundle.
“Penyelidikan ini terpisah dari penyelidikan terhadap kasus mesin pencarian Google,” ungkap Komisi Eropa dalam keterangan pers di europa.ie. Google memimpin pengembangan Android sejak 2005 yang kini menjadi sistem operasi paling terdepan di kawasan ekonomi Eropa. Dominasi Android ini pun membuat pesaingnya seperti iOS dari Apple dan Windows Phone tersingkir.
Berdasarkan hasil riset gs.statcounter.com sampai Juni tahun ini, pangsa pasar Android di Eropa mencapai 74%. Sisanya dikuasai iOS (24,06%), Windows (0,91%), tak diketahui (0,31%), Samsung (0,23%), dan Linux (0,1%). FairSearch sendiri merupakan kelompok bisnis yang beranggotakan Microsoft, Nokia, dan Oracle.
Android merupakan sistem open-source. Artinya, Android dapat dikembangkan siapa saja dan digunakan dengan bebas. Namun, menurut Komisi Eropa, mayoritas manufaktur tablet dan smartphone harus menekan kesepakatan dengan Google dan dituntut memasang layanan dan aplikasi Google seperti chrome, gmail, dll.
“Pasal 101 Hukum UE (TFEU) melarang keputusan dan kesepakatan anti-kompetisi oleh satu asosiasi,” ungkap Komisi Eropa. “Pasal 102 TFEU juga melarang penyelewengan posisi dominan yang dapat memengaruhi perdagangan dan kompetisi. Provisi ini diterapkan sesuai Regulasi Dewan No 1/2003,” tambah mereka.
Google menepis semua tuduhan Komisi Eropa. Wakil Presiden Senior Google Kent Walker menyatakan, ekosistem Android telah menyeimbangkan kepentingan pengguna, pengembang, pembuat perangkat keras, dan operator jaringan data seluler. Android tidak melukai kompetisi, tapi memperluasnya.
“Kasus yang diselidiki Komisi Eropa menyebut Android tidak berkompetisi dengan Apple iOS. Kami tidak melihatnya demikian. Begitupun Apple, pembuat ponsel, pengembang, atau pengguna. Faktanya, 89% responden Komisi Eropa mengonfirmasi Android dan Apple bersaing,” kata Walker di blog.google.com pada akhir 2016.
Walker melanjutkan, sedikitnya 1,3 juta pengembang di Eropa pada 2015 bergantung pada framework yang stabil dan konsisten. Semua pembuat ponsel dapat mengunduh Android dan memodifikasinya. Namun, fleksibilitas itu membuat Android rawan akan fragmentasi, masalah yang pernah menghantui Unix dan Symbian.
“Ketika orang lain dapat memodifikasi kodenya, bagaimana kalian memastikan versi sistem operasinya berjalan konsisten sehingga pengembang tidak perlu report mengeluarkan biaya untuk membuat versi mereka?” kata Walker. Google bekerja sama dengan pembuat perangkat keras untuk meminimalisir tingkat kompabilitas.
Google juga membantah mewajibkan manufaktur memasang aplikasi mereka di ponsel Android. Namun, mereka menawarkan sebundel aplikasi agar pengguna mendapatkan layanan dasar yang mencapai 1/3 dari total aplikasi. Pengguna dapat melengkapi smartphone mereka dengan aplikasi lain di luar produk dan layanan Google.
Pada 2015, pengguna Android di Eropa mengunduh sekitar 65 miliar aplikasi dari Google Play, rata-rata 175 aplikasi per hari. Sejak 2011, mereka juga mengunduh 15 miliar kali produk dan layanan Google seperti Google Maps. Google berkilah mengganti aplikasi atau widget amat mudah dan dapat dilakukan dalam 30 detik.
Android juga memperlebar akses smartphone. Sejak diluncurkan, harga smartphone menjadi lebih terjangkau, termurah 45 euro (Rp750.000). Manufaktur tidak perlu membeli atau membangun sistem operasi. Pengembang Eropa juga dapat mendistribusikan aplikasinya terhadap miliaran pengguna di seluruh dunia.
“Android bukanlah jalan satu arah, tapi jalan raya multi-jalur. Kami ingin merangsang inovasi dan meningkatkan pilihan bagi para konsumen,” tandas Walker. Sebelumnya, Komisi Eropa menjatuhkan denda 2,4 miliar euro (Rp40 triliun) kepada Google atas tuduhan serupa, hanya saja terfokus pada perbelanjaan.
Google sudah melakukan konsesi di Rusia setelah tingginya gelombang keluhan. Pengguna Android di Rusia kini dapat memilih antara menggunakan mesin pencari Google, Yandex, atau Mail.ru. Sejak saat itu, pangsa pasar Yandex naik dari 34% menjadi 46%. Namun, sengketa Android di UE diperkirakan akan berlangsung alot. (Muh Shamil)
(nfl)