Kebocoran Data Facebook, APJII Nilai Saatnya Buat Medsos Anak Bangsa
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengomentari krisis kebocoran data 50 juta pengguna Facebook diangkut oleh perusahaan konsultan politik bernama Cambridge Analytica untuk memenangkan kampanye Donald Trump.
APJII menilai krisis yang mendera facebook melibatkan Cambridge di Amerika Serikat itu harusnya bisa menjadi momentum mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Selain itu, hal ini bisa menjadi kesempatan untuk membangkitkan media sosial yang dikreasi anak bangsa.
"Kebocoran data itu adalah momentum untuk mengevaluasi Facebook. Apalagi, Facebook juga tercatat sebagai pemilik WhatsApp dan Instagram. Sebaiknya ini juga jadi momentum kebangkitan media sosial Indonesia. Jangan sampai masyarakat Indonesia hanya jadi pengguna saja," ujar Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APJII, Tedi Supardi Muslih dalam perbincangan dengan wartawan, di Jakarta, Senin (2/4/2018).
Indonesia tercatat sebagai negara pengguna Facebook terbanyak ke empat di dunia. "Jadi, dengan potensi pelanggan sebanyak itu harusnya bisa muncul media sosial khas Indonesia, kita tidak hanya menjadi konsumen," sambung Tedi yang merupakan pemilik dan pendiri PC24 Group, yakni bisnis grup yang bergerak dibidang komputer IT solution.
Menurut Tedi, Indonesia sebaiknya bisa mencontoh China yang bisa melaju di dunia internet dengan media sosial seperti Baidu, Weibo, dan Wechat.
Berdasarkan hasil survei lembaganya, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa dari total 262 juta jiwa penduduk Indoneia dan kebanyakan dari jumlah itu menggunakan internet untuk berinteraksi di media sosial.
Tedi memaparkan, bedasarkan hasil riset APJII pada 2017, pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia di sepanjang 2017 menunjukkan separuh pengguna teknologi internet adalah milenial (49,52%).
Ahli digital forensik Rubi Alamsyah, mengatakan krisis kebocoran pengguna data Facebook bisa menjadi momentum untuk edukasi mengenai pentingnya perlindungan data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga
"Media sosial ini kita gunakan secara gratis, banyak manfaat yang kita dapat. Tapi sejak mendaftar dan instal, sering kali orang banyak yang lupa mengenai kehati-hatian membagikan data-data yang bersifat pribadi," ujar Rubi.
Menurut Rubi, pengguna media sosial di Indonesia masih perlu. Ia lantas mencontohkan, di Amerika Serikat, kesadaran mengenai privasi sudah sangat tinggi. Berbeda dengan di Indonesia, kita masih sangat rendah. "Kita menggunakan media sosial, seringkali kebablasan membagikan data yang bersifat pribadi secara sukarela, padahal itu penting," tegas Rubi.
APJII menilai krisis yang mendera facebook melibatkan Cambridge di Amerika Serikat itu harusnya bisa menjadi momentum mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Selain itu, hal ini bisa menjadi kesempatan untuk membangkitkan media sosial yang dikreasi anak bangsa.
"Kebocoran data itu adalah momentum untuk mengevaluasi Facebook. Apalagi, Facebook juga tercatat sebagai pemilik WhatsApp dan Instagram. Sebaiknya ini juga jadi momentum kebangkitan media sosial Indonesia. Jangan sampai masyarakat Indonesia hanya jadi pengguna saja," ujar Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APJII, Tedi Supardi Muslih dalam perbincangan dengan wartawan, di Jakarta, Senin (2/4/2018).
Indonesia tercatat sebagai negara pengguna Facebook terbanyak ke empat di dunia. "Jadi, dengan potensi pelanggan sebanyak itu harusnya bisa muncul media sosial khas Indonesia, kita tidak hanya menjadi konsumen," sambung Tedi yang merupakan pemilik dan pendiri PC24 Group, yakni bisnis grup yang bergerak dibidang komputer IT solution.
Menurut Tedi, Indonesia sebaiknya bisa mencontoh China yang bisa melaju di dunia internet dengan media sosial seperti Baidu, Weibo, dan Wechat.
Berdasarkan hasil survei lembaganya, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa dari total 262 juta jiwa penduduk Indoneia dan kebanyakan dari jumlah itu menggunakan internet untuk berinteraksi di media sosial.
Tedi memaparkan, bedasarkan hasil riset APJII pada 2017, pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia di sepanjang 2017 menunjukkan separuh pengguna teknologi internet adalah milenial (49,52%).
Ahli digital forensik Rubi Alamsyah, mengatakan krisis kebocoran pengguna data Facebook bisa menjadi momentum untuk edukasi mengenai pentingnya perlindungan data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga
"Media sosial ini kita gunakan secara gratis, banyak manfaat yang kita dapat. Tapi sejak mendaftar dan instal, sering kali orang banyak yang lupa mengenai kehati-hatian membagikan data-data yang bersifat pribadi," ujar Rubi.
Menurut Rubi, pengguna media sosial di Indonesia masih perlu. Ia lantas mencontohkan, di Amerika Serikat, kesadaran mengenai privasi sudah sangat tinggi. Berbeda dengan di Indonesia, kita masih sangat rendah. "Kita menggunakan media sosial, seringkali kebablasan membagikan data yang bersifat pribadi secara sukarela, padahal itu penting," tegas Rubi.
(ven)