Medsos Sarana Empuk Operasi Politik
A
A
A
LONDON - Kasus pembobolan data Facebook yang dilakukan Cambridge Analytica membuka fakta baru bahwa media sosial merupakan sarana empuk untuk operasi dan manipulasi kepentingan politik.
Data yang diperoleh secara ilegal untuk menggiring opini dan memengaruhi psikologi untuk memenangkan atau mengalahkan kontestan politik tertentu. Seiring dengan pengungkapan skandal pembobolan data 50 juta akun Facebook, firma konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica, dan perusahaan induknya, SCL Group, diidentifikasi terlibat dalam kampanye politik mulai dari Pemilihan Presiden (Pilpres) Kenya pada 2013 hingga Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016.
Celakanya, perusahaan tersebut menghalalkan segala cara demi menyukseskan misi klien politiknya, termasuk membobol data Facebook secara ilegal. Pada Pilpres AS 2016 misalnya 50 juta akun Facebook yang diperoleh secara illegal itu diduga dimanfaatkan untuk membantu Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton.
Data illegal itu juga di gunakan untuk menggiring pemilih Inggris dalam referendum BritishExit (Brexit). Sebelum skandal pemanenan akun Facebook terungkap, Cambridge Analytica sudah menjadi sorotan media Barat menyusul penyelidikan kounsel khusus Robert Mueller mengenai intervensi Rusia dalam Pilpres 2016.
Nix diduga menghubungi programmer dan editor Wikileaks, Julian Asange, untuk meretas e-mail Hillary Clinton. Didirikan pada 2013, Cambridge Analytica berambisi menggarap proyek lebih dari 200 pemilu di seluruh dunia, termasuk di Nigeria, Kenya, Republik Ceko, India, dan Argentina.
Pendahulunya, SCL Group, adalah public relation (PR) yang bekerja untuk pemerintah, politisi, dan militer di Indonesia, Thailand, Kenya, Inggris, dan negara lain.
Cambridge Analytica memegang peran dominan dalam kemenangan Presiden Kenya Uhura Kenyatta selama Pilpres 2013 dan 2017. Managing Director Mark Turnbull mengungkapkan mengubah citra partai politik Kenyatta secara keseluruhan dua kali. Selain itu, Cambridge Analytica juga merancang naskah pidato dan aktivitas lain.
“Kenya merupakan proyek riset politik terbesar yang pernah kami garap di Afrika Timur yang memberi kesempatan kepada kami untuk membuat kampanye berdasarkan kebutuhan nyata pemilih (pekerjaan) dan ketakutan (pasca kerusuhan antar suku pada 2008),” ungkap Cambridge Analytica di situs resmi cambridgeanalytica.org.
Lembaga riset lokal juga dilibatkan agar tidak terjadi kecurigaan atau kesalahan fatal. Target terbesar mereka ialah anak muda. Propaganda dijalankan melalui media sosial yang sedang booming, 67% warga Kenya merupakan pengguna media sosial, bandingkan dengan rata-rata pengguna media sosial di negara Afrika yang hanya 18%.
Kenyatta dilaporkan mengucurkan jutaan dolar kepada Cambridge Analytica. Jurnalis Kenya, Larry Madowo, mengatakan, Cambridge Analytica telah membajak demokrasi di Kenya. “Mereka memanipulasi pemilih dengan serangan perusakan yang melukai lawan politik Kenyatta sebagai orang korup, berbahaya, dan keras,” kata Madowo.
Selain membobol data secara ilegal, media Inggris, Channel 4 News, melaporkan, Cambridge Analytica menggunakan cara kotor, termasuk membayar sejumlah prostitusi atau mempraktikan aksi suap menyuap untuk melemahkan lawan politik kliennya. Hal itu diungkapkan langsung CEO Cambridge Analytica Alexander Nix yang kini diberhentikan dari jabatannya.
Pihak Cambridge Analytica menuduh Channel 4 News menjebak Nix untuk mengeluarkan klaim tersebut. Mereka juga mem bantah menjadi penentu utama kemenangan Trump. Cambridge Analytica kemudian menghentikan sementara Nix. Beberapa pakar menyarankan diterapkan regulasi lebih ketat terhadap firma media sosial. SCL juga tak kalah kontroversial.
SCL menggambarkan dirinya sebagai ahli peperangan psikologis dan operasi pengaruh. Perusahaan besutan Nigel Oakes itu menggiring rakyat lewat ilmu psikologi. Seperti dilansir Wall Street Journal, SCL membantu rezim Indonesia dan Thailand secara sembunyi-sembunyi bermain politik kotor.
“Selain itu, SCL juga melaku kan cara standar seperti meringkas laporan berita untuk kliennya dan menyiarkan iklan di televisi,” ujar reporter senior politik, Andrew Prokop, dikutip vox.com. Dalam menjalankan operasinya, SCL membangun sebuah pusat observasi penuh layar televisi dan komputer mirip kompleks penjahat difilm James Bond 1995.
Pasca tragedi 9/11, SCL mulai mengalami kenaikan reputasi karena banyak dipuji Pemerintah AS dalam menyebarkan kampanye antijihad. Pemerintah AS disebut sangat membutuhkan orang atau organisasi yang bisa diandalkan untuk bidang tersebut. Saat itu operasi psikologi menjadi satu-satunya cara yang dianggap ampuh.
Sekitar 2013 pamor SCL sampai ke telinga eksekutif media Steve Bannon, yang juga penasihat politik kepercayaan para elite konservatif. Melalui Bannon, relasi SCL meluas di AS. SCL mengklaim memiliki cara baru yang didasarkan pada riset kepribadian individu dibanding pada ciri-ciri demografi seperti usia dan ras.
Worshipful Company of Mercer pun sepakat memberikan dana sebesar USD15 juta (Rp206 miliar) untuk proyek SCL yang akan melahirkan Cambridge Analytica. Dalam menjalankan misinya, Cambridge Analytica dituduh tidak mengindahkan kode etik. Mereka tak peduli sekalipun harus menjalankan politik hitam.
Facebook Terseret
Sejak 2015 Cambridge Analytica membeli data dari Aleksandr Kogan, akademisi Universitas Cambridge, yang memiliki izin memanen informasi pengguna Facebook lewat aplikasi buatannya, this is my digital life, dengan dalih penelitian akademik. Melalui kuis kepribadian itu, dia berhasil membobol hingga lebih dari 50 juta akun.
Jumlah pengguna Facebook yang menggunakan this is my digitallife sebenarnya hanya 270.000. Namun, aplikasi itu mampu menembus profil teman-teman korban. Meski Facebook menskors SCL Group, Cambridge Analytica, dan Kogan, rasa penasaran dan kekecewaan pemerintah dan ilmuwan politik tak sedikit pun reda. Mau tak mau Facebook pun ikut terseret dalam kasus ini.
Uni Eropa (UE) yang dipimpin Inggris dan AS meminta ada penjelasan dari CEO Facebook Mark Zuckerberg yang dianggap gagal melindungi privasi dan data pribadi. Para investor pun was-was. Mulai dari DZ Bank hingga Evercore ISI memangkas besar-besaran price target mereka.
Atas skandal ini, saham Facebook terus menurun tajam hingga nilai perusahaannya mengalami kerugian sebesar USD37 miliar (Rp509 miliar). Saham Facebook anjlok sebesar 10% selama penutupan pada Jumat (23/3). Penurunan pada pekan ini menjadi penurunan saham terbesar Facebook per hari sejak 2012 di Bursa Saham Nasdaq.
Para ahli menyampaikan skandal ini akan berdampak negatif terhadap kepercayaan pengguna Facebook yang berujung pada penayangan iklan. Pemerintah AS, juga Eropa, meminta keterangan kenapa Facebook tidak memberi tahu para penggunanya dan bagaimana Cambridge Analytica memperoleh akses tersebut.
Zuckerberg sudah merespons kontroversi yang melibatkan perusahaannya. Dia menganggap skandal ini sebagai perusakan kepercayaan antara Facebook dan para penggunanya yang berekspektasi sangat tinggi. “Kami harus menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. (Muh Shamil)
Data yang diperoleh secara ilegal untuk menggiring opini dan memengaruhi psikologi untuk memenangkan atau mengalahkan kontestan politik tertentu. Seiring dengan pengungkapan skandal pembobolan data 50 juta akun Facebook, firma konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica, dan perusahaan induknya, SCL Group, diidentifikasi terlibat dalam kampanye politik mulai dari Pemilihan Presiden (Pilpres) Kenya pada 2013 hingga Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016.
Celakanya, perusahaan tersebut menghalalkan segala cara demi menyukseskan misi klien politiknya, termasuk membobol data Facebook secara ilegal. Pada Pilpres AS 2016 misalnya 50 juta akun Facebook yang diperoleh secara illegal itu diduga dimanfaatkan untuk membantu Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton.
Data illegal itu juga di gunakan untuk menggiring pemilih Inggris dalam referendum BritishExit (Brexit). Sebelum skandal pemanenan akun Facebook terungkap, Cambridge Analytica sudah menjadi sorotan media Barat menyusul penyelidikan kounsel khusus Robert Mueller mengenai intervensi Rusia dalam Pilpres 2016.
Nix diduga menghubungi programmer dan editor Wikileaks, Julian Asange, untuk meretas e-mail Hillary Clinton. Didirikan pada 2013, Cambridge Analytica berambisi menggarap proyek lebih dari 200 pemilu di seluruh dunia, termasuk di Nigeria, Kenya, Republik Ceko, India, dan Argentina.
Pendahulunya, SCL Group, adalah public relation (PR) yang bekerja untuk pemerintah, politisi, dan militer di Indonesia, Thailand, Kenya, Inggris, dan negara lain.
Cambridge Analytica memegang peran dominan dalam kemenangan Presiden Kenya Uhura Kenyatta selama Pilpres 2013 dan 2017. Managing Director Mark Turnbull mengungkapkan mengubah citra partai politik Kenyatta secara keseluruhan dua kali. Selain itu, Cambridge Analytica juga merancang naskah pidato dan aktivitas lain.
“Kenya merupakan proyek riset politik terbesar yang pernah kami garap di Afrika Timur yang memberi kesempatan kepada kami untuk membuat kampanye berdasarkan kebutuhan nyata pemilih (pekerjaan) dan ketakutan (pasca kerusuhan antar suku pada 2008),” ungkap Cambridge Analytica di situs resmi cambridgeanalytica.org.
Lembaga riset lokal juga dilibatkan agar tidak terjadi kecurigaan atau kesalahan fatal. Target terbesar mereka ialah anak muda. Propaganda dijalankan melalui media sosial yang sedang booming, 67% warga Kenya merupakan pengguna media sosial, bandingkan dengan rata-rata pengguna media sosial di negara Afrika yang hanya 18%.
Kenyatta dilaporkan mengucurkan jutaan dolar kepada Cambridge Analytica. Jurnalis Kenya, Larry Madowo, mengatakan, Cambridge Analytica telah membajak demokrasi di Kenya. “Mereka memanipulasi pemilih dengan serangan perusakan yang melukai lawan politik Kenyatta sebagai orang korup, berbahaya, dan keras,” kata Madowo.
Selain membobol data secara ilegal, media Inggris, Channel 4 News, melaporkan, Cambridge Analytica menggunakan cara kotor, termasuk membayar sejumlah prostitusi atau mempraktikan aksi suap menyuap untuk melemahkan lawan politik kliennya. Hal itu diungkapkan langsung CEO Cambridge Analytica Alexander Nix yang kini diberhentikan dari jabatannya.
Pihak Cambridge Analytica menuduh Channel 4 News menjebak Nix untuk mengeluarkan klaim tersebut. Mereka juga mem bantah menjadi penentu utama kemenangan Trump. Cambridge Analytica kemudian menghentikan sementara Nix. Beberapa pakar menyarankan diterapkan regulasi lebih ketat terhadap firma media sosial. SCL juga tak kalah kontroversial.
SCL menggambarkan dirinya sebagai ahli peperangan psikologis dan operasi pengaruh. Perusahaan besutan Nigel Oakes itu menggiring rakyat lewat ilmu psikologi. Seperti dilansir Wall Street Journal, SCL membantu rezim Indonesia dan Thailand secara sembunyi-sembunyi bermain politik kotor.
“Selain itu, SCL juga melaku kan cara standar seperti meringkas laporan berita untuk kliennya dan menyiarkan iklan di televisi,” ujar reporter senior politik, Andrew Prokop, dikutip vox.com. Dalam menjalankan operasinya, SCL membangun sebuah pusat observasi penuh layar televisi dan komputer mirip kompleks penjahat difilm James Bond 1995.
Pasca tragedi 9/11, SCL mulai mengalami kenaikan reputasi karena banyak dipuji Pemerintah AS dalam menyebarkan kampanye antijihad. Pemerintah AS disebut sangat membutuhkan orang atau organisasi yang bisa diandalkan untuk bidang tersebut. Saat itu operasi psikologi menjadi satu-satunya cara yang dianggap ampuh.
Sekitar 2013 pamor SCL sampai ke telinga eksekutif media Steve Bannon, yang juga penasihat politik kepercayaan para elite konservatif. Melalui Bannon, relasi SCL meluas di AS. SCL mengklaim memiliki cara baru yang didasarkan pada riset kepribadian individu dibanding pada ciri-ciri demografi seperti usia dan ras.
Worshipful Company of Mercer pun sepakat memberikan dana sebesar USD15 juta (Rp206 miliar) untuk proyek SCL yang akan melahirkan Cambridge Analytica. Dalam menjalankan misinya, Cambridge Analytica dituduh tidak mengindahkan kode etik. Mereka tak peduli sekalipun harus menjalankan politik hitam.
Facebook Terseret
Sejak 2015 Cambridge Analytica membeli data dari Aleksandr Kogan, akademisi Universitas Cambridge, yang memiliki izin memanen informasi pengguna Facebook lewat aplikasi buatannya, this is my digital life, dengan dalih penelitian akademik. Melalui kuis kepribadian itu, dia berhasil membobol hingga lebih dari 50 juta akun.
Jumlah pengguna Facebook yang menggunakan this is my digitallife sebenarnya hanya 270.000. Namun, aplikasi itu mampu menembus profil teman-teman korban. Meski Facebook menskors SCL Group, Cambridge Analytica, dan Kogan, rasa penasaran dan kekecewaan pemerintah dan ilmuwan politik tak sedikit pun reda. Mau tak mau Facebook pun ikut terseret dalam kasus ini.
Uni Eropa (UE) yang dipimpin Inggris dan AS meminta ada penjelasan dari CEO Facebook Mark Zuckerberg yang dianggap gagal melindungi privasi dan data pribadi. Para investor pun was-was. Mulai dari DZ Bank hingga Evercore ISI memangkas besar-besaran price target mereka.
Atas skandal ini, saham Facebook terus menurun tajam hingga nilai perusahaannya mengalami kerugian sebesar USD37 miliar (Rp509 miliar). Saham Facebook anjlok sebesar 10% selama penutupan pada Jumat (23/3). Penurunan pada pekan ini menjadi penurunan saham terbesar Facebook per hari sejak 2012 di Bursa Saham Nasdaq.
Para ahli menyampaikan skandal ini akan berdampak negatif terhadap kepercayaan pengguna Facebook yang berujung pada penayangan iklan. Pemerintah AS, juga Eropa, meminta keterangan kenapa Facebook tidak memberi tahu para penggunanya dan bagaimana Cambridge Analytica memperoleh akses tersebut.
Zuckerberg sudah merespons kontroversi yang melibatkan perusahaannya. Dia menganggap skandal ini sebagai perusakan kepercayaan antara Facebook dan para penggunanya yang berekspektasi sangat tinggi. “Kami harus menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. (Muh Shamil)
(nfl)