Aliansi Media Massa Dunia Bersatu Melawan Google dan Facebook
A
A
A
JAKARTA - Perlawanan terhadap medsos (medis sosial) terjadi di Amerika Serikat (AS). News Media Alliance yang mewakili hampir 2.000 perusahaan media massa di AS dan Kanada meminta izin dari Kongres AS agar memiliki kewenangan bernegosiasi dengan Google dan Facebook.
Terpangkasnya iklan oleh dua perusahaan internet tersebut menyebabkan media massa terancam punah. News Media Alliance menyatakan dominasi Google dan Facebook menimbulkan dampak buruk terhadap eksistensi media massa, termasuk menurunnya pendapatan.
Selain itu, ruang kebebasan yang sangat luas di Google dan Facebook mendorong terciptanya berita palsu atau hoax sehingga banyak merugikan masyarakat umum. Aliansi Media Massa itu juga menyampaikan, pelaku bisnis media massa menyerah karena tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalankan bisnis mereka. Sebagian besar dari mereka terpaksa bermain sesuai dengan aturan yang diterapkan Google dan Facebook dalam penayangan, penyebaran, dan monetisasi berita dan informasi.
“Aturan itu telah mengomoditisasi berita sehingga berita palsu meningkat pesat yang pada akhirnya sulit di bedakan dengan berita tidak palsu,” ungkap News Media Alliance, dalam keterangan pers seperti dikutip The Guardian.
Sejak Google dan Facebook booming, industri media massa di AS mengalami penurunan jumlah pembaca dan pendapatan iklan karena kebanyakan iklan dimonopoli kedua perusahaan raksasa itu.
News Media Alliance ingin kekayaan intelektual dilindungi secara lebih kuat dan pasar iklan online dibagi secara lebih besar. Google dan Facebook meraup 62% pasar iklan digital di AS. Menurut Pew Research Center, Google dan Facebook memperoleh iklan lebih dari 70% dari total iklan yang tayang di AS senilai USD73 miliar. Bandingkan dengan pendapatan tahunan media massa di AS yang turun menjadi USD18 miliar dari USD50 miliar.
Presiden dan Ketua Eksekutif News Media Alliance, David Chavern menulis opini di Wall Street Journal, bahwa Google dan Facebook meraih keuntungan sangat besar dari kerja keras, kerja cerdas, ketelitian, dan pengorbanan para jurnalis.
Google dan Facebook, menurut Chavern, tidak merekrut jurnalis untuk menggali sebuah isu yang sulit didapat, tidak mengirimkan koresponden menuju zona perang, dan tidak menghadiri laga final. Mereka mengambil langkah yang ekonomis dengan memanfaatkan hasil karya para jurnalis media massa yang nyaris gulung tikar. News Media Alliance memerlukan dispensasi dari Kongres agar bisa melakukan negosiasi secara kolektif.
Namun harapan itu tampaknya akan sulit terwujud. Sejauh ini, Google dan Facebook tidak memberikan komentar mengenai hal ini. Namun sebelumnya Google berkeinginan membantu transisi media massa ke dunia digital. “Kami tetap berkomitmen membantu media massa dalam mengatasi tantangan dan membuka peluang bisnis,” ungkap Google.
Google yang menjadi mesin pencari paling banyak digunakan di dunia (80%) kian mendominasi pasar iklan online usai mengakuisisi perusahaan penyedia iklan seperti Doubleclick, AdMob, dan AdMeld.
Pemerintah AS, kata Chavern, belum maksimal dalam mengatur kompetisi yang sehat di internet. Saat ini pengguna aktif bulanan Facebook di seluruh dunia mencapai 2 miliar dengan iklan melimpah. Jejaring sosial milik Mark Zuckerberg itu juga sukses membeli dua pesaing utamanya, Instagram dan WhatsApp.
Google dilaporkan meraih pendapatan hingga USD649miliar, sedangkan Facebook USD434 miliar. Kelompok media terbesar AS, News Corp, hanya meraup USD7,55 miliar dan New York Times USD2,78miliar.
Kepala Kemitraan Media Massa Facebook, Campbell Brown, mengaku berkomitmen membantu hasil jurnalisme yang berkualitas agar berkembang di Facebook meski rumusannya masih dalam tahap pembahasan. Sebagai contoh, Facebook akan memprioritaskan pemberitaan dari media massa lokal untuk penggunanya.
Media massa di Timur Tengah juga mulai berkeinginan membentuk aliansi media untuk melawan Google dan Facebook. Co-CEO Mediaquest Corp, Julien Hawari, mengatakan banyak CEO media massa yang cemas dengan prospek masa depan bisnis mereka. Mereka ingin pemerintah mengeluarkan aturan dan pajak yang adil.
“Google dan Facebook menjual iklan dengan tarif murah. Jika hal ini dibiarkan, dalam beberapa tahun ke depan media lokal terancam akan punah,” kata Hawari seperti dikutip Arab News.
Terpangkasnya iklan oleh dua perusahaan internet tersebut menyebabkan media massa terancam punah. News Media Alliance menyatakan dominasi Google dan Facebook menimbulkan dampak buruk terhadap eksistensi media massa, termasuk menurunnya pendapatan.
Selain itu, ruang kebebasan yang sangat luas di Google dan Facebook mendorong terciptanya berita palsu atau hoax sehingga banyak merugikan masyarakat umum. Aliansi Media Massa itu juga menyampaikan, pelaku bisnis media massa menyerah karena tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalankan bisnis mereka. Sebagian besar dari mereka terpaksa bermain sesuai dengan aturan yang diterapkan Google dan Facebook dalam penayangan, penyebaran, dan monetisasi berita dan informasi.
“Aturan itu telah mengomoditisasi berita sehingga berita palsu meningkat pesat yang pada akhirnya sulit di bedakan dengan berita tidak palsu,” ungkap News Media Alliance, dalam keterangan pers seperti dikutip The Guardian.
Sejak Google dan Facebook booming, industri media massa di AS mengalami penurunan jumlah pembaca dan pendapatan iklan karena kebanyakan iklan dimonopoli kedua perusahaan raksasa itu.
News Media Alliance ingin kekayaan intelektual dilindungi secara lebih kuat dan pasar iklan online dibagi secara lebih besar. Google dan Facebook meraup 62% pasar iklan digital di AS. Menurut Pew Research Center, Google dan Facebook memperoleh iklan lebih dari 70% dari total iklan yang tayang di AS senilai USD73 miliar. Bandingkan dengan pendapatan tahunan media massa di AS yang turun menjadi USD18 miliar dari USD50 miliar.
Presiden dan Ketua Eksekutif News Media Alliance, David Chavern menulis opini di Wall Street Journal, bahwa Google dan Facebook meraih keuntungan sangat besar dari kerja keras, kerja cerdas, ketelitian, dan pengorbanan para jurnalis.
Google dan Facebook, menurut Chavern, tidak merekrut jurnalis untuk menggali sebuah isu yang sulit didapat, tidak mengirimkan koresponden menuju zona perang, dan tidak menghadiri laga final. Mereka mengambil langkah yang ekonomis dengan memanfaatkan hasil karya para jurnalis media massa yang nyaris gulung tikar. News Media Alliance memerlukan dispensasi dari Kongres agar bisa melakukan negosiasi secara kolektif.
Namun harapan itu tampaknya akan sulit terwujud. Sejauh ini, Google dan Facebook tidak memberikan komentar mengenai hal ini. Namun sebelumnya Google berkeinginan membantu transisi media massa ke dunia digital. “Kami tetap berkomitmen membantu media massa dalam mengatasi tantangan dan membuka peluang bisnis,” ungkap Google.
Google yang menjadi mesin pencari paling banyak digunakan di dunia (80%) kian mendominasi pasar iklan online usai mengakuisisi perusahaan penyedia iklan seperti Doubleclick, AdMob, dan AdMeld.
Pemerintah AS, kata Chavern, belum maksimal dalam mengatur kompetisi yang sehat di internet. Saat ini pengguna aktif bulanan Facebook di seluruh dunia mencapai 2 miliar dengan iklan melimpah. Jejaring sosial milik Mark Zuckerberg itu juga sukses membeli dua pesaing utamanya, Instagram dan WhatsApp.
Google dilaporkan meraih pendapatan hingga USD649miliar, sedangkan Facebook USD434 miliar. Kelompok media terbesar AS, News Corp, hanya meraup USD7,55 miliar dan New York Times USD2,78miliar.
Kepala Kemitraan Media Massa Facebook, Campbell Brown, mengaku berkomitmen membantu hasil jurnalisme yang berkualitas agar berkembang di Facebook meski rumusannya masih dalam tahap pembahasan. Sebagai contoh, Facebook akan memprioritaskan pemberitaan dari media massa lokal untuk penggunanya.
Media massa di Timur Tengah juga mulai berkeinginan membentuk aliansi media untuk melawan Google dan Facebook. Co-CEO Mediaquest Corp, Julien Hawari, mengatakan banyak CEO media massa yang cemas dengan prospek masa depan bisnis mereka. Mereka ingin pemerintah mengeluarkan aturan dan pajak yang adil.
“Google dan Facebook menjual iklan dengan tarif murah. Jika hal ini dibiarkan, dalam beberapa tahun ke depan media lokal terancam akan punah,” kata Hawari seperti dikutip Arab News.
(dmd)