Rencana Kemenkominfo Tutup Medsos Dinilai Berlebihan
A
A
A
BANDUNG - Pengamat pertahanan dan intelijen dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Muradi menilai, rencana pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menutup sejumlah akun media sosial seperti Facebook, Line, dan YouTube, guna menutup akses penyebarluasan paham radikal dan terorisme adalah langkah berlebihan.
Kalaupun memang langkah itu perlu dilakukan, ujar Muradi, harus ada panel ahli yang mendiskusikan dan menyimpulkannya. “Menurut saya sebaiknya jangan ditutup. Diawasi boleh. Tetapi kalau ditutup, itu terlalu jauh. Penutupan situs medsos tak menyelesaikan masalah. Untuk jangka pendek iya, tapi jangka panjang tidak,” kata Muradi kepada SINDONews melalui sambungan telepon, Jumat (14/7/2017) malam.
Muradi mengemukakan, mekanisme penutupan akses media sosial itu harus berdasarkan kebutuhan faktual dan mendesak. Jika penutupan dilakukan tanpa upaya lain yang lebih urgent, publik akan memiliki pemikiran aneh-aneh terhadap pemerintah.
Sebaiknya, tutur dia, pemerintah merangkul merangkul pengelola Facebook, Line, dan YouTube. “Saya pikir mereka pasti mau bekerja sama. Apalagi para pengelola media sosial juga punya mekanisme itu. Mereka bisa menutup konten-konten terkait terorisme dan paham radikal,” tutur Muradi.
Daripada menutup medsos, saran dia, langkah tepat yang harus dilakukan pemerintah dalam menekan penyebarluasan paham radikal dan terorisme adalah, pertama memberikan pemahaman paripurna kepada masyarakat. Esensi nilai-nilai Pancasila harus menjadi triger utama.
Kedua, pemerintah harus mengubah mindset masyarakat tentang ancaman terhadap keutuhan, keamanan, dan pertahanan negara. Selama ini, masyarakat melihat ancaman itu secara fisik.
Sedangkan dalam tataran mindset atau tidak nyata, dianggap bukan ancaman. Padahal mindset lebih berbahaya dibanding ancaman fisik.
“Misalnya, ada organisasi yang menyebarluaskan paham bahwa memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah haram. Mindset ini sebuah ancaman yang lebih berbahaya. Publik harus diajak menolak dan memerangi paham radikal ini secara bersama-sama,” pungkas Muradi.
Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengancam bakal segera menutup penyedia platform (media sosial) yang menyebarkan radikalisme. "Sejak 2016, permintaan kami kepada penyedia platform hanya dipenuhi 50%. Kalau tidak ada perbaikan, kami akan sangat pertimbangkan untuk menutup (penyedia plaform)," ancam Rudiantara saat hadir pada "Deklarasi Anti Radikalisme" di Kampus Unpad, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Jumat (14/7/2017).
Menurut dia, penyedia platform harus ikut menjaga iklim yang kondusif di Indonesia. Media sosial, lanjut dia, harus digunakan untuk kepentingan positif. Bukan untuk menyebarkan paham radikalisme atau kegiatan negatif lainnya.
Langkah penutupan, diakui dia, tidak bisa dilakukan serta merta. Namun pemerintah bisa melarang masyarakat Indonesia memasang iklan pada penyedia platform. Langkah itu diharapkan bisa menghentkan kegiatan bisnis mereka.
Kalaupun memang langkah itu perlu dilakukan, ujar Muradi, harus ada panel ahli yang mendiskusikan dan menyimpulkannya. “Menurut saya sebaiknya jangan ditutup. Diawasi boleh. Tetapi kalau ditutup, itu terlalu jauh. Penutupan situs medsos tak menyelesaikan masalah. Untuk jangka pendek iya, tapi jangka panjang tidak,” kata Muradi kepada SINDONews melalui sambungan telepon, Jumat (14/7/2017) malam.
Muradi mengemukakan, mekanisme penutupan akses media sosial itu harus berdasarkan kebutuhan faktual dan mendesak. Jika penutupan dilakukan tanpa upaya lain yang lebih urgent, publik akan memiliki pemikiran aneh-aneh terhadap pemerintah.
Sebaiknya, tutur dia, pemerintah merangkul merangkul pengelola Facebook, Line, dan YouTube. “Saya pikir mereka pasti mau bekerja sama. Apalagi para pengelola media sosial juga punya mekanisme itu. Mereka bisa menutup konten-konten terkait terorisme dan paham radikal,” tutur Muradi.
Daripada menutup medsos, saran dia, langkah tepat yang harus dilakukan pemerintah dalam menekan penyebarluasan paham radikal dan terorisme adalah, pertama memberikan pemahaman paripurna kepada masyarakat. Esensi nilai-nilai Pancasila harus menjadi triger utama.
Kedua, pemerintah harus mengubah mindset masyarakat tentang ancaman terhadap keutuhan, keamanan, dan pertahanan negara. Selama ini, masyarakat melihat ancaman itu secara fisik.
Sedangkan dalam tataran mindset atau tidak nyata, dianggap bukan ancaman. Padahal mindset lebih berbahaya dibanding ancaman fisik.
“Misalnya, ada organisasi yang menyebarluaskan paham bahwa memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah haram. Mindset ini sebuah ancaman yang lebih berbahaya. Publik harus diajak menolak dan memerangi paham radikal ini secara bersama-sama,” pungkas Muradi.
Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengancam bakal segera menutup penyedia platform (media sosial) yang menyebarkan radikalisme. "Sejak 2016, permintaan kami kepada penyedia platform hanya dipenuhi 50%. Kalau tidak ada perbaikan, kami akan sangat pertimbangkan untuk menutup (penyedia plaform)," ancam Rudiantara saat hadir pada "Deklarasi Anti Radikalisme" di Kampus Unpad, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Jumat (14/7/2017).
Menurut dia, penyedia platform harus ikut menjaga iklim yang kondusif di Indonesia. Media sosial, lanjut dia, harus digunakan untuk kepentingan positif. Bukan untuk menyebarkan paham radikalisme atau kegiatan negatif lainnya.
Langkah penutupan, diakui dia, tidak bisa dilakukan serta merta. Namun pemerintah bisa melarang masyarakat Indonesia memasang iklan pada penyedia platform. Langkah itu diharapkan bisa menghentkan kegiatan bisnis mereka.
(mim)