Data Mining Aplikasi Angkutan Online, Pemerintah Harus Punya
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan angkutan umum yang berbasis aplikasi transportasi online menjadi dilema bagi pemerintah. Di satu sisi sangat dibutuhkan dan disisi lain merugikan pelaku bisnis angkutan "sebenarnya" dan pemerintah. Masalah ini menimbulkan unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan pengemudi taksi hari ini.
Mereka (perusahaan taksi) melakukan protes yang ditujukan kepada layanan taksi aplikasi Grab dan Uber. Melihat masalah ini pemerintah mempunyai pertimbangan baru terkait keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah mengungkapkan kalau pemerintah daerah bisa memanfaatkan data pribadi yang tersimpan pada layanan transportasi online tersebut. Kebijakan ini biasa disebut dengan istilah data mining .
Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena kebijakan ini telah dilakukan di negara lain, salah satunya adalah kota Moskow, Rusia. Para pengendara taksi Uber di Moskow harus memberikan data perjalanan kepada pemerintah setempat.
"Data ini, akan berdampak sangat positif bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Terlebih data yang tersimpan di aplikasi tersebut sangat komplet. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah seharunya bisa meminda data tersebut. Dan selanjutnya, data ini pun dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan berbagai kebijakan pemerintah di daerah," ujarnya.
Sementara itu dalam Terms of Use (ToS) aplikasi Go-Jek pun sudah mengatur terkait data pribadi para penggunanya. Dalam poin 2.12 disebutkan bahwa para pengguna Go-Jek telah memberikan hak kepada pihak GoJek untuk bisa menggunakan data pribadi tersebut kepada Penyedia Layanan. Dan tak menutup kemungkinan pemerintah pun masuk dalam kategori Penyedia Layanan dalam ToS ini.
Namun yang dipermasalahkan oleh para pendemo adalah ojek ataupun taksi berbasis online beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum. Pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015.
Adapun surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. Pengoperasian ojek dan taksi sejenis Uber tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Pemerintah Dorong Perizinan Aplikasi Transportasi Online
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan mendorong pemilik kendaraan dari aplikasi transportasi online agar bisa memenuhi perizinan sesuai dengan perundang-undangan. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menjelaskan pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk membahas pembentukan Badan Usaha Tetap dari pemilik kendaraan yang dioperasikan melalui aplikasi transportasi online.
"Bisnis transportasi umum harus ada wadah organisasinya, bisa swasta, BUMN atau koperasi, sedangkan pemilik mobil dari layanan Grab Car memilih untuk bernaung dibawah koperasi," kata Rudiantara dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, hal tersebut untuk memenuhi regulasi yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yaitu perusahaan angkutan umum harus memiliki badan usaha tetap. Sedangkan Uber Asia Limited, sudah terdaftar oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai badan usaha tetap di Indonesia.
"Grab dalam proses perizinan dari sisi teknis yang harus diselesaikan, mereka sebagai pemilik kendaraan individu, Kominfo akan membantu perizinan sampai keluar dengan berkordinasi bersama Kementerian Koperasi dan UKM," paparnya.
Dengan keluarnya izin tersebut, dia berharap layanan aplikasi transportasi online bisa bersaing secara sehat dengan angkutan umum konvensional. Dia mengakui layanan aplikasi online tidak bisa dihindari disaat era digital seperti saat ini. Untuk itu harus dicari jalan tengah agar bisa menguntungkan segala pihak.
"Teknologi itu netral, yang harus ditekankan bagaimana kita membuat peraturan yang win win solution, dengan membentuk Badan Usaha Tetap seluruh angkutan transportasi bisa bersaing secara sehat," akunya.
Saat disinggung terkait keputusan Kemenkominfo untuk memblokir aplikasi transportasi online yang sebelumnya telah dilayangkan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, menurut dia, pemerintah tidak bisa serta merta langsung menutupnya. Pasalnya, layanan ini masih dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
"Akar permasalahannya bukan memblokir atau tidak, ada apresiasi masyarakat yang mengharapkan transportasi lebih nyaman dengan biaya terjangkau, kita tidak bisa meniadakan hal itu dan harus diurai betul kebawahnya seperti apa," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Bambang Heru Tjahjono menjelaskan ada dua proses yang harus dipenuhi pemilik kendaraan dari layanan aplikasi transportasi online sehingga bisa memenuhi regulasi pemerintah. Pertama pembentukan badan hukum dan kedua harus memenuhi proses kelayakan.
"Pemerintah akan membantu proses perizianan, kita sudah sampaikan ke Uber dan Grab, yang masih menunggu izin dari Kementerian Koperasi dan UKM itu Grab untuk menjadi badan usaha," jelasnya.
Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignatius Jonan meminta agar layanan transportasi online seperti Grab Car dan juga Uber segera diblokir. Hal ini disampaikannya melalui surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tanggal 14 Maret 2016. Dalam surat sebanyak tiga halaman itu, Jonan menjelaskan adanya permasalahan akibat kehadiran layanan pemasaran transportasi dengan aplikasi internet.
Khususnya, Uber Asia Limited dan PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Car). Hal ini mengacu kepada lima peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi perusahaan di bidang transportasi dan perangkat lunak. Yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan; Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2000 tentang kantor perwakilan perusahaan asing; dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Kementerian Perhubungan menilai Uber dan Grab Car melanggar sejumlah pasal dalam peraturan tersebut. Mereka dianggap bukan kendaraan bermotor umum, serta tidak berstatus badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD) maupun badan usaha lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga tidak sesuai dengan Pasal 138 ayat (3) dan pasal 139 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Jika mengacu Pasal 173 ayat (1) tentang angkutan jalan, Uber dan Grab Car juga melanggar karena tidak memiliki izin penyelenggaraan angkutan. Selain itu, Kementerian Perhubungan mengingatkan, penanaman modal asing di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas, berdasarkan hukum Indonesia, dan berkedudukan di dalam wilayah Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Mereka (perusahaan taksi) melakukan protes yang ditujukan kepada layanan taksi aplikasi Grab dan Uber. Melihat masalah ini pemerintah mempunyai pertimbangan baru terkait keberadaan layanan transportasi berbasis aplikasi ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah mengungkapkan kalau pemerintah daerah bisa memanfaatkan data pribadi yang tersimpan pada layanan transportasi online tersebut. Kebijakan ini biasa disebut dengan istilah data mining .
Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena kebijakan ini telah dilakukan di negara lain, salah satunya adalah kota Moskow, Rusia. Para pengendara taksi Uber di Moskow harus memberikan data perjalanan kepada pemerintah setempat.
"Data ini, akan berdampak sangat positif bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Terlebih data yang tersimpan di aplikasi tersebut sangat komplet. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah seharunya bisa meminda data tersebut. Dan selanjutnya, data ini pun dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan berbagai kebijakan pemerintah di daerah," ujarnya.
Sementara itu dalam Terms of Use (ToS) aplikasi Go-Jek pun sudah mengatur terkait data pribadi para penggunanya. Dalam poin 2.12 disebutkan bahwa para pengguna Go-Jek telah memberikan hak kepada pihak GoJek untuk bisa menggunakan data pribadi tersebut kepada Penyedia Layanan. Dan tak menutup kemungkinan pemerintah pun masuk dalam kategori Penyedia Layanan dalam ToS ini.
Namun yang dipermasalahkan oleh para pendemo adalah ojek ataupun taksi berbasis online beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum. Pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015.
Adapun surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. Pengoperasian ojek dan taksi sejenis Uber tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Pemerintah Dorong Perizinan Aplikasi Transportasi Online
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan mendorong pemilik kendaraan dari aplikasi transportasi online agar bisa memenuhi perizinan sesuai dengan perundang-undangan. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menjelaskan pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk membahas pembentukan Badan Usaha Tetap dari pemilik kendaraan yang dioperasikan melalui aplikasi transportasi online.
"Bisnis transportasi umum harus ada wadah organisasinya, bisa swasta, BUMN atau koperasi, sedangkan pemilik mobil dari layanan Grab Car memilih untuk bernaung dibawah koperasi," kata Rudiantara dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, hal tersebut untuk memenuhi regulasi yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yaitu perusahaan angkutan umum harus memiliki badan usaha tetap. Sedangkan Uber Asia Limited, sudah terdaftar oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai badan usaha tetap di Indonesia.
"Grab dalam proses perizinan dari sisi teknis yang harus diselesaikan, mereka sebagai pemilik kendaraan individu, Kominfo akan membantu perizinan sampai keluar dengan berkordinasi bersama Kementerian Koperasi dan UKM," paparnya.
Dengan keluarnya izin tersebut, dia berharap layanan aplikasi transportasi online bisa bersaing secara sehat dengan angkutan umum konvensional. Dia mengakui layanan aplikasi online tidak bisa dihindari disaat era digital seperti saat ini. Untuk itu harus dicari jalan tengah agar bisa menguntungkan segala pihak.
"Teknologi itu netral, yang harus ditekankan bagaimana kita membuat peraturan yang win win solution, dengan membentuk Badan Usaha Tetap seluruh angkutan transportasi bisa bersaing secara sehat," akunya.
Saat disinggung terkait keputusan Kemenkominfo untuk memblokir aplikasi transportasi online yang sebelumnya telah dilayangkan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, menurut dia, pemerintah tidak bisa serta merta langsung menutupnya. Pasalnya, layanan ini masih dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
"Akar permasalahannya bukan memblokir atau tidak, ada apresiasi masyarakat yang mengharapkan transportasi lebih nyaman dengan biaya terjangkau, kita tidak bisa meniadakan hal itu dan harus diurai betul kebawahnya seperti apa," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Bambang Heru Tjahjono menjelaskan ada dua proses yang harus dipenuhi pemilik kendaraan dari layanan aplikasi transportasi online sehingga bisa memenuhi regulasi pemerintah. Pertama pembentukan badan hukum dan kedua harus memenuhi proses kelayakan.
"Pemerintah akan membantu proses perizianan, kita sudah sampaikan ke Uber dan Grab, yang masih menunggu izin dari Kementerian Koperasi dan UKM itu Grab untuk menjadi badan usaha," jelasnya.
Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignatius Jonan meminta agar layanan transportasi online seperti Grab Car dan juga Uber segera diblokir. Hal ini disampaikannya melalui surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tanggal 14 Maret 2016. Dalam surat sebanyak tiga halaman itu, Jonan menjelaskan adanya permasalahan akibat kehadiran layanan pemasaran transportasi dengan aplikasi internet.
Khususnya, Uber Asia Limited dan PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Car). Hal ini mengacu kepada lima peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi perusahaan di bidang transportasi dan perangkat lunak. Yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan; Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2000 tentang kantor perwakilan perusahaan asing; dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Kementerian Perhubungan menilai Uber dan Grab Car melanggar sejumlah pasal dalam peraturan tersebut. Mereka dianggap bukan kendaraan bermotor umum, serta tidak berstatus badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD) maupun badan usaha lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga tidak sesuai dengan Pasal 138 ayat (3) dan pasal 139 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Jika mengacu Pasal 173 ayat (1) tentang angkutan jalan, Uber dan Grab Car juga melanggar karena tidak memiliki izin penyelenggaraan angkutan. Selain itu, Kementerian Perhubungan mengingatkan, penanaman modal asing di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas, berdasarkan hukum Indonesia, dan berkedudukan di dalam wilayah Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(dol)