Data Pengguna Sering Disalah Gunakan, Australia ingin TikTok Angkat Kaki
loading...
A
A
A
MELBOURNE - Di masa pandemi seperti saat ini yang memaksa banyak orang untuk tetap di rumah, aplikasi TikTok menjadi pilihan untuk tetap terhubung dengan orang lain.
Namun, kabar terbaru menyebutkan bahwa aplikasi di bawah naungan ByteDance itu memberikan data penggunanya ke Partai Komunis China.
Pekan kemarin, media massa Australia, Herald Sun, melaporkan, seorang anggota parlemen federal yang tidak disebutkan namanya, mendorong agar aplikasi yang bermarkas di Beijing, China, itu dilarang dari Negeri Kangguru.
Kemudian, Senator Liberal, Jim Molan, mengatakan, TikTok sedang disalahgunakan oleh pemerintah China. Sementara itu, Senator dari Partai Buruh, Jenny McAllister, meminta perwakilan TikTok untuk bertemu dengan Select Committee on Foreign Interference Through Social Media.
Mengutip dari Los Alamos Daily Post, Senin (13/7/2020), tentu saja TikTok membantah tudahan itu dan menolak ide pelarangan di Australia.
Di sisi lain, pemerintah di banyak negara, termasuk Australia, sangat memantau pergerakan TikTok. Pasalnya, pertumbuhan pengguna TikTok sangat pesat.
Hampir 2 miliar pengunduh TikTok di seluruh dunia. Di Australia pertumbuhannya juga sangat signifikan. Setidaknya ada 1,6 juta pengguna di sana dengan rentang usia rata-rata antara 16-24 tahun, tetapi pengguna berusia lebih tua juga banyak yang menggunakannya.
Meski menawarkan hiburan yang menyenangkan, tetapi disinyalir ada sisi gelap di dalam aplikasi TikTok. Penyalahgunaan informasi pengguna menjadi dugaan terkuat.
Begini, ketika install di smartphone, TikTok akan meminta penggunanya untuk memberikan izin akses ke kamera, mikrofon, dan daftar kontak. Namun, saat itu aplikasi juga bisa mengumpulkan data lokasi dan informasi lain yang ada di perangkat.
Contohnya kasus yang terjadi atas gugatan class action yang diajukan terhadap TikTok, di California, Amerika Serikat, yang menduga TikTok telah mengumpulkan data pengguna, seperti nomor telepon, email, lokasi, alamat IP, dan kontak jejaring sosia.
Gugatan itu juga menyebutkan TikTok menyembunyikan proses transfer data (termasuk data biometrik), dan terus mengambilnya bahwa setelah aplikasi ditutup.
Artinya, ketika pengguna merekam video dan mengklik tombol "selanjutnya", video dapat secara otomatis ditransfer ke server, tanpa sepengetahuan pengguna.
Kembali ke Australia, Manajer Umum TikTok Australia, Lee Hunter, mengklaim, bahwa data pengguna TikTok di Australia tersimpan di Singapura, bukan di China.
Meski tersimpan di Singapura, masih ada potensi TikTok ekstraksi data dari konten pengguna dan perangkatnya kemudian di kirim di China. Meskipun hal ini belum terbukti terjadi.
Namun, kabar terbaru menyebutkan bahwa aplikasi di bawah naungan ByteDance itu memberikan data penggunanya ke Partai Komunis China.
Pekan kemarin, media massa Australia, Herald Sun, melaporkan, seorang anggota parlemen federal yang tidak disebutkan namanya, mendorong agar aplikasi yang bermarkas di Beijing, China, itu dilarang dari Negeri Kangguru.
Kemudian, Senator Liberal, Jim Molan, mengatakan, TikTok sedang disalahgunakan oleh pemerintah China. Sementara itu, Senator dari Partai Buruh, Jenny McAllister, meminta perwakilan TikTok untuk bertemu dengan Select Committee on Foreign Interference Through Social Media.
Mengutip dari Los Alamos Daily Post, Senin (13/7/2020), tentu saja TikTok membantah tudahan itu dan menolak ide pelarangan di Australia.
Di sisi lain, pemerintah di banyak negara, termasuk Australia, sangat memantau pergerakan TikTok. Pasalnya, pertumbuhan pengguna TikTok sangat pesat.
Hampir 2 miliar pengunduh TikTok di seluruh dunia. Di Australia pertumbuhannya juga sangat signifikan. Setidaknya ada 1,6 juta pengguna di sana dengan rentang usia rata-rata antara 16-24 tahun, tetapi pengguna berusia lebih tua juga banyak yang menggunakannya.
Meski menawarkan hiburan yang menyenangkan, tetapi disinyalir ada sisi gelap di dalam aplikasi TikTok. Penyalahgunaan informasi pengguna menjadi dugaan terkuat.
Begini, ketika install di smartphone, TikTok akan meminta penggunanya untuk memberikan izin akses ke kamera, mikrofon, dan daftar kontak. Namun, saat itu aplikasi juga bisa mengumpulkan data lokasi dan informasi lain yang ada di perangkat.
Contohnya kasus yang terjadi atas gugatan class action yang diajukan terhadap TikTok, di California, Amerika Serikat, yang menduga TikTok telah mengumpulkan data pengguna, seperti nomor telepon, email, lokasi, alamat IP, dan kontak jejaring sosia.
Gugatan itu juga menyebutkan TikTok menyembunyikan proses transfer data (termasuk data biometrik), dan terus mengambilnya bahwa setelah aplikasi ditutup.
Artinya, ketika pengguna merekam video dan mengklik tombol "selanjutnya", video dapat secara otomatis ditransfer ke server, tanpa sepengetahuan pengguna.
Kembali ke Australia, Manajer Umum TikTok Australia, Lee Hunter, mengklaim, bahwa data pengguna TikTok di Australia tersimpan di Singapura, bukan di China.
Meski tersimpan di Singapura, masih ada potensi TikTok ekstraksi data dari konten pengguna dan perangkatnya kemudian di kirim di China. Meskipun hal ini belum terbukti terjadi.
(wbs)